Kita Belum Menuntaskan Revolusi: Catatan Hari Kemerdekaan yang (Tak) Dirayakan
Oleh: Fahri Fajar (Kader FNKSDA Komite Daerah Makassar dan Anggota Biro Agitasi dan Propaganda)
Negara telah merdeka, tetapi mengapa hak rakyat untuk hidup sejahtera tak pernah diwujudkan?
Mengapa hak ekonomi politik masih terbatas dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki akses terhadap kekayaan ekonomi dan intelektual?
Mengapa rakyat kelas pekerja yang berbentur-benturan dengan beragam kekuasaan di akar rumput masih membetahi kepatuhan dan ketundukan mereka pada kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak pada mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hinggap dalam kepala saban saya melihat bendera merah putih yang dikibarkan di tiap-tiap rumah maupun kiriman sosial media kawan, sanak saudara, dan kolega yang menunjukkan senyum lebar dengan mata binar semangat berupacara dan berlomba. Di tengah deruan tangis dan kemarahan rakyat nyaris di setiap wilayah negeri ini—baik yang dikabarkan lewat media atau disaksikan sepasang mata—saya bergumam, apakah semua derita, keputusasaan, dan perjuangan ini tidak beresonasi?
Jawaban pendek saya, sebab era neoliberalisme hari ini tak seperti kolonialisme. Perampasan dan pelucutan rakyat dari alat produksinya agak samar dan halus ketimbang kolonialisme—meskipun dalam beberapa tempat ia terjadi dengan begitu dramatis dan penuh kekerasan. Walaupun sifatnya sama, rakyat masih tersenyum dan seakan menormalisasi hari ini: persaingan, pengejaran keuntungan, dan penyerahan segala kehidupannya pada mekanisme pasar. Seremonial Agustus ini sebenarnya, menurut saya, menyembunyikan satu kepahitan yang amat nyata: kehidupan esok akan dilanjutkan kembali dengan tragedi-tragedi hari ini.
Ya, rakyat tetap akan mencari suap demi suap nasi untuk melanjutkan hidup; menjual tenaganya untuk mendapat upah; mengusahakan beragam cara untuk membeli asset bertahan di tengah gempuran kemiskinan struktural. Itu tentu satu semangat kerja yang tinggi, tetapi di bawah neoliberalisme segala yang ia lakukan akan tetap membuatnya susah. Tahapan tertinggi dari kapitalisme ini merampas dengan halus sehalus halusnya, hingga menghilangkan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan melampaui apa yang dihadapi hari ini.
Lewat jargon nasionalisme, seruan kaum menengah borjuis dan kapitalis elit mampu memberikan sentuhan emosional bela negara bagi rakyat kelas pekerja dari golongan miskin kota dan desa untuk menutupi semua ketidak mampuan negara menjamin hak dan kesejahteraan warga negaranya. Ketidakmampuan negara inilah perampasan struktural yang terjadi hari ini. Legalisasi perampasan lewat UU, penggusuran, perampasan lahan petani untuk industri dan tambang, pelanggaran HAM dan kekerasan, komitmen tak serius mengatasi krisis lingkungan dan iklim, pemusatan kekuasan ekonomi politik oleh oligarki, serta korupsi yang mendarah daging, kita bisa mendaftar apa saja dosa-dosa negara yang dipertontonkan dengan balutan konser-konser mini di Istana Negara 17 Agustus lalu.
Tentu hari ini—di bawah penjajahan kapitalisme-neoliberalisme—semua orang akan berdalih bahwa hari ini mereka tidak lagi dipimpin dan dikuasai oleh asing. Kita perlu menyadari bahwa agenda-agenda kolonial hari ini tetap berlanjut. Ia melibatkan kelompok asing dan rakyat Indonesia sendiri: mereka yang kita identifikasi sebagai 1%, elit politik, korporasi internasional, donor-donor asing yang melayani kepentingan rezim “Indonesia Maju”, kelompok keamanan, dan ragam kelas yang saling menjalin relasi didasarkan pada kepentingan kapital dan neoliberal.
Mahalnya pendidikan dan kesehatan—sekalipun beragam jaminan sosial sudah diberikan—tak lepas dari silang sengkarut kebijakan struktural dan kepentingan elit lokal. Ada banyak rakyat yang berusaha menyelamatkan diri dari krisis hari ini—yang celakanya dengan melakukan apa saja, termasuk mengorbankan hak hidup layak dan sejahtera rakyat kecil lainnya.
Pungutan-pungutan liar di sekolah anak-anak hingga perguruan tinggi lewat kebijakan-kebijakan tak masuk akal seperti kewajiban membeli buku dengan harga tinggi, wisuda di sekolah-sekolah non-perguruan tinggi, maupun kewajiban ma’had di beberapa kampus Islam yang mencekik mahasiswa baru di tengah tingginya UKT dan biaya hidup adalah salah satunya.
Sisi lain, broker-broker lokal yang melancarkan agenda-agenda pembangunan di desa-desa menjadi penanda penting pertarungan kelas hari ini yang mengisi ruang membentuk kepentingan ekonomi bersama di bawah pasar. Tak terhitung pula berapa pengadilan yang diisi oleh orang lokal tetapi tak menegakkan keadilan pada mereka yang dirampas dan dilucuti hak serta alat produksinya.
Pada akhirnya, kita juga menyaksikan kebangkrutan VOC Belanda meski sebelumnya mereka menerapkan agenda politik etis untuk rakyat Bumi Poetra agar senantiasa memenuhi pasokan intelektual dan pekerja cadangan bagi industri dengan upah dan jabatan yang kecil hari ini. Nasib guru, dosen, dan pekerja-pekerja di beragam sektor industri menghadapi ketidakjelasan kelanjutan hidup oleh sebab carut marutnya sistem pengupahan, penyelenggaraan ekonomi, dan kebijakan politik.
Rumah dan tanah yang mahal memaksa mereka harus menenggelamkan diri dalam kehidupan frugal dan kerja keras kuda. Mereka hanya dihisap; tak ada yang bisa mereka akumulasi untuk sekadar hidup layak di tengah neoliberalisasi semua lini dan basis kehidupan.
Di belahan wilayah Indonesia lain, tanah-tanah yang telah dimiliki rakyat dirampas oleh negara, korporasi, dan pasar. Perampasan ini terjadi dengan dramatis maupun diwajarkan. Inilah yang terjadi: kapitalisme di bawah neoliberalisme menyapu bersih semua kehidupan kita dengan manipulatif; ia memanfaatkan ketergantungan rakyat agar ia tetap bisa menghisap sebanyak-banyaknya tanpa disadari oleh rakyat yang dihisap itu sendiri.
Hari ini, ada banyak pilihan yang terbuka untuk kita. Entah ikut dalam kontestasi neoliberalisme untuk meningkatkan kehidupan kita, menormalisasinya, ataupun diam saja. Namun, pertama-tama, kita harus tetap kritis. Satu hal yang harus kita refleksikan dari kemerdekaan yang menjadi suka cita hari ini adalah bahwa kita belum menuntaskan revolusi kita. Kita masih punya tugas dan pekerjaan rumah yang sangat berat.
Kita tidak dapat berhenti dengan menerima begitu saja kehidupan hari ini sebagai suatu ketentuan alamiah tanpa campur tangan manusia. Lewat segala pertimbangan moral dan politik: kita harus sama-sama menuntaskannya; merobohkan tembok kesewenang-wenangan dan menghancurkan lintah-lintah penghisap yang masih mengangkangi kita hari ini.