Browse By

Menafsir Pasal 33: Analisis Terhadap Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Ringkasan

Kertas Kerja ini melihat empat masalah dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang layak dipertimbangkan dalam sektor tata kelola air di Indonesia. Pertama, pemetaan yang kurang pas dalam sektor tata kelola air dengan mengandaikan bahwa antitesis dari tata kelola oleh sektor swasta (private) adalah “public” atau yang dalam korpus tata kelola air sering juga diartikan “negara”. Masalah dalam pemetaan ini menyebabkan tata kelola bersama, contohnya kooperasi, luput dari perhatian. Namun, kertas kerja ini menyadari bahwa keluputan seperti ini adalah masalah yang akut dalam kajian tata kelola air di hampir seluruh dunia. Keluputan ini telah menyebabkan kita kehilangan potensi radikal dan emansipatoris dari tata kelola bentuk ini.

Kedua, sebagai akibat dari masalah di atas, Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 memberikan peluang yang terlalu besar bagi tata kelola air oleh negara/daerah. Karena dianggap sebagai antitesis dari tata kelola oleh swasta, maka ia menjadi pilihan utama dalam usaha terus-menerus menafsirkan frase “dikuasai negara” dan “dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat” dari Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45). Kontradiktif, peluang yang terlalu besar ini malah menyebabkan “bungkamnya” kritik terhadap entitas pengelola air oleh negara seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam diskusi-diskusi yang berlangsung di MK, setidaknya seperti yang terbaca pada Putusan MK ini. Tidak ada diskusi mengenai masalah-masalah seperti rekrutmen direksi PDAM yang tidak akuntabel, dimana dalam praktiknya justru PDAM dikelola seperti perusahaan swasta.

Ketiga, keluarnya putusan MK ini bukan berarti bahwa petarungan menegakkan Pasal 33 UUD ’45 dalam hal tata kelola air, terutama frase “dikuasai negara” dan “dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat” sudah selesai. Justru ini baru permulaan. Contoh yang nyata adalah Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang UU 41/1999 tentang Kehutanan yang sekarang cenderung ompong. Ini terjadi karena proses paska MK, penyusunan UU yang baru, macet sebagai bentuk “boikot” korporasi dan pemerintah terhadap putusan MK. Dalam konteks UU 7/2004, tanda “pembelokan” substansi itu sudah mulai terlihat.

Keempat, Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 kurang memberikan porsi terhadap air sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan ekosistem. Sejatinya, air adalah bagian yang tak terpisahkan dari subyek-subyek agraria itu sendiri bersama bumi dan ruang angkasa beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun narasi seperti ini sangat minor dalam diskusi yang berlangsung di MK. Akibatnya, putusan ini tidak banyak melihat kaitan antara air dengan konflik di sektor sumberdaya alam yang sekarang menjamur di Indonesia.

Dokumen lengkap dapat diunduh di bawah ini:

Menafsirkan Pasal 33_Kertas Kerja atas Putusan MK u UU 7_2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *