Browse By

Kejahatan dan Masalah yang Dibentuk: “Catatan untuk Film Sexy Killers”

Prof. Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar IPB)

Dari diskusi ‘SEXY KILLERS’ yang cukup progresif di Ponpes Misykat Al-Anwar Bogor semalam saya mencatat, tentu secara subyektif, bahwa pesan film itu dapat difahami dari beberapa perspektif.

Pertama, ada soal dasar-dasar keilmuan yang tidak dibayangkan dampak dan resikonya, seperti pertimbangan B/C ratio, yangmana cost yg diakibatkan ditanggung masyarakat pemilik tanah maupun kesehatan korban. Dampak “market failure” tidak akan pernah menjadi tindakan menyelesaikannya apabila tidak melihat langsung di lapangan atau film seperti ini.

Apakah B/C itu instrumen kelayakan ekonomi atau politik, manakala persoalannya bukan sekedar untung dibadingkan ongkos, tetapi menyangkut hak yang diabaikan?

Kedua, ilmu yang tidak dipraktekkan. Bagaimana mengendalikan pencemaran udara, limbah B3, reklamasi bekas tambang maupun cara-cara pengambilan keputusan secara inklusif, bukanlah barang baru. Tetapi nampak semua itu dapat diabaikan, yang artinya berbagai bentuk rekomendasi di dalam studi-studi lingkungan ataupun izin lingkungan dihilangkan, dan tidak menjadi beban biaya dalam investasi tambang baru bara. Biaya itu, akibatnya, menjadi ongkos yang ditanggung korban seperti pada poin pertama.

Ketiga, film itu menggambarkan PR besar bagi bangsa ketika yang dihadapi yaitu oligarki yang melingkupi kedudukan hampir semua elit politik. Dalam hal ini, youtube kuliah tiga babak Jeffry Winter (untuk tidak menyebut buku) mengenai oligarki di negara-negara demokrasi dapat menambah wawasan politik lingkungan dan kekuasaan di baliknyaDalam lingkungan itu “korban perbuatan kriminal” dalam pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat ditetapkan sekedar kesesuaian perbuatan itu dengan pasal-pasal peraturan perundangan sebagai suatu proses positivistik-instrumentatif.

Perbuatan yang “dilakukan” oleh masyarakat lokal dan adat termasuk oleh saksi ahli, misalnya, bukan terjadi dan harus dibuktikan keberadaannya, melainkan sedang “dijadikan dan dikekalkan” keberadaannya melalui proses sosial-politik. Maka perbuatan kriminal seringkali diambangkan atau bahkan dihalang-halangi dari proses (sejarah) terjadinya, kemudian dikoreksi dengan menggunakan instrumen pasal-pasal yang sangat jauh dari upaya mewujudkan kondisi adil.

Ketika “perbuatan kriminal” adalah hasil produksi dari suatu praktek sistem pembangunan—apapun sistem yang dipilih—maka penyebabnya adalah suatu praktek diskursif, yaitu suatu perwujudan dari angan-angan atau wacana untuk menguasai, yang berhasil membuat posisi-posisi warga negara atau kelompok warga negara tertentu menjadi rentan dan dijauhkan dari upaya persamaan hak atas warga negara.

Dengan begitu, pelaku kejahatan yang sesungguhnya adalah segenap orang yang mempunyai kekuasan dan mampu mendominasi orang lain atau mampu mewujudkan dan memperbesar perbedaan posisi warga negara. Disebut dalam literatur (Henry dan Milanovanic, 1996) bahwa kejahatan adalah penggunaan kekuasaan untuk mengabaikan hak orang lain yang diproduksi berulang-ulang, dan secara historis menjadi wacana budaya dan sudah mencapai tingkat kestabilan relatif. Karena kejahatan itu sudah berakar secara materialistik, maka kejahatan itu sendiri menjadi pusat tindakan sosial maupun ekspresi kekuasaan dan pengendaliannya. Dengan penjelasan seperti itu, akan mudah difahami mengapa dalam pengelolaan sumberdaya alam masyarakat rentan dapat dengan mudah menjadi sasaran kriminalisasi.

Keempat, poin ketiga tersebut menjadi alasan utama mengapa poin pertama dan kedua dapat terjadi. Apabila dibaca seperti itu, film ini seolah-olah menggambarkan warna gelap politik lingkungan hidup. Walau begitu, mungkin tidak sepenuhnya benar, ketika dalam film ini juga diungkap berbagai inisiatif bagaimana masyarakat dan Pemda sudah mempunyai inisiatif bertindak membangun energi bersih atau setidak-tidaknya mengurangi dampak negatif tambang baru bara.

Kelima, sebagai pendidikan politik, film ini sudah berhasil melakukan tugasnya, namun hendaknya dapat dilakukan secara terbuka, dalam arti disertai diskusi untuk menghindari fokus-fokus pemahaman secara parsial. Atau dapat dibelokkan untuk kepentingan politik praktis, sebaliknya bukan dipahami sebagai agenda bersama apapun pilihan politiknya.

Keenam, dalam diskusi pendalaman makna film ini tercetus pertanyaan apa yang menjadi misi setelah pengetahuan ini sampai kepada pemirsanya. Undangan untuk menyikapi hal ini pada intinya harus dapat melakukan evaluasi ulang terhadap kepercayaan umum mengenai penetapan benar dan salah, perbedaan-perbedaan, kategori-kategori, yang selama ini dilakukan dengan tanpa mendalami segala bentuk penyebab dibaliknya melalui berbagai cara pandang.

Itu karena, apabila menggunakan tafsir tertentu saja, misalnya pasal-pasal dalam peraturan-perundangan, umumnya dapat tidak sesuai dengan realitas sosial-politik hasil produksi oleh kekuasaan besar yang, bagi masyarakat umum, keberadaannya mungkin hanya tersamar. Seperti telah diketahui, pasal-pasal itu hanyalah alat untuk mewujudkan keadilan, dan bukan keadilan itu sendiri.

Pertanyaannya, apakah persoalan kriminalisasi dan perusakan serta pencemaran lingkungan yang berakar secara historis dan bersifat hegemonik itu dapat diselesaikan melalui instrumen-instrumen hukum dan kebijakan yang hanya bersifat instrumentatif?

Pekerjaan rumah yang mungkin belum terisi yaitu mengatasi masih lemahnya bangunan wacana publik, terutama yang mampu membuat cara baca baru (replacement discources) yang secara tegas dapat menyebutkan pembedaan mana yang benar dan “benar” atau mana yang salah dan “salah,” dst. Karena kalau hanya membedakan mana yg benar dan salah pada umumnya, kecil kemungkinan dapat diperoleh pembaruan wacana publik.

Hal itu diharapkan dapat digunakan sebagai pembentuk kesadaran baru masyarakat, yang dalam hal ini misalnya, bahwa persamaan hak itu tidak hadir begitu saja. Berbagai instrumen hukum dan kebijakanpun yang, walaupun berjalan di tengah-tengah pemerintahan formal, tetapi itu dapat menjadi alat kekuasaan dari luar pemerintahan (pseudo-legal).

Dengan begitu, film ini bukanlah urusan pengetahuan perseorangan maupun urusan kepentingan individual. Pengetahuan kritis dan kepentingan itu hendaknya dapat melandasi gerakan sosial untuk mewujudkan replacement discource seperti yang dimaksud.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *