“Lima Susah” dan Merdeka dari Penjajahan Tambang
Oleh: Merah Johansyah Ismail
Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) adalah dua kabupaten penting dalam Politik Ketahanan Pangan Kalimantan Timur, mengapa ? karena dua kabupaten ini adalah penyumbang utama Beras dan Palawija yang menjadi bahan Pangan Pokok 3,5 Juta warga provinsi ini.
Dalam hal Produksi padi misalnya data dinas pertanian Kutai Kartanegara menyebut kontribusi kabupaten ini mencapai 45,27 persen dari produksi Padi provinsi kalimantan timur. Meskipun disaat yang bersamaan, Dinas pertanian tanaman pangan kalimantan timur masih menyebutkan 17 hingga 20 persen pasokan beras masih harus dipenuhi oleh Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Ini juga berarti luas wilayah yang dimiliki Kalimantan timur belum dikelola baik untuk menjamin ketahanan pangan warganya. Kita belum memiliki ketahanan Pangan apalagi kedaulatan pangan sejati.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah alih fungsi dan politik kebijakan pemerintah yang pro tambang batubara ketimbang pro pangan.
Kutai kartanegara adalah kabupaten pengobral ijin tambang batubara terbesar di indonesia, dari data yang diperoleh JATAM Kaltim melalui sengketa Informasi terhadap Distamben Kukar, Per-April 2014 ditemukan 453 Ijin Tambang batubara mengkapling 627 ribu hektar kabupaten ini.
Tambang yang Mengancam Kutai Kartanegara berarti pula Mengancam Salah satu Penopang Pangan Kalimantan Timur.
Tenggarong seberang adalah urutan pertama dari 5 kecamatan penyumbang padi terbesar di kabupaten ini, peran tenggarong seberang ini sama persis dengan peran kecamatan babulu di kabupaten penajam paser utara.
Dua kecamatan kecil ini, tenggarong seberang dan babulu punya peran besar dalam politik ketahanan pangan kalimantan timur.
Celakanya disaat yang bersamaan Pemerintah Kutai Kartanegara dan Provinsi kalimantan timur justru lebih berpihak pada ekspansi lahan pertambangan ketimbang penguatan lahan pangan produktif disana.
Produsen Pangan seperti Kecamatan tenggarong seberang masih dijajah oleh Pertambangan batubara baik yang diobral oleh Bupati maupun oleh Pemerintah Pusat.
Tenggarong seberang bukan hanya milik kabupaten kutai kartanegara, dalam bingkai politik kebijakan pangan, kecamatan ini adalah milik provinsi kalimantan timur.
Mempertahankan cara pandang administratif dengan ‘cuek’ membiarkan pengurusan tenggarong seberang hanya pada kabupaten adalah kesalahan besar, sebaliknya pemerintah provinsi haruslah mengambil tindakan proteksi dan penguatan kebijakan pangan, karena kecamatan ini adalah kecamatan penyumbang beras terbesar bagi warga kalimantan timur.
Alih fungsi dan perampasan lahan kolosal yang sekarang sedang berjalan di kecamatan tenggarong seberang mestinya menjadi “alarm” bagi—bukan hanya untuk menyadarkan pemerintah kabupaten kutai kartanegara tapi juga pemerintah kalimantan timur.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Jatam Kaltim sepanjang 2011-2012 lampau, selain alih fungsi dan perampasan lahan, merebak pula petani peminjam lahan, mereka dulunya adalah Petani pemilik lahan kini menjadi buruh tani.
Meski mereka memiliki kelompok tani namun sesungguhnya mereka sudah tak memiliki lagi lahan akibat dilepas kepada perusahaan tambang, bedanya dengan buruh tani biasa, kondisi mereka lebih menyedihkan lagi karena lahan-lahan yang mereka kerjakan ini adalah lahan yang sudah dimiliki perusahaan tambang seperti Mahakam Sumber Jaya (MSJ) dan Kitadin, resikonya jika terjadi pencemaran mereka harus terima tanpa protes, karena sudah bukan milik mereka lagi, seperti yang terjadi di Kertabuana, Bukit Pariaman, Separi hingga Desa Mulawarman.
Kini 90 persen dari luas Tenggarong Seberang telah dijajah oleh 44 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara (Lihat Peta Grafis JATAM Kaltim) itu artinya lahan-lahan pangan produktif yang selama ini menjadi andalan produksi pangan akan makin menyusut bahkan terancam drastik lenyap.
Bukan hanya menjajah lahan-lahan pangan, sesungguhnya Tambang Batubara di tenggarong seberang bahkan juga menjajah fasilitas umum seperti jalan publik. Disejumlah kawasan bahkan jalan publik harus ‘mengalah’ dilintasi oleh jalan houling dan bersebelahan dengan jalan houling. Keduanya resikonya sama berdampak pada kesehatan akibat debu batubara beracun yang beterbangan hingga jalan publik rusak karena digunakan pula untuk truk-truk batubara.
Pemandangan lain di kecamatan ini adalah lubang-lubang Tambang yang menganga, sebagian masih sebagian pula sudah digenangi, keduanya mengundang bahaya, baik anak-anak yang tewas saat bermain di lubang tambang ini hingga pengalihan isu reklamasi dengan alasan demi budidaya ikan di lubang bekas tambang
Puncaknya dari penjajahan tambang di tenggarong seberang adalah Warga Desa Mulawarman yang menyatakan ingin angkat kaki dan menghapuskan desa ini dari peta administratif tenggarong seberang menyerahkan desa pada Tambang Kayan Putra Utama Coal dan Jembayan Muarabara karena sudah tak ada lagi harapan menumbuhkan kehidupan di desa ini.
Pak Tumin, Kepala RT 17 desa ini mengeluhkan hampir semua prasyarat kehidupan yang baik sudah tak lagi ia temui, menuturkan tentang ‘lima susah’. “semua sudah susah mas disini,susah karena sudah gak punya sawah, susah karena debu, susah karena bising-lah, susah akibat Blasting-lah tiap tengah hari sampe air bersih juga susah” ujar pria ini menuturkan.
Jika warga kita masih merasakan ‘lima susah’ itu apakah patut kita menganggap diri telah meraih kemerdekaan sejati ? karena nampaknya bagi warga tenggarong seberang ternyata kemerdekaan sejati itu hanya bisa diraih jika mereka Merdeka dari Penjajahan Tambang. Wallahu’alam.
Penulis adalah Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), aktivis Komunitas Gusdurian, dan narahubung Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA) di Kalimantan Timur
Untuk kepentingan pendidikan dan penyebarluasan, tulisan ini secara serentak dipublikasikan melalui situs gusdurian.net, desantara.or.id, dan dauathijau.org