Browse By

GANJAR PRANOWO DAN KECULASAN SEORANG POLITISI SALON: Pelajaran dari meledaknya penolakan pabrik Semen Indonesia di Rembang

Oleh: Dwicipta

“Jangan menjadi salon politikus!” —Bung Karno dalam Sarinah.

Begitu resmi dicalonkan sebagai calon Gubernur jawa Tengah, Ganjar Pranowo langsung dipopulerkan sebagai seorang politisi cerdas disamping diprofilkan sebagai politisi muda, energik, dan menarik. Dalam selimut euforia keberhasilan Joko Widodo yang menarik perhatian publik, di tengah kerja keras PDI-P meyakinkan kandang bantengnya sendiri atas profil politisi yang selalu tampil pintar di layar televisi, publik Jawa tengah menaruh harapan besar pada lelaki kelahiran Karang Anyar lebih dari 45 tahun lalu tersebut. Maka tidak mengherankan apabila sejak pertamakali menduduki kursi kepemimpinan politik Jawa Tengah, rakyat menunggu-nunggu seperti apa prestasi yang akan ditorehkan oleh Ganjar Pranowo yang dikampanyekan sebagai politisi muda, cerdas, energik, dan menarik.

Cobaan pertama yang harus dihadapinya sebagai gubernur adalah ketika sekelompok anak muda yang ingin mengadakan diskusi dan bedah buku Tan Malaka karya Harry A Poeze diprotes dan diintimidasi oleh berbagai kelompok yang mengaku dirinya ‘anti-komunis.’ Reaksi berlebihan elemen-elemen yang mengaku dirinya anti-komunis ini mendapatkan reaksi hebat di media sosial seperti facebook dan twitter. Publik medsos beramai-ramai menyerukan Ganjar Pranowo selaku pemimpin politik Jawa tengah untuk turun tangan langsung dalam mengawal amana5 konstitusi tentang kebebasan mengemukakan pendapat. Apa respon Ganjar Pranowo? Begitu desakan menghebat, secara innocent ia menyatakan bahwa dirinya tidak diberitahu perihal heboh rencana bedah buku Tan Malaka di Semarang. Desakan hebat itu pula yang membuatnya mengikuti nalar sehat publik dan menjadi penjamin terselenggaranya acara bedah buku itu.

Cobaan serius berikutnya adalah kasus Urutsewu. Para petani wilayah pesisir Urutsewu, kebumen, yang telah bertahun-tahun tak memeroleh kejelasan atas tanah mereka yang diklaim oleh tentara bekerja bahu-membahu dengan para seniman, akademisi, intelektual, dan mahasiswa guna memeringati 3 tahun tragedi penembakan petani Setrojenar. Kasus ini meledak di media massa mainstream maupun medsos karena fitnah Suara Merdeka bahwa elemen gerakan yang terlibat acara kesenian di Urutsewu memeroleh dana sebesar 9 milyar. Salah satu efek dari ledakan isu ini adalah besarnya tuntutan publik agar Ganjar Pranowo bisa memediasi konflik antara TNI dan warga Urutsewu atas tanah yang diklaim TNI itu. Di sini Ganjar Pranowo melakukan serangkaian blunder yang bertolak-belakang dengan citra-dirinya sebagai politisi cerdas. Pertama, tanpa bertemu terlebih dahulu dengan para petani Urutsewu yang menjadi satu di antara subyek paling berkepentingan dalam kasus urutsewu, Ganjar melakukan pertemuan dengan Bupati Kebumen dan Kasdam IV Diponegoro. Setelah mengadakan pertemuan itu, ia mengeluarkan pernyataan yang menjadi blunder kedua: “Kalau TNI merasa memiliki tanah di Urutsewu, mereka dipersilahkan untuk melakukan permohonan sertifikasi tanah ke BPN.” Blunder ketiga, yang membuat pemimpin politik ini mengingkari citra yang dibangunnya sejak kampanye sebagai politisi yang cerdas, energik dan menarik adalah ini: sejak mencuatnya kasus Urutsewu, ia belum pernah melakukan dengar-pendapat dengan warga Urutsewu. Alih-alih menggunakan pendekatan kerakyatan seperti yang menjadi jargon partainya, Ganjar Pranowo lebih suka menggunakan pendekatan yang manipulatif dengan melakukan pertemuan dengan Bupati dan Kasdam IV Diponegoro yang sangat elitis. Blunder berikutnya, untuk menutupi keculasan-keculasan yang sudah terlanjur diketahui publik itu, ia melakukan politik pencitraan dengan aksi marah-marahnya di Jembaan Timbang Batang dengan membawa awak media sehingga berita itu menjadi heboh sesaat di media massa nasional serta sukses mengubur isu Urutsewu yang eskalasinya mulai meningkat.

Kisah Sang Gubernur parlente ini tak berhenti di kasus Urutsewu. Berjarak dua bulan dari kasus Urutsewu di Kebumen, Ganjar dihadapkan dengan ujian kepemimpinan berikutnya. Pada tanggal 16 Juni 2014, kerusuhan pecah saat pihak pabrik Semen Indonesia yang akan mengadakan peletakan batu pertama di tapak pabrik diprotes warga Tegaldowo dan Timbrangan. Polisi dan tentara bertindak brutal dengan melemparkan Murtini (petani desa Timbrangan) dan Suparmi (petani desa Tegaldowo) ke semak-semak hingga pingsan, melakukan pengejaran erhadap warga yang memantau dan atau mendokumentasikan aksi warga dari kejauhan. Akibat tindakan brutal itu, enam orang yang sedang melakukan dokumentasi aksi ditangkap. Polisi juga melakukan tindakan brutal dengan mengobrak-abrik tenda keprihatinan warga, melarang adanya alat penerangan, sampai menghalang-halangi masuknya logistik ke tapak pabrik yang menjadi tempat diadakannya aksi warga.

Heboh di media sosial dan media massa lokal maupun nasional kembali terjadi. Berbagai kelompok masyarakat menyatakan simpatinya lewat berbagai saluran terhadap tindakan sewenang-wenang aparat. Aksi solidaritas terjadi hampir di seluruh Indonesia. Seruan agar Gubernur Ganjar Pranowo memediasi konflik antara warga dan pihak semen kembali naik dalam tensi yang lebih tinggi. Seruan bertubi-tubi dari berbagai lapisan di masyarakat, aksi solidaritas yang diselenggarakan di banyak kota di Indonesia, dan sweeping terhadap simpatisan yang datang ke lokasi aksi keprihatinan warga di dekat tapak pabrik oleh preman membuat Ganjar akhirnya mau mengadakan dengar-pendapat dengan warga tegaldowo dan Timbrangan. Rombongan yang ikut dalam audiensi ini adalah Ming Lukiarti, Baskoro, Marno, Adin, seorang pegiat gua yang meneliti gua-gua di wilayah Rembang dan Pati, dan beberapa orang lainnya. Mas Marno, salah satupeserta dengar-pendapat dengan Gubernur, bercerita tentang pengalaman audiensi dengan Ganjar Pranowo di Semarang. Ia bercerita bahwa sejak awal sekali Ganjar telah secara semena-mena menyeleksi orang-orang yang melakukan audiensi dengannya. Dari ceritanya pula muncul keterangan bahwa Ganjar memarahi orang-orang di Semarang yang melakukan aksi solidaritas untuk warga rembang yang menolak pendirian pabrik semen. Itu sebabnya di saat bertemu pertamakali dengan Ganjar ia mau salaman, setelah proses audiensi, ia memutuskan untuk tidak bersalaman dengan Ganjar. Apa yang dikatakan Marno ini memeroleh penegasan karena sehari sebelum bertemu dengan Marno saya mengadakan wawancara dengan Adin Mbuh soal audiensi dengan Gubernur. Dalam kata-kata Adin, “Dia nampaknya masih ingat aku soal diskusi Tan Malaka itu. Waktu audiensi dia ngakunya tidak tahu apa-apa soal Rembang sampai orang ramai memaki-mami dia di medsos. Diskusi Tan Malaka Ganjar juga ngakunya tidak tahu apa-apa tapi di-bully di media sosial. Dia ngomong begitu karena tahu aku ikut dalam rombongan orang yang ikut audiensi.” Penegasan makin kuat didapatkan dari MW, seorang anggota klub peneliti gua (speleologi). Dalam kata-kata MW: “Ganjar menanyai orang-orang yang beraudiensi dengan dia. Kalau bukan warga asli Rembang dia tidak mau ngomong. Aku ditanyai, dan ketika kujawab sedang meneliti gua di Rembang, dia langsung tak mau berbicara dengan saya.”

Politik eksklusi terhadap aktor-aktor di luar warga lokal yang menolak pendirian pabrik semen yang dilakukan oleh Ganjar ini secara telak menampar wajah Soekarno wajah ideologi partainya yang terus memberi teladan  kedekatannya dengan massa bawah (kaum marhaen seperti petani yang menolak pendirian pabrik semen). Eksklusi para aktivis lingkungan, arkeologis, atau ahli karst yang ikut dalam pembicaraan soal penolakan pabrik semen bisa diartikan bahwa Ganjar adalah pemimpin politik yang ingin melestarikan kebodohan (dan kebebalan) warganya sendiri. Warga atau massa bawah yang sehari-hari hanya bertani tak akan pernah tahu soal lambung air di bawah karst, benda-benda arkeologis yang bisa membuat warga lokal mengetahui sejarah nenek moyang dan peradabannya, kehancuran lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi pabrik semen, dan pengetahuan-pengetahuan lain yang membuat warga yakin bahwa di balik kemiskinan permukaan tanah kapur yang mereka tempati, wilayah gunung kendeng di Rembang menjaga keseimbangan hidup bukan hanya warga Rembang namun juga wilayah-wilayah lainnya. Pembodohan mana yang lebih memalukan daripada yang dilakukan oleh seorang pemimpin politik yang mengklaim dirinya sebagai perwakilan wong cilik ini?

Tindakan Ganjar ini menjadi anti-thesis dari ucapan Soekarno yang mengeluhkan susahnya mendidik rakyat supaya cerdas. Dalam kata-kata Soekarno, “Mendidik rakyat supaya cerdas butuh waktu bertahun-tahun.” Ganjar memang bukan Soekarno. Sikap politik Ganjar yang secara tersirat namun sistematis berusaha membuat bodoh rakyatnya apabila diterjemahkan dalam kata-kata akan berkebalikan dengan kata-kata Soekarno:“Menjadikan rakyat terus menerus bodoh tak perlu waktu bertahun-tahun!” Beraudiensi-lah para warga Jawa Tengah yang mengalami berbagai macam persoalannya masing-masing dan ajak-sertalah para ahli hukum, ahli lingkungan, ahli karst, ahli kesenian yang ingin menjelaskan kepentingan warga dari perspektif ilmunya masing-masing dan saksikan bagaimana Ganjar menyingkirkan para ahli itu dengan alasan bukan penduduk lokal yang punya kepentingan konkret atas persoalannya. Warga Wonogiri yang mengalami persoalan serupa dengan Rembang dan Pati, warga Wonosobo yang sedang dalam konflik tanah, warga Batang yang sedang menghadapi korporasi berwujud PLTU, warga Jepara yang sedang berhadapan dengan PLTN, silahkan buktikan keculasan Gubernur yang dicitrakan cerdas dan menarik ini!

Kekenesan sebagai politisi salon tampak dalam berbagai pernyataan-pernyaaannya. Dalam audiensi antara Ganjar dan warga penolak pabrik Semen Indonesia Ganjar kemarin, ia mengeluarkan statement bahwa sebelum datang ke lokasi itu ia sudah membaca semua informasi tentang isu pabrik semen di Rembang. Saat mengucapkan kata-kata itu, pancaran mukanya tampak terang, wajahnya manis, dan senyum kecilnya mengembang. Hal ini justru berkebalikan dengan respon-nya saat diminta menanggapi desakan agar mengurusi kasus Rembang dan Urutsewu di media sosial. Dia membuat pernyataan bahwa dirinya tidak tahu duduk perkara apa-apa tapi dimaki-maki di media sosial. Di satu sisi Ganjar menempatkan dirinya sebagai orang yang bermuka manis (dengan niat menipu) kepada warga (agar ia mendapatkan simpati dari warga), sementara di sisi lainnya ia menampilkan diri sebagai orang yang naif dan innocent. Permainan teater apalagi ini?

Pikiran soal cara berpikir Ganjar yang berusaha bermuka manis di hadapan warganya dan memasang wajah innocent atau naif di hadapan banjir kritik media sosial saat ditanya wartawan (itupun wartawan yang tak kritis-kritis amat dan dianggap akan aman memberikan pemberitaan) ini menemukan simetrinya pada cara berpikir elitis dan perebutan ruang pengaruh antara dirinya dengan elite nasional lain yang dianggap bisa menggerus otoritasnya. Hal ini didasari dengan sebuah fenomena sehari sebelum hadirnya Ganjar Pranowo di dekat tapak pabrik. Hari Kamis, Alissa Wahid (putri kedua Gusdur) datang ke lokasi ibu-ibu yang menentang pendirian pabrik Semen Indonesia di desa Kadiwono (dukuh Tambak Selo). Lokasi tapak pabrik itu tanahnya sebagian milik desa Kajar (Kec.Gunem) dan sebagian lagi milik Kadiwono (kec. Bulu). Kehadiran Alissa diartikan Ganjar sebagai dukungan seorang elite nasional terhadap ibu-ibu yang menentang pendirian pabrik semen. Dalam ekstrem yang lain, kehadiran Alissa di lokasi sengketa itu juga dianggap merongrong kewibawaan dia sebagai Gubernur atau pemimpin politik Jawa Tengah.

Barangkali berangkat dari pertimbangan itu ia kemudian memutuskan untuk datang dan menyorongkan muka manisnya ke warga yang berada di lokasi sengketa. Ia berharap kewibawaannya sebagai pemimpin politik bisa kembali dengan hadir di lokasi tapak pabrik itu. Yang tidak ia perkirakan adalah reaksi warga setelah beraudiensi dengannya: Beberapa warga tidak mau bersalaman dengannya! Bagaimana Ganjar sebagai pemimpin politik—apalagi pemimpin politik dalam kacamata etika Jawa yang sangat patronisik—bisa ditolak oleh warga yang tidak terdidik secara formal dan tak mengalami pendidikan politik non-formal yang baik? Kalau saja Ganjar memiliki sensibilitas sebagai seorang pemimpin politik yang berkarakter, yang mengamalkan ajaran trisakti Bung Karno mengingat dirinya seorang nasionalis, yang memiliki simpati terhadap massa bawah yang menjadi pembela gigih PDI-P selama enam tahun terakhir, ia tentu akan membaca bahwa sikap warga yang menolak bersalaman adalah sinyal dari berpisahnya massa bawah dengan pemimpinnya. Hal ini biasanya akan diikuti dengan arus ketidakpercayaan politik yang meluas terhadap berbagai kebijakannya ke depan.

Selama mendengarkan audiensi antara Ganjar Pranowo dengan warga, aku jadi betul-betul teringat dengan apa yang dikatakan Galeano: Persoalan terbesar manusia adalah karena ia lebih banyak menggunakan mulutnya yang hanya satu, sementara sepasang telinga, mata, dan lubang hidung serta indera perabanya yang jumlahnya tak terbatas tak dipakai. Dalam kasus seorang pemimpin yang tengah menemui warganya yang sedang dilibat persoalan, diktum Galeano ini hampir menemukan kebenaran mutlaknya. Ganjar Pranowo, politisi yang berpenampilan elegan, berambut rapi, dan bermuka manis itu lebih banyak mengeksploitasi mulutnya daripada menggunakan mata dan telinganya untuk menghadapi warganya. Ia bahkan tak menggunakan kehalusan telapak tangannya untuk merasakan derita rakyat bawah yang mengajaknya bersalaman. Dengan posisi berjongkok di depan para perempuan yang menolak pendirian pabrik semen yang berteduh di bawah tenda keprihatinan mereka, ia bergaya layaknya seorang raja sedang bertemu dengan kawulanya. Jemari tangan dan gerakan kepala pemimpin politik tertinggi di Jawa Tengah ini memberi isyarat siapa yang akan mengeluarkan uneg-unegnya. Di hadapan dan belakangnya para wartawan dan juru kamera sibuk mengambil foto dan merekam peristiwa itu. Betapa sial: isyarat memerintah itu tak dibarengi dengan kesediaannya mendengar dan menyimak betul-betul curahan hati warganya. Mulutnya gatal dan segera mengeluarkan segala pemanis atau dengan nada bicara seorang raja menghentikan keluhan warga sekehendak dirinya.

Seluruh perilaku dan cara berpikir seperti yang ditunjukkan oleh Ganjar Pranowo di atas, tanpa bisa dibantah lagi, adalah ciri-ciri pemimpin politik yang ditakutkan Soekarno akan menjangkiti pemimpin-pemimpin yang mengaku-aku sebagai perwakilan rakyat atau massa bawah. Enam puluh lima tahun yang lalu, lewat bukunya yang fenomenal berjudul Sarinah, Bung Karno telah mewanti-wanti agar politisi jangan sampai menjadi salon politikus. Dan enam puluh tahun kemudian, dikandang banteng sendiri di Jawa Tengah, lewat kasus pendirian pabrik Semen Indonesia di Rembang, Ganjar Pranowo mengkhianati kata-kata Bung Karno. Pengkhianat di kandang banteng itu sendiri!

Rembang, 28 Juni 2014

Pasca sesi dengar pendapat warga Tegaldowo dan Timbrangan dengan Gubernur Ganjar Pranowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *