Browse By

Mengapa Harus Melawan Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Rezim Neo Orba

Wahyu Eka. S (Biro Agitprop FNKSDA)

Gerakan perlawanan atas RUU Cipta kerja yang cacat semakin meluas. Tercatat gelombang perlawanan tersebut tampak di beberapa daerah, dari Sumatra hingga Maluku Utara. Semua bergerak atas kesadaran yang sama yakni menentang Undang-undang produk oligarki. Mengapa demikian?

RUU ini banyak merugikan rakyat, kita mulai dari klaster ketenagakerjaan yang merupakan revisi ata UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, dalam klaster ini posisi tawar buruh semakin dilemahkan, baik dalam upah, suara dan hak-haknya. Posisi klaster ini secara halus menempatkan penguasaha di atas buruh, sehingga tidak ada prinsip egaliter atau dalam bahasa lain setara.

Ini terbukti dari mengenai upah, di mana penentuannya bukan lagi bersandar pada KHL tetapi inflasi dan ditentukan langsung provinsi melalui determinisme pusat. Kondisi tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa prinsip emansipatif di dewan upah pelan dihapuskan, peran buruh dikikis habis. Belum lagi kita berbicara soal PKWT yang definisinya diperluas, sehingga setiap sektor dapat dapat menyerap tenaga kerja dalam waktu tertentu, tanpa harus mempermanenkan mereka.

Praktik di atas tentu akan menyuburkan sistem outsourcing dan memberikan celah praktik pembungkaman bersuara oleh pemegang kuasa. Dalam kasus ini union busting akan semakin subur, sebab yang melawan akan dipecat. Trik ini sering digunakan pemerintah untuk membungkam suara buruh. Dan, masih banyak aturan bermasalah yang lainnya.

Lalu, yang tak kalah seru ialah menyederhanakan aneka aturan terkait lingkungan, sebagai indikasi adanya upaya pelemahan pada UU No. 32 PPLH 2009, di mana spirit perlindungan dan pencegahan akan dihilangkan demi investasi. Dalam konteks korupsi, klaster ini akan rawan, sebab pelanggaran berpotensi akan ditekankan pada aspek hukuman administratif level rendah, bukan kombinasi hukuman yang membuat jera. Seperti administratif maksimal, pidana dan perdata.

Pada situasi penegakkan hukum yang masih kacau, penerapan aturan tersebut akan membebaskan perusak lingkungan dari apa yang telah ia rusak. Klaster ini akan melemahkan gerakan demokratis, karena soal aturan terkait siapa yang dapat menggugat (legal standing), ketika ada pencemaran lingkungan bersandar pada perancangan AMDAL, yang kala pembuatannya hanya menyertakan warga yang terdampak langsung.

Artinya, kala ada pencemaran hanya warga yang terdampak dan di wilayah terjadinya eksploitasi yang dapat protes dan menggugat. Sebodoh-bodohnya, kita ini tahu bahwa dampak pencemaran itu bukan hanya di range lokal saja, tapi juga dapat meluas mengenai wilayah lainnya. Dengan ditetapkannya aturan semacan itu, maka suara rakyat yang melawan pencemaran lingkungan akan dibungkam.

Klaster Pertanahan, bagaimana bagian ini akan menghilangkan peran UU No 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria, sebagai salah satu tonggak reforma agraria dan keadilan rakyat. problem pada klaster ini ialah pada perluasan definisi pengadaan tanah untuk kepentingan negara, yang mana sampai mencakup ruang investasi ekstraktif, tentu ini mengancam hutan rakyat dan tanah produktif rakyat.

Ke depan akan mengancam kedaulatan pangan. Bukan menciptakan pekerjaan tetapi malahan akan membentuk pengangguran atau cadangan pekerja. Selain itu klaster ini akan semakin meningkatkan konflik berdarah, di mana ada klausul HGU dapat diperpanjang sampai 90 tahun lamanya. Padahal banyak HGU ternyata mencaplok tanah rakyat, seperti yang terjadi pada beberapa wilayah.

Mengapa Ingin Disahkan?

Kita coba untuk menelaah, mengapa banyak orang menentangnya. Meski narasi pemerintah baru-baru ini, melalui presiden Jokowi hingga menteri-menterinya mengatakan bahwa RUU ini akan membantu menyediakan lapangan kerja, tetapi apa yang nampak sebenarnya tidak seindah itu. Segala cara dilakukan agar RUU ini disahkan dan menjadi aturan yang sah. Meski harus melanggar sejumlah aturan dan melabrak apa yang mereka dengungkan setiap saat, yakni “demokrasi.”

Aturan yang dibuat secara terburu-buru ini banyak cacatnya, termasuk naskah akademik yang telat dan tidak kontekstual. Tidak melibatkan masyarakat secara luas. Hal ini ditandai dengan tidak adanya sosialisasi RUU Cipta Kerja yang mudah diakses. Adanya hanyalah statement kosong yang penuh kebaikan, bak seorang sales produk. Mencoba menawarkan sebuah produk tanpa berani menyebutkan dampaknya.

Urgensi adanya RUU ini pun sebenarnya tak lebih dari deregulasi untuk mengundang investor masuk. Melalui kemudahan perizinan dan pengelolaan, tanpa ada penghambat yang signifikan. Semua dilakukan demi adanya investasi masuk, mendirikan pabrik, tambang dan mengeruk sumber bumi yang ada untuk dikomodifikasikan dan menjadi nilai baru.

Sehingga otomatis dalam setiap prosesnya membutuhkan tenaga produktif dari masyarakat. Dan itulah yang dimaksud sebagai penciptaan lapangan pekerjaan. Tetapi semua itu tak seindah yang dibayangkan, penciptaan lapangan pekerjaan tersebut tak lebih dari konversi pekerjaan.

Artinya dengan adanya alih fungsi lahan, otomatis alat produksi masyarakat yang berprofesi sebagai petani, peternak, nelayan beralih ke tangan investor, terkonsolidasi menjadi satu yang dikuasai satu orang yang berkuasa atas modal.

Selain berkuasa atas modal, mereka juga memonopoli tatanan politik. Hal ini tampak dari panja dan satgas RUU Cipta Kerja yang didominasi oleh para pemilik modal yang berhubungan langsung dengan pemerintah, sepert Airlangga Hartanto, Puan Maharani, James Riadi, Erwin Aksa dan kawan-kawannya (Jatam, 2020). Tidak cukup di situ hampir 55 persen atau 318 anggota DPR adalah pebisnis (Fachri Aidulsyah dkk, 2020).

Sudah sangat jelas dan gamblang, aturan ini memuat kepentingan pebisnis dalam hal ini ialah kapitalisme, karena salah satu wujud dari neoliberalisme adalah deregulasi, negara memfasilitasi kapitalisme untuk melakukan reproduksi kapital melalui pelonggaran aturan. Sebab secara dasar Neoliberalisme adalah sebuah rancangan untuk kesejahteraan yang dapat digapai melalui mengurangi intervensi negara, mempromosikan pasar bebas dan memaksimalkan kebebasan individu (Harvey, 2007).

Maka jika dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja, konteks deregulasi jelas ada, memaksimalkan eksploitasi melalui kebebasan elite meraup keuntungan juga ada, dan jalan untuk menjamin itu semua adalah dengan cara otoriter. Sebuah kembalinya rezim di mana negara menjadi otoriter guna melanggengkan kapitalisme.

Apa yang Akan Kita Lakukan

Melihat situasi dan kondisi seperti ini, tanpa perlu menuliskan aneka teori dekonstruktif, sebenarnya kita sudah tahu siapa yang menjadi aktor pengesahan RUU ini, lalu kepentingannya apa dan menguntungkan siapa? Kita sudah paham hal tersebut, sebagai salah satu nalar ekonomi politik.

Kita sudah tahu bahwa amarah ini memuncak, apalagi melihat rezim plin plan otoriter, tentu dalam hati, ucapan dan tindakan ingin sekali merubuhkan mereka. Amarah ini kemudian menjadi gerakan publik yang masif, memenuhi jalanan, memecahkan keheningan setiap kota dan membuat rezim pusing tujuh keliling.

Kekalapan rezim terbukti dengan cara mereka menanggapi para demonstran. Airlangga Hartanto salah satu bagian dari rezim otoriter, mengungkapkan bahwa yang aksi kemarin ditunggangi. Narasi Airlangga tak lebih dari bacotan pejabat kolonial dan orba, sama persis dengan otak anak mahasiswa ormek mainstream yang menyebalkan. Setiap aksi punya kepentingan, ini bicara soal politik dan keberpihakan.

Aksi tersebut kepentinganya adalah melawan rezim otoriter!!!! Menolak RUU Cipta Kerja bersama kerabatnya!!!! Ingin melepaskan diri dari cengkraman tirani neo orba dan mendorong demokrasi kerakyatan berbasis partisipasi aktif segenap rakyat pinggiran, buruh, nelayan, tani, pekerja informal dan kaum papa lainnya.

Rezim selalu terusik, mereka baru saja mengeluarkan aturan pelarangan aksi kepada pelajar, mahasiswa dan melakukan tekanan pada dosen untuk tidak melawan pemerintah. Mereka juga melakukan represi dan kriminalisasi melalui aparatur represifnya. Mereka juga melakukan distrosi informasi melalui aparatur ideologisnya. Proposisi fakta tersebut sudah menunjukan jika rezim sedang kalap dan takut. Inilah yang harus disokong serta diperluas, terlebih khusus diskursus strategi dan taktik.

Gerakan yang terjadi akhir-akhir ini menjadi semakin masif, meletup dari wilayah per wilayah, membuka kran-kra perlawanan yang masif. Khususnya letupan ini meluas ke kawan-kawan pelajar, di mana mereka menjadi salah satu penyemangat dan paling gigih dalam bersuara. Mereka harus diajak berbincang, diikutkan dalam barisan serta saling menguatkan satu sama lainnya.

Atas hal tersebut, sejatinya yang kita butuhkan saat ini adalah tekanan publik yang masif, semua elemen terlibat, melalui penyatuan kantung-kantung perlawanan, membuat isu jadi serupa dengan targetan dan tujuang yang sama. Menyatukan tekad dengan berhimpun untuk pergerakan, yang lebih masif dan meluas sebagai bagian dari counter hegemony status quo rezim.

Gerakan kontra narasi melalui aksi langsung, baik demonstrasi, kontra narasi di media sosial dan propagada lewat media lainnya, menjadi salah satu kekuatan meluaskan bara api dekonstruksi hegemoni dan menumbangkan hegemoi rezim.

Tanpa aksi-aksi langsung seperti itu, rezim tidak akan terusik. Sebagai dampak aksi kemarin saja, rezim dibuat kalang kabut. Mereka membuat pernyataan dan mengarahkan agar setiap Gubernur mendukung pemerintah. Melakukan konferensi pers menyoal soal hoax yang mereka ciptakan sendiri dan dijawab sendiri, sebab masyarakat tidak tahu draft mana yang final, versi 900 halaman atau 1000. Walau beda halaman tapi substansi isinya sama.

Referensi
Fachri Aidulsyah dkk, 2020. Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia. Marepus Corner

Harvey, D. 2007. Neoliberalism as Creative Destruction, The Annals of the American Academy, 610, 22-44.

Jatam Nasional., dkk. 9 Oktober 2020. Siaran Pers: Siapa Sponsor di Balik Satgas dan Panja Omnibus Law.

Laclau, E. and Mouffe, C., 2014. Hegemony and socialist strategy: Towards a radical democratic politics. Verso Trade.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *