Browse By

COVID-19 Menunjukkan Mengapa Kita Harus Mensosialisasikan Sistem Pangan

Diterjemahkan Oleh: Abdul Hafidz Ahmad (Koordinator FNKSDA Komite Daerah Malang)

Matthew T. Huber 
Asisten Profesor Geografi di Universitas Syracuse. 
Penulis Lifeblood: Oil, Freedom, and Forces of Capital (2013).

Coronavirus telah menegaskan sebuah kebenaran yang kita ketahui sebelum pandemi: sistem pangan kapitalis merupakan sistem yang tidak rasional dan tidak melayani kebutuhan umat manusia. Kaum sosialis perlu menuntut sistem pangan berdasarkan kebutuhan sosial dan ekologi, yang dapat menyediakan pangan bagi semua orang

Krisis COVID-19 mengungkap kontradiksi mendasar di jantung kapitalisme. Pada satu sisi, kita telah belajar bahwa virus ini sendiri merupakan produk dari sistem pertanian kapitalis yang sekarang berlangsung. Sebagaimana pendapat Rob Wallace, dkk., kondisi bagi transmisi virus ini berakar dari kecenderungan kita yang membabat habis hutan-hutan liar (seringnya, di sinilah lumbung virus berada) dan menggantinya dengan sistem perkebunan homogen. Seperti minyak kelapa sawit, atau peternakan satu jenis spesies hewan yang dikumpulkan bersama.

Mereka mengatakan begini:

Keseluruhan jalur produksi diatur sedemikian rupa berdasar pada praktik yang mampu mempercepat evolusi virulensi patogen dan penularan susulan. Penumbuhan monokultur genetika–hewan dan tumbuhan pangan dengan genom yang hampir identik—menghilangkan sekat imun yang terdapat pada keanekaragaman populasi yang itu mampu memperlambat penyebaran (virus).”

Contohnya, wabah flu burung dan flu babi pada tahun-tahun sebelumnya berasal dari praktik pemberian pakan ternak kurungan. COVID-19 tampaknya muncul dari “pasar basah” yang berisi semua jenis komoditas alamiah, mulai dari hewan liar eksotis seperti ular hingga hewan peliharaan seperti babi. Berkumpulnya berbagai jenis spesies di ruang yang sempit dengan padatnya pembeli dan penjual merupakan panggung yang sempurna bagi penyebaran virus.

Seorang akademisi mengatakan, “Kita tebang itu pepohonan; kita bunuh itu binatang-binatang, mengurungnya, dan mengirimnya ke pasar. Kita kacaukan ekosistem, kita mencerabut virus dari inang alami mereka. Saat itu terjadi, virus membutuhkan host baru. Seringnya kita begitu.”

Di sisi lain, bagi jutaan pekerja di seluruh dunia, realitas ekologis kapitalisme yang brutal menunjukkan bahwa kita bergantung pada uang untuk mengakses rantai pasokan pangan yang seperti itu untuk hidup. Jutaan pekerja yang menggantungkan hidup hanya dari gaji ke gaji terbelalak ketika kerja atau upahnya dipotong. Hingga memaksa keluarga memutuskan, berapa yang dikeluarkan untuk membayar tagihan sewa dibanding membeli kebutuhan pangan.

Bagi rakyat kelas pekerja yang masih berpenghasilan, epidemi ini membuat mereka merasakan bagaimana rasanya berjalan mondar-mandir dengan gelisah di lorong toko grosir yang penuh sesak, berebut kertas toilet dengan orang lain dan yang dilihat hanya rak-rak kosong. Para ahli rantai pasokan pangan menyatakan “ada banyak makanan di negara ini,” tetapi jelas bahwa rantai pasokan kapitalisme yang “tepat waktu” itu tidak diperuntukkan demi memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pandemi global.

Rantai pasokan menggunakan algoritma statistik untuk memprediksi permintaan konsumen sehingga dapat disesuaikan dengan jaringan produksi dan logistik. Sistem-sistem ini diarahkan untuk menghemat ongkos inventori (pergudangan) perusahaan, tetapi sangat mudah kacau ketika permintaan tiba-tiba melonjak atau “gangguan” terjadi dalam rantai pasokan.

Dan sekarang ganasnya sistem pasar menegaskan dirinya melalui melonjaknya harga bahan pangan pokok. Masyarakat akan kelaparan ketika lumbung-lumbung pangan lokal kehabisan bahan, sementara para petani membiarkan sayuran segar membusuk di ladang dan produsen susu membuang susunya karena anjloknya harga, seiring dengan sedikitnya permintaan. Kecepatan dan kelenturan sistem pasar memang sangat efisien dalam pengalokasian kekayaan.

Sistem pertanian-pangan kapitalis jelas tidak rasional. Tuntutan sosialis yang mengarah pada sistem pangan berdasarkan kebutuhan sosial dan ekologis harusnya mengingatkan kita pada sesuatu yang familier: pangan bagi semua.

Jika perjuangan “Medicare for All” menunjukkan betapa populernya slogan “perawatan (layanan) kesehatan adalah hak asasi manusia,” lalu mengapa pangan tidak diperlakukan sama? Satu hal yang menyebabkan “pangan tidak dianggap sebagai hak asasi manusia” ialah karena industri menjadikan kelangkaan pangan demi mempertahankan harga dan keuntungan.

Pendekatan sosialistis tidak mengatasi masalah tersebut satu per satu, di satu sisi mereformasi sistem pertanian, di sisi lain menjadikan pangan sebagai hak asasi. Sasaran sosialis adalah merevolusi keseluruhan sistem pangan dan mengarahkannya demi kebutuhan sosial dan keberlanjutan ekologis.

COVID-19 dan Sistem Pangan Kapitalis

Kala kita tahu bahwa sistem agrikultur bertanggung jawab atas penyebaran virus, kita juga sadar betapa begitu bergantungnya kita pada sistem penyediaan pangan untuk bertahan hidup. Kedua masalah ini disebabkan oleh satu masalah: sistem pangan kita secara keseluruhan dikendalikan secara privat demi keuntungan para kapitalis.

Sebagaimana diterangkan oleh Wallace, dkk., sistem pertanian (sekarang) dijalankan dengan “komando produksi privat yang sepenuhnya hanya berfokus pada profit”. Motif profit dan kompetisi ini mendorong produsen pangan dengan sangat brutal untuk merasionalisasi dan menyeragamkan alam melalui perkebunan monokultur atau peternakan spesies tunggal.

Hal ini tidak hanya membuat sistem ekologi menjadi tempat yang sempurna bagi penularan virus, tapi juga menghilangkan biodiversitas ekologi sebelumnya yang mampu menahan ganasnya virus agar tetap berada pada tempatnya.

Namun, kita tidak dapat memikirkan pertanian agroindustri ini terpisah dari sistem yang lebih besar. Semua keuntungan agro-industri kapitalis ini tidak mungkin mengalir tanpa sumber permintaan konsumen utama, yakni kelas pekerja di seluruh dunia yang tak memiliki penghidupan apa pun, di mana mereka hanya bisa makan selama bekerja untuk mendapatkan uang.

Sebagaimana pendapat Raj Patel lebih dari satu dekade lalu. Kita hidup layaknya “jam pasir” sistem pangan, pada dua ujung jarumnya terdapat jutaan petani dan pekerja-konsumen yang dieksploitasi segelintir perusahaan agro-industri, perusahaan pengolah makanan, dan perusahaan retail raksasa di bagian tengah. Tuntutan kelas pekerja sangat penting bagi keseluruhan sistem.

Bahkan melebihi aturan yang dicanangkan pemerintah negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti pemberian kupon makanan atau Universal Basic Income (UBI) yang diminati akhir-akhir ini, semua itu hanya akan mengalirkan uang lebih banyak ke tangan perusahaan ritel raksasa, perusahaan pengolah makanan, dan perusahaan agribisnis.

Apa Tanggapan Ekososialis?

Jelas, pandemi ini membongkar krisis dalam relasi ekologis kita dengan pangan dan alam. Bagaimana tanggapan ekososialis yang tepat? Wallace mendiagnosis berbagai problem sistem pertanian kita dengan benar, tetapi tawaran solusinya hanya berimbas kecil pada massa pekerja yang bergantung pada uang, komoditas, dan toko grosir demi bertahan hidup.

Wallace mengusulkan bahwa kita perlu mengubah sistem pertanian secara menyeluruh, “pertama, mengintegrasikan kembali produksi pangan pada kebutuhan masyarakat pedesaan.” Dalam artikel lain, ia menjabarkan daftar tuntutan yang berpokok pada dua prinsip utama, memprioritaskan perjuangan untuk mendapatkan lahan bagi petani pedesaan dan produsen kecil masyarakat adat dan mengintegrasikan kembali produksi pertanian dengan prinsip-prinsip ekologis (semisal, “agroekologi”) yang mengganti pola industri monokultur dengan rotasi tanaman yang lebih beragam, pupuk organik, dan pengelolaan hama yang terintegrasi.

Gaya politik pertanian ini terangkum dengan kebanggaan retoris: “Mari kita wujudkan sistem dunia baru, pembebasan masyarakat adat, kemandirian petani, perbaikan strategis, dan ruang khusus agroekologi untuk mendefinisikan ulang apa itu biosekuritas, mengenalkan kembali kekebalan beragam varietas ternak, unggas, dan tanaman”.

Semuanya terdengar bagus. Ekososialis harus selalu mendukung gerakan petani kecil dan masyarakat adat untuk perjuangan yang disebut “daulat pangan dan tanah”. Ini sesuai dengan sejarah panjang politik sosialis yang mendukung gerakan perjuangan “penentuan nasib sendiri” bagi kaum tertindas

Namun ketegangan sesungguhnya dalam politik semacam ini adalah ketidakjelasan, apakah menempatkan komunitas perdesaan terlebih dulu atau menciptakan “ruang khusus agroekologis” yang mampu menciptakan sistem pangan yang layak bagi sekitar 71 persen angkatan kerja yang tidak terlibat dalam pekerjaan pertanian atau 55 persen populasi planet yang sekarang tinggal di perkotaan meskipun ada tren perkebunan kota (urban gardening), namun mereka masih bergantung pada uang untuk mengakses kebutuhan pangan demi bertahan hidup.

Pertanian kecil pedesaan memang sangat bagus untuk memenuhi pangan lokal, namun sebagian besar dari kita hidup dan bergantung pada rantai pasokan yang ada. Kemandirian petani memang memiliki arti bagus, tetapi bagaimana dengan pekerja sistem pangan yang jauh lebih luas di luar pertanian? Dan, bagaimana dengan kemandirian kita semua yang bergantung pada sistem penyediaan pangan untuk makan?

Sebagaimana dikemukakan Marx dan Engels, kontradiksi utama kapitalisme adalah, bahwa kita yang bergantung pada komoditas demi bertahan hidup bergantung pada padatnya jejaring kerja, namun semua uang dan komoditas itu diapropriasi sektor privat. Tujuan sosialisme adalah untuk mengambil alih sistem kerja yang sudah tersosialisasikan dan mensosialisasikan kontrol dan keuntungannya.

Dengan demikian, program agroekologi ekososialis untuk massa proletar perlu untuk dipikirkan lebih luas daripada sekedar “kemandirian petani”. Sosialisasi keseluruhan sistem pangan tidak hanya melingkupi pertanian, namun juga jaringan kerja sosial dan produksi yang membawa makanan di atas piring kita.

Mensosialisasikan Sistem Pangan

Daripada sekedar meninggalkan rantai pasokan agroindustri yang kita andalkan selama ini, kita perlu memikirkan bagaimana rantai pasok direkonstruksi agar tidak dikendalikan oleh profit. Fakta bahwa dalam sistem pangan yang berlangsung sekarang ini mengandung berbagai manfaat tidak dapat kita abaikan sepenuhnya.

Teknologi yang hemat tenaga kerja dalam agrikultur telah menghasilkan kelimpahan pangan yang luar biasa dengan curahan kerja yang sangat irit. Negara-negara industri mengerahkan sebagian kecil tenaga kerja untuk pertanian: 1,7 persen di Amerika Serikat, 2,9 persen di Prancis, 1,9 persen di Swedia, dan sebagainya. Bahkan di negara berkembang seperti Brazil yang jelas-jelas merupakan kelompok pertanian utama jumlahnya kecil (10,3 persen).

Namun ini tidak berarti pertanian sepenuhnya bisa otomatis atau tanpa tenaga kerja. Krisis coronavirus mengungkap bagaimana buruh tani migran secara bersamaan dieksploitasi dan dianggap “esensial” untuk memanen buah serta sayuran segar kita. Sistem pangan sosialis di mana pun perlu menemukan cara yang adil untuk mendistribusikan kerja semacam ini ke seluruh masyarakat.

Seperti kritik yang nantinya akan ditunjukkan di narasi ini, negara-negara yang memiliki sedikit angkatan kerja agrikultur juga mengimpor pangan dari lintas negara, yang di antaranya mungkin diproduksi dengan banyak tenaga kerja di perkebunan yang sangat eksploitatif. Merupakan penyimpangan sosialisme di seluruh dunia, jika penyediaan pangan sosialis didasarkan pada hubungan kerja yang eksploitatif.

Namun demikian, tren umum di bumi sekarang ialah banyak orang yang beralih dari pertanian dan masuk dalam ekonomi uang. Inilah yang disebut Farshad Araghi sebagai “depeasantisasi global” (merosotnya pekerjaan pertanian, pen). Bagi massa yang tercerabut dari tanahnya, kaum sosialis perlu lebih banyak memikirkan politik pangan sejalan dengan perjuangan penyediaan pangan dan produksi pangan.

Kita hidup dalam suatu sistem di mana sebagian besar orang tidak langsung memproduksi pangan. Namun beberapa pemikir sosialis berpendapat bahwa sistem pangan yang “revolusioner” mengharuskan kita semua menjadi petani, di mana “hampir semua orang ikut andil menumbuhkan tanaman yang akan dimakan.”

Memang jelas: pekerjaan pertanian amat sulit dilakukan. Banyak orang di masyarakat industri tak memiliki gairah dan skill memadai untuk melakukannya (itulah sebabnya petani kapitalis mengandalkan surplus pekerja migran yang bisa dieksploitasi dan mau diupah sangat rendah agar uangnya bisa dikirim ke tempat asalnya sebagai remitansi (uang yang dikirimkan pada keluarga di negara asal, pen).

Jadi teringat kampanye Take Our Jobs!” dari Serikat Pekerja Pertanian pada 2010 yang menawarkan pekerjaan pada warga AS di era pengangguran massal. Dari sini, hanya sedikit pelamar kerja yang serius atau berkualitas yang muncul.

Setiap politik revolusioner yang didasarkan pada kerja-kerja pertanian tidak akan menciptakan sebuah politik massa yang kita perlukan untuk benar-benar memenangkan sosialisme. Hal ini menurut Friedrich Engels, kembali pada kerja-kerja padat agraria lokal merepresentasikan posisi “sosialis utopis” yang menafikan tahapan kondisi material yang harus kita hadapi.

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa kita harus membuat usaha-tani agar lebih dihargai dan dibayar lebih mahal, namun saya ingin berpendapat bahwa pendekatan sosialis yang sejati adalah memastikan bahwa bentuk kerja-kerja paling berbahaya dan melelahkan secara fisik harus diotomatisasi sehingga tidak ada orang yang perlu melakukannya.

Pertanyaan utama bagi kaum sosialis adalah: teknologi otomatis mana yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem pertumbuhan agroekologis, alih-alih mesin perkebunan-monokultur yang diorientasikan untuk profit? Perdebatan ini berarti tidak terjebak pada salah satu pilihan produksi agroekologi industri atau pertanian kecil, tetapi bisa jadi adalah kombinasi keduanya

Dapatkah rotasi tanaman dan metode pengelolaan hama terpadu dikombinasikan dengan traktor (yang tidak berbahan bakar fosil) dan mesin panen? Dapatkah produksi agrikultur yang terotomatisasi dikurangi sehingga mencegah jenis kerusakan habitat dan keanekaragaman hayati yang dituding sebagai penyebab penularan virus yang menjadi pandemi?

Ini bukan hanya soal teknologi penghematan tenaga kerja. Rantai pasokan pangan tepat waktu yang terganggu hanya dengan panic buying menunjukkan betapa masifnya sosialisasi “mesin perencanaan” dengan kekayaan data dan kekuatan komputasi yang dapat memprediksi secara tepat ketika Anda berencana membeli sekaleng acar. Bayangkan jika sistem logistik itu dimanfaatkan tidak untuk profit perusahaan ritel raksasa, tapi untuk memastikan agar semua kebutuhan sosial terpenuhi?

Kita perlu menolak gagasan bahwa kita harus beralih sepenuhnya ke sistem pangan lokal. Jika kita mendekarbonasi transportasi, mampukah kita menciptakan relasi perdagangan yang saling menguntungkan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati pangan meskipun tidak tumbuh secara lokal?

Pertimbangkan betapa sedikit orang yang hanya mengandalkan pangan yang tumbuh secara musiman di wilayah tertentu. Kita mungkin memperdebatkan harga sepotong sandwich ayam, tetapi manusia secara luas (dan kaum sosialis) pasti juga menginginkan makanan segar dan lezat di luar wilayahnya.

Dalam kapitalisme, problem pangan non-lokal tidak terletak pada asal-usul geografisnya, tetapi dari kenyataan bahwa ia menyembunyikan eksploitasi umat manusia dan lingkungan dalam relasi produksi komoditas. Sosialisme ingin membuat produksi itu sendiri dapat dilihat dan tunduk pada kontrol demokratis. Jika kita tidak menemukan cara yang rasional secara ekologis untuk menyediakan selada bagi daerah beriklim sedang pada musim dingin, tidak masalah. Tapi kita tak bisa membiarkan ini dengan ide romantik bahwa “yang lokal” lebih baik bagi semua.

Bagaimana kita bisa mengubah sistem agro-industri kapitalis menjadi sosialis adalah pertanyaan terbuka. Kami semata-mata tidak memikirkan seberapa membatasinya sektor privat saat ini mengendalikan sistem pangan kita demi laba. Jika kita mendasarkan sistem pangan pada kebutuhan manusia dan rasionalitas ekologis, tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa teknologi dan perdagangan tak dapat digunakan demi kemanfaatan skala besar.

Pangan untuk Semua

Ketika orang-orang kehilangan pekerjaan dan penghasilan, mereka rela kelaparan demi memastikan anak-anaknya bisa makan. Seperti halnya layanan kesehatan, pangan perlu dianggap sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Ini berarti kita memerlukan strategi ekososialis yang berfokus pada gagasan utama dekomodifikasi pangan. Komodifikasi pangan ini dan kehendak kompetisi dan profit telah mendorong kapital mendesain lanskap produksi pangan seolah-olah mereka adalah barisan pabrik dengan gaya tanaman panen yang sama.

Gagasan utama dekomodifikasi adalah penyediaan pangan sebagai hak asasi manusia bagi semua orang. Pertimbangkan kebutuhan vital manusia yang lain: air. Meskipun ada upaya privatisasi, banyak masyarakat menyediakan air sebagai utilitas publik, baik secara gratis atau berbayar. Ketika kota-kota yang bangkrut seperti Detroit berupaya memutus aliran air untuk rumah tangga miskin, ini dituduh sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Mengapa kita tidak bisa melihat sistem pangan sebagai jenis utilitas publik yang serupa? Pangan, tentu saja, jauh berbeda dari air (meskipun kita juga membutuhkannya). Pangan tentu sangat beraneka ragam: ia tersaji dalam berbagai bentuk dan diproduksi dari berbagai praktik budaya yang berbeda-beda. Ini bukan ajakan untuk menjatah gandum secara terpusat. Ini adalah tentang membuat pangan dengan segala keanekaragaman budayanya menjadi masalah publik daripada masalah privat.

Saat ini, konsumen mengekspresikan preferensi makanannya dengan uang – makin banyak uang, makin banyak pilihan- dan penjual makanan swasta memutuskan berdasarkan keuntungan pemegang saham.

Dengan demikian, menjadikan sistem pangan sebagai suatu utilitas publik juga memerlukan aspek dekomodifikasi kedua: kendali demokratis. Sementara dekomodifikasi sering kali dilihat hanya sebagai penyediaan “barang gratis,” martabat utama manusia adalah kendali terhadap berbagai keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Seperti apa sistem pangan yang demokratis? Sam Gindin berpendapat bahwa jalan tengah sosialis ialah antara kontrol pekerja lokal, dan perencanaan negara yang lebih demokratis dan lebih tinggi levelnya. Ia mengusulkan agar kita membuat “dewan sektoral” untuk sektor tertentu yang penting secara sosial seperti pangan dan pertanian. Dewan-dewan ini idealnya mewakili masyarakat yang butuh penyediaan pangan dan mewakili para pekerja yang terlibat dalam produksi pertanian.

Dewan-dewan ini dapat memberitahu upaya skala besar di “perencanaan ekologis.” Penelitian Wallace dan studi lain menunjukkan bahwa sistem produksi pangan kita sangat tidak rasional dari perspektif ekologis. Kita tak kekurangan pengetahuan ekologis yang saintifik dan berguna untuk menginformasikan macam-macam jenis produksi. Kapital mengabaikannya. Kalangan ekososialis perlu berpendapat bahwa perencanaan ekologis harus diintegrasikan ke dalam semua sistem produksi kita, dan sistem pangan kita merupakan ruang yang tepat untuk memulainya.

Krisis Coronavirus telah mengungkapkan kapitalisme sebagai suatu sistem yang bertentangan dengan kehidupan. Virus yang mematikan muncul di perkebunan kapitalis dan berjalan melewati jejaring uang dan sirkulasi komoditas. Orang-orang yang tidak terbunuh oleh virus tetap tak mampu mengakses pangan yang dibutuhkan agar bisa hidup sehat. Krisis ini merupakan peluang dramatis untuk menata kembali masyarakat dan ekonomi kita jika diorganisasikan dalam kondisi yang berbeda.***

Diterjemahkan dari: https://jacobinmag.com/2020/04/covid-food-system-coronavirus-agriculture-farming

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *