Dari Tebuireng, Kaum Muda NU Terbitkan Resolusi Jihad Jilid II
Resolusi jihad yang dikeluarkan pendiri Ponpes Tebuireng Jombang, Hadratusyaikh Hasyim Asyari bersama ulama NU lainnya mampu mengobarkan semangat perlawanan mengusir penjajah. Lewat resolusi tersebut pecahlah pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini dikenal dengan Hari Pahlawan.
Terinspirasi dari mementum itu pula, kaum muda NU yang tergabung dalam FN-KSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) berkumpul di Ponpes Tebuireng selama dua hari, yakni 7 – 8 Desember 2013.
Hasilnya, para kaum muda dari Kebumen, Wonogiri, Pati (Jawa Tengah), Tuban, Bojonegoro, Mojokerto, Tuban, serta Samarinda Kaltim, menerbitkan resolusi jihad jilid II.
Ada lima poin dalam resolusi tersebut, diantaranya menuntut kepada pemerintah RI untuk menghentikan usaha-usaha kapitalis ekstraktif yang membahayakan kedaulatan. Kedua, menuntut PBNU agar memerintahkan perjuangan “fi sabilillah” guna merebut penguasaan sumber daya alam demi tegaknya kedaulatan Republik Indonesia Merdeka dan agama Islam.
Kemudian poin nomor tiga, menyerukan kepada semua warga nahdliyin dan ummat islam untuk mempertahankan tanah air dari rongrongan kapitalisme ekstraktif dengan merebut dan menasionalisasi penguasaan sumber daya alam.
Keempat, menuntut pemerintah RI untuk membatalkan, mencabut, menolak semua kontrak/ijin pengelolaan sda yang merusak dan berpotensi merusak daya hidup masyrakat, lingkungan dan tidak sesuai kebutuhan nasional. “Terakhir, kami menuntut pemerintah RI mengembangkan dan memajukan energi terbarukan,” kata Ubaidillah, koordinator FN-KSDA,
Minggu (8/12/2013).
Pemuda asal Kebumen ini menjelaskan, konflik sumber daya alam merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh Indonesia pasca-reformasi. Betapa tidak, pada tahun 2013 tercatat 232 konflik sumber daya alam dan agraria di 98 kabupaten/kota dari 22 provinsi di Indonesia. Tentu saja, konflik itu mengorbankan warga.
“Dalam banyak kasus, petani dan masyarakat setempat selalu dirugikan. Kasus pertambangan batu bara di samarinda Kaltim, kasus rencana industri semen di Pati Jateng, dan kasus perebutan lahan di Urutsewu, Kebumen, adalah beberapa di antaranya,” sambungnya.
Hal senada dilontarkan Aan Anshori, aktivis Gusdurian (komunitas pecinta Gus Dur) yang ikut dalam acara tersebut. Menurutnya di Mojokerto dan Jombang, ratusan titik penambangan galian beroperasi illegal dan membahayakan lingkungan. Praktis, hal itu berpotensi menyebabkan banjir dan hilangnya sumber mata air untuk konsumsi dan keperluan warga.
Sedanghkan di Sidoarjo, problem pembayaran korban lumpur Lapindo tetap menjadi tuntutan korban. Di sisi lain, beberapa titik pengeboran minyak di kabupaten tersebut diam-diam telah beroperasi tanpa memperdulikan protes warga. Kondisi serupa juga terjadi di Jember.
Eksplorasi pasir besi yang eksploitatif juga ditolak oleh warga
setempat karena dianggap mengancam ekosistem dan kehidupan lingkungan.
Problem yang sama juga dihadapi oleh warga banyuwangi, kandungan emas di wilayah tumpangpitu dieksploitasi secara sepihak tanpa mempedulikan protes dan keberatan warga. Sebagian besar dari warga yang menjadi korban adalah warga nahdhiyyin.
“Oleh karena itu, dalam pertemuan FN-KSDA yang berlangsung di aula Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang dilaksanakan pada tanggal 7-8 desember, kami dari berbagai daerah menyerukan Resolusi Jihad Jilid II sebagai perlawanan terhadap bentuk penjajahan baru (kapitalisme ekstraktif),” urainya.
Deklarasi Resolusi Jihad Jilid II ini ditutup dengan penampilan tari remo oleh sejumlah pegiat kesenian dari Jombang. Selain itu juga digelar ruwat bumi yang dilakukan dengan menampilkan kesenian barongan atau reog dari Pati Jawa Tengah.
Ruwatan bumi tersebut sebagai simbol dan harapan agar bumi pertiwi tetap subur dan bisa memberikan kesejahteraan kepada warganya. Bukan sebaliknya, mencelakakan dan menyengsarakan, akibat eksploitasi yang tidak manusiawi terhadap sumber-sumber energi dan sumber kehidupan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, maupun pemilik kapital dalam negeri.