Browse By

16 April Urutsewu Berdarah: Dari “Konflik” ke “Perampasan Tanah”

Petani Urutsewu

Hari ini, satu dekade yang lalu (2011), kawasan pantai di sebelah selatan Kebumen itu menjadi saksi penolakan warga terhadap latihan uji coba senjata oleh TNI AD di kawasan Urutsewu. Kawasan Urutsewu sendiri adalah satu kawasan yang memanjang sekitar 22,5 km, dibatasi oleh Sungai Lok Ulo di sebelah barat dan Sungai Wawar di sebelah timur.

Nyaris seperti setiap jengkal ruang di Kepulauan ini, kawasan ini rasanya tak pernah berhenti bergejolak. Pada suatu ketika mungkin sekitar tahun 2017, saya membeli buku tentang Pangeran Diponegoro yang ditulis oleh Peter Carey. Saya baca dengan cepat. Dan kemudian saya putuskan kalau main ke Urutsewu saya akan berikan buku ini pada salah satu dari warga di sana, karena saya pernah mendengar bahwa mereka adalah keturunan dari tentara Diponegoro. Hitung-hitung untuk membebaskan saya dari beban buku kalau pindah. Saya sudah sejak lama tidak mengoleksi buku fisik, karena malas untuk merawatnya. Maka setiap saya pindah dari satu tempat lain, sejak 20 tahun yang lalu, semua buku yang terkumpul selama saya menetep di tempat tersebut, saya serahkan pada siapa saja yang mau.

Singkat kata ketika saya main ke Urutsewu, buku karangan Bapak Peter Carey itu saya tinggalkan di sana. Saya tidak memiliki harapan apa-apa ketika meninggalkannya di sana pada waktu itu. Meski ternyata orang lain menanggapinya dengan berbeda. Beberapa waktu kemudian, ketika saya kembali lagi ke sana entah kapan dan entah untuk apa, ternyata saya mendapatkan kabar bahwa buku Peter Carey telah mereka baca dan berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Entah benar entah tidak.

Perang zaman Diponegoro cuma satu dari sekian momen gejolak di kawasan Urutsewu. Yang paling segar tentu saja konflik dengan perusahaan tambang pasir besi yang berhasil mereka usir. Mereka maksudnya adalah para aktivis agrarian itu, rakyat Urutsewu. Dan tentu saja konflik yang sampai sekarang tak berkesudahan dengan TNI AD.

Momen 16 April 2011 adalah ledakan dimana aktivitas penolakan warga terhadap TNI AD dengan cara menziarahi makam korban yang meninggal karena ledakan mortir pada 1997, mendapatkan reaksi dari TNI AD. TNI AD membongkar blokade kayu yang dipasang oleh warga di jalanan. Dibalas dengan memasang balik blokade oleh warga, dan kemudian disusul dengan merobohkan gapura TNI AD serta melempari bekas gudang amunisi milik TNI AD.

Peristiwa ini kontan dibalas oleh TNI AD dengan serangan balik. Hasilnya adalah 6 petani dikriminalisasi, 13 orang yang lain luka-luka, 6 orang diantaranya terkena peluru karet, dan 1 orang bahkan terkena peluru karet dan timah, 12 sepeda motor warga dirusak, dan beberapa barang seperti ponsel dan kamera dijital warga, dirampas oleh tentara.

Rasanya konflik di Urutsewu adalah konflik yang ganas. Reaksi yang muncul dari TNI AD terhadap suatu momen biasanya sangat cepat. Saya pernah melihat/mengalami bagaimana mobilisasi kelompok-kelompok “preman” terhadap suatu momen di lapangan, bisa dilakukan oleh TNI AD dengan sangat cepat, dalam hitungan kurang dari setengah jam, kalau tidak salah ingat. Di tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi, mobilisasi sebagai reaksi terhadap suatu momen di lapangan biasanya tidak secepat itu.

Saya sendiri, setiap ke sana dan terlibat dalam satu momen tegang, sudah cukup tahu diri. Saya bukan orang Urutsewu dan tidak tahu banyak soal medan. Jurus utama, seandainya konflik meledak, adalah masukan ke dalam barisan rakyat, seperti yang disarankan oleh para petani sendiri.

Mungkin susah memahami masalah Urutsewu. Namun, dalam hemat saya, dua buku berikut bisa membantu menjelaskan permasalahan ini bagi siapa saya yang ingin memahaminya.

Kedua buku ini diterbitkan sudah lama. Yang pertama (Analisis Ekologi Politik), diterbitkan pada 2014. Sementara yang kedua (Seni dan Sastra) diterbitkan pada 2015. Banyak yang berubah dari apa yang terabadikan dalam kedua buku itu, tentu saja.

Pada tahun-tahun 2013 atau 2014 misalnya, kosakata “konflik” masih terdengar dari para aktivis agraria Urutsewu ketika mereka menjelaskan kasus ini. Namun pada sekitar 2017, kalau tak salah ingat, melalui salah satu obrolan dengan mereka, saya pernah mendengar bahwa istilah “konflik” sudah dikritik, dan diganti dengan “perampasan tanah”. Hal-hal semacam itu sebagai contoh.

Akhirul kalam, bersama ini, saya kirimkan kembali kedua buku yang saya sebut di atas. Kalau sudah memilikinya, saya mohon maaf kalau pesan ini mengganggu. Semoga pesan ini dapat menjadi jembatan bagi Anda yang belum pernah membaca buku tentang kasus Urutsewu, dan menjadi satu kekuatan bagi para petani atau aktivis agraria Urutsewu entah dengan cara bagaimana dalam menghadapi hidup yang keras ini.

Link buku

  1. Ekologi Politik Urutsewu: https://drive.google.com/file/d/1yFHztqDTU37mEVjkqFksd0vKaBtgIQGM/view?usp=drivesdk
  2. Seni dan Sastra Urutsewu: https://drive.google.com/file/d/1y7OCTFX2vUknkjXvzsAVh8D12EKpGc9R/view?usp=drivesdk

Video

Kronologi Bentrok massa: https://youtu.be/qtjhVz6I2zs
Film Kyai Rakyat: https://youtu.be/kGYxIOG_T9w
Peringatan 16 April Urutsewu: https://youtu.be/dP9_Awu837I

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *