Gus Dur dan Oligarki Penggusurnya yang Masih Berdiri Tegak
Ahmad Khoirul Anwar- FNKSDA Malang Raya / santri PPS Shirotul Fuqoha’ sepanjang gondanglegi Malang
Makzulnya Gus Dur
20 tahun lalu tepatnya bulan ini KH Abdurahman Wahid atau yang biasa kita kenal dengan nama Gus Dur resmi dilengserkan dari kursi ke-Presidenan. Pelengseran tersebut terjadi setelah mendapat mosi tidak percaya dari Majelis Permusyawaratan Rakyat kala itu. Mosi itu dikeluarkan lantaran Gus Dur didera sejumlah isu politik, salah satunya adalah kasus Bulog Gate dan Brunei Gate meskipun sampai saat ini tidak pernah terbukti kebenaranya.
Tatkala mosi tidak percaya mengalir deras terhadap dirinya, Gus Dur malah melakukan perlawanan dengan menerbitkan Dekrit Presiden yang mana dekrit itu berbunyi (1) Pembubaran MPR/DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) Membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Karena kurangnya dukungan politik kala itu akhirnya Gus Dur lengser pada 23 Juli 2001 yang kemudian posisinya digantikan oleh Megawati Sukarno Putri yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden dalam tampuk kepemimpinan Gus Dur.
Meski konstelasi politik sedang mengalami ketegangan, tetapi tensi politik kala itu secara garis besar berangsur menurun. 18 tahun kemudian Virdika Rizky Utama, melalui produk jurnalisme investigasinya berhasil menguak berbagai intrik politik yang terjadi saat itu secara sistematis memang ditujukan untuk menjatuhkan Gus Dur secara politis. Dalam salah satu dokumen bertajuk “Operasi Semut Merah” yang ditemukan oleh Virdika, pelengseran Gus Dur secara sistematis ini melibatkan beberapa politikus nasional antara lain Amin Rais, Fuad Bawazir, Akbar Tanjung, Arifin Panigoro, Surya Paloh, Fadel Muhammad, Hingga Priyo Budi Santoso serta beberapa tokoh nasional lainya.
Dokumen yang berhasil ditemukan di depan DPP Partai Golkar tersebut memuat laporan dari Fuad Bawazir kepada Akbar Tanjung bahwa situasi di lapangan sudah terkendali. Dalam dokumen tersebut setidaknya ada dua skenario yang dipersiapkan yakni menjatuhkan kredibilitas Gus Dur lewat dua skandal Brunei Gate dan Bulog Gate. Kedua, memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati Sukarno Putri maju yang nantinya dapat mereka kendalikan.
Masih dalam dokumen tersebut, yang di dalamnya memuat situasi waktu itu perihal pembagian tugas dalam upaya pelengseran Gus Dur berjalan dengan lancar. Sebut saja dalam menjatuhkan kredibilitas Gus Dur, kasus demi kasus yang belum terbukti kebenaranya terus menerus digoreng media agar secara terus menerus dikonsumsi dan mempengaruhi opini publik tempo itu. Dalam hal ini disebut nama Surya Paloh dan kawan-kawan sebagai penguasa media dan juga politisi yang dibesarkan dari rahim orde baru sukses sebagai aktor penggeraknya.
Mengorganisir media sebagai instrumen kurang lengkap sebagai penekan tanpa diimbangi dengan kekuatan riil di lapangan. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan KAMMI, HMI, BEM PTS dan PTN, Pemuda Pancasila serta kekuatan massa dari beberapa partai seperti PKS, PAN, PBB serta yang lainya merupakan kekuatan riil dalam agenda ini. Mulai opini, kritik, sampai aksi massa mereka lakukan jelas dengan tujuan untuk mempercepat pelengseran Gus Dur. Tak hanya itu, pemborongan dollar oleh para pengusaha agar kurs rupiah menjadi linglung, penekanan parah yang dilakukan oleh para cendekiawan, bahkan pengkondisian para ulama’ untuk mencabut dukunganya kepada Gus Dur pun sudah tersusun rapi dan masing-masing sudah ada penanggungjawabnya, serta dana yang dihabiskan dalam proyek ini pun disebut-sebut mencapai triliyunan rupiah[1].
Melihat hal tersebut tentunya penjatuhan Gus Dur merupakan tumbangnya harapan perubahan yang digelorakan dalam agenda reformasi. Upaya penjatuhan ini dapat kita simpulkan sebagai puncak gunung es hasil dari kebijakan non-kompromis, demokratis, anti korupsi, demiliterisasi, pendekatan humanis kepada rakyat Papua, serta kebijakan-kebijakan radikal lain yang Gus Dur ambil, yang mana hal tersebut dianggap mengganggu kekuatan lama yang berkuasa.
Dalam dokumen ini juga memastikan bahwa oligarki yang coba diurai oleh Gus Dur begitu kuat bahkan untuk kesekian kalinya mampu mengkarantina kekuatan revolusioner yang akan menumbangkannya. Di tangan oligarki, merebut kekuasaan yang sah tak perlu dilakukan secara berdarah-darah, cukup dikonsolidasikan menggunakan kekuatan ekonomi-politiknya segala sumberdaya yang memungkinkan seperti media, mahasiswa, pengusaha bahkan massa dari rakyat pun akan bergerak sesuai apa yang mereka inginkan.
Pengaburan Pandangan
Momen bersamaan dengan situasi pandemi yang sedang kita rundung saat ini menghasilkan banyak tulisan refleksi, diskusi serta berbagai testimoni sebagai upaya peringatan momen ini. Namun dari berbagai upaya peringatan yang dilakukan oleh para kelompok pro Gus Dur tersebut nampak ada satu hal yang patut kita sesalkan yakni tentang ilusi identitas, yang mana momentum ini menghasilkan polarisasi identitas antara kelompok yang mendukung Gus Dur dan stigma negatif terhadap kelompok yang berpartisipasi atas persekongkolan dalam pemakzulan Gus Dur seperti PKS, HMI, KAMMI dan kelompok lainya.
Polarisasi demikian dapat melahirkan dua distorsi yang berbeda namun saling terkait, yakni penggambaran keliru terhadap orang yang tergolong pada kelompok yang disasar, serta terbentuknya suatu kepastian bahwa ciri-ciri keliru tersebut merupakan satu-satunya ciri yang sesuai dengan identitas yang disasar (Amartya Sen, 11:2006)[2]. Sebagai contoh keterlibatan PKS, KAMMI, HMI dalam momentum penggulingan Gus Dur oleh beberapa orang dapat diasumsikan sebagai pertentangan ideologi antara Islam tradisional vs Islam modern, Salafi, pro Khilafah, intoleran dan seterusnya. Kemudian stigma ini menghasilkan pandangan bahwa setiap orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok tersebut pasti memiliki beberapa ciri tersebut dan pasti selalu bertentangan dengan kelompok Islam tradisionalis sebagaimana hal ini akan terbawa dalam setiap aspek kehidupan seperti kehidupan bermasyarakat, pilihan partai politik hingga praktik keberagamaan.
Dari pengandaian identitas tunggal hasil dari polarisasi tersebut sesungguhnya memiliki muatan adu domba yang secara implisit telah menempatkan manusia secara pelan dan pasti kedalam kotak-kotak yang kaku. Hal tersebut akan akan membenamkan pengelompokan-pengelompokan yang lain seperti si miskin dan si kaya, pejabat dan rakyat dan bahkan lebih jauh akan mengaburkan pandangan tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Di mana dalam peristiwa ini esensi perjuangan Gus Dur dalam melawan sistem yang korup serta oligarki yang selama ini mencengkeram ibu pertiwi akan terkaburkan oleh konflik identitas sesama rakyat.
Distorsi tersebut pada dasarnya sudah dapat kita lihat dalam konteks Indonesia hari ini. Beberapa kelompok pendukung Gus Dur yang mengutuk keras momentum 23 Juli 2001 hanya menggelorakan kebencian terhadap kelompok-kelompok lapangan yang terlibat dan secara ideologi bersebrangan dengan mereka. Namun di satu sisi mereka berada dan bercengkerama dengan oligarki dalam lingkaran kekuasaan.
Semua tahu bahwa dalam konteks politik nasional era ini, mulai dari Wakil Presiden, Gubernur, Menteri hingga pejabat daerah dipenuhi kelompok pro Gus Dur dan simpatisannya. Hal ini membuktikan bahwa kelompok pro Gus Dur hari ini berada dekat dengan kekuasaan.
Namun narasi-narasi yang mereka kembangkan tak pernah jauh dari narasi-narasi anti-khilafah, NKRI harga mati, kadrun, intoleran yang menyasar kelompok lain dan isu tersebut menggelora dengan tak berimbang dari pada narasi-narasi kemiskinan, korupsi, pelanggaran HAM, ketimpangan ekonomi yang tentu dalam konteks ini menyasar pada oligarki. Bahkan lebih jauh lagi kelompok pro Gus Dur yang selalu mengutuk momentum 23 Juli tak dapat berbicara banyak ketika dalam masa pandemi seperti ini Pemerintah kerap kali membuat kebijakan yang tidak pro rakyat, sebut saja UU revisi KPK, Omnibuslaw, UU Minerba, penutupan ruang-ruang demokrasi, keberpihakan pada pengusaha dalam konflik agraria, hingga penangan pandemi yang lebih berorientasi pada keselamatan ekonomi dari pada keselamatan rakyat yang kesemua itu muaranya adalah menguntungkan oligargki. Bahkan dalam banyak kesempatan mereka cenderung bermain aman bahkan membela apa yang dilakukan oleh Pemerintah.
Meratapi atau Melanjutkan Perjuangan
Dalam klasifikasinya, para kelompok pro Gus Dur dan para simpatisannya yang sama-sama mengutuk momentum 23 Juli yang menjadi catatan hitam sejarah bangsa ini. Penulis sepakat dengan pengkategorian yang diungkapkan oleh Gus Aan Ansori dalam salah satu tulisannya (islami.co 20/02/2020)[3] bahwa Gus Aan membagi kelompok pro gusdur menjadi 3 bagian dalam memaknai prosesi memilukan ini. Pertama, adalah mereka yang geram, mengutuk dan mengecam pemufakatan jahat ini namun lupa merenungkan esensi yang diperjuangkan Gus Dur. Kelompok pertama ini cenderung memelihara dendam kelompok dan berpotensi besar terjebak dalam distorsi masalah, yang bukan tidak mungkin masalah turunan dari distorsi ini akan menghasilkan konflik identitas.
Kedua, kelompok yang mengecam namun di sisi lain juga menganggap hal ini hanyalah adegan pertarungan politik yang lumrah. Di mana dalam konteks ini akan memaknai pemufakatan sebatas perang strategi demi kepentingan pribadi dan kelompok. Kelompok dalam kategori kedua inilah yang hari ini memaki-maki momen pemakzulan Gus Dur di satu sisi dan bergandengan tangan serta bermesraan dengan oligarki yang dulunya dilawan keras oleh Gus Dur.
Ketiga, adalah kelompok yang mengenang momentum 23 Juli sebagai wujud berbahayanya oligarki bagi bangsa ini dan hal tersebutlah yang coba dilawan oleh Gus Dur dengan segenap tenaganya. Kelompok ketiga ini tahu betul bahwa Gus Dur dijatuhkan karena beliau tak mau berkompromi dengan para pelanggar HAM, Gus Dur menolak formalisme agama yang hanya akan berahir pada perusakan ke-Bhinekaan. Gus Dur sekuat tenaga mengembalikan supremasi sipil atas militer, beliau juga menolak bernegosiasi dengan orang-orang yang terindikasi korupsi yang semuanya bermuara pada oligarki kekuasaan yang telah lama bercokol di negeri ini. Kelompok terahir ini mencoba memahami dan meneladani visi pembebasan yang dilakukan Gus Dur tanpa terjebak ilusi identitas maupun kepentingan praktis semata.
Gus Dur memang berhasil dijatuhkan oleh politik kotor oligarki, namun beliau secara tidak langsung menekan alarm bahaya yang harusnya membuka mata kita akan bahayanya oligarki. Gus Dur juga meneladankan bahwa dibutuhkannya politik alternatif di luar politik koruptif hari ini yang terkonsolidasi dengan rapi mengingat begitu kuatnya musuh utama yang harus dihadapi bangsa. Sekarang tergantung kita memaknai momentum 23 Juli ini, sekedar meratapi dan melakukan perenungan atau melanjutkan perjuangan.
[1] https://www.nu.or.id/post/read/108935/23-juli–saat-presiden-gus-dur-dilengserkan-secara-politis
[2] Amartya Sen, Kekerasan dan identitas, diterjemahkan oleh arif susanto, cetakan II. (Tangerang Selatan: Marjin kiri, 2016) hal. 11.
[3] https://islami.co/menjerat-gus-dur-tidak-gus-dur-disalib-politisi-oligarki/