Pemutaran Film Sexy Killer di Paiton, Ajak Masyarakat Kembali Mengkaji Lingkungan
Pemutaran Film Sexy Killer besutan Watcdoc berlangsung di Cafe Katar Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Dihadiri langsung oleh Produser Film, Arif Fiyanto dan Pengurus Front Nahdliyin untuk Sumber Kedaulatan Alam (FNKSDA), Muhammad Al-Fayyadl. Keduanya menjadi Pemantik dalam acara nonton bareng (nobar) bersama pemuda, masyarakat Paiton dan salah seorang anggota Greenpeace, Didit.
Acara yang dibentuk dengan nobar dan diskusi tersebut dimulai pukul 19.00 WIB. Arif Priyanto menuturkan bahwa Film Sexy Killer ini adalah salah satu bentuk penyadaran kepada masyarakat sebagai korban dampak lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), “Kami menyebutnya Silent Killer (pembunuh senyap),” ungkapnya.
Tidak hanya dampak lingkungan, tambahnya, tapi juga dampak sosial, ekonomi dan politik. “Dalam Film tadi kita saksikan bagaimana masyarakat kehilangan tanah dan pekerjaannya. Dampak lingkungan PLTU membuat hasil tangkapan ikan nelayan menjadi berkurang, itu karena pencemaran air,” ungkap Pria berkacamata tersebut.
Muhammad Al-Fayyadl menimpali, dalam sektor ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh beberapa orang saja, “Seperti halnya yang telah kita saksikan. Ini membentuk sistem oligarki yang sangat merugikan rakyat, karena rakyat hanya menikmati dampak negatifnya,” jelasnya.
Acara Nobar dan Diskusi Film Sexy Killer tersebut berlangsung selama dua jam. Salah seorang peserta diskusi, Muhammad Delfitri Fauzi, Mahasiswa Fakultas Teknik, Universitas Nurul Jadid, Paiton, mengatakan, “Apakah benar dampak yang kita lihat? Bukankah seakan tidak terjadi apa-apa di sekitar PLTU, semisal kekeringan dan sebagainya,” tanyanya di tengah-tengah diskusi.
Arif Priyanto yang akrab disapa Cak Arif ini menimpali, dampak yang ada memang tidak terasa secara langsung, “PLTU seperti kanker yang bila dibiarkan akan sangat membahayakan. Seperti yang terjadi di Palu, sekitar 40 anak-anak menjadi korban jiwa karena sisa penambangan batu bara yang menggenang menjadi danau,” jelasnya.
Di Desa Celukanbawang, kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, salah seorang mengidap kanker karena memilih untuk tetap tinggal di Desanya, “Sementara tetangganya yang lain telah pindah rumah karena tidak nyaman dengan area yang berdekatan dengan PLTU Celukanbawang,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Muhammad Al-Fayyadl mengajak kepada peserta diskusi untuk segera bangkit dari ketidakpahaman, dan beralih beralih kepada Pembangkit Listrik alternatif yang lebih ramah lingkungan. “Yang tentu lebih menyejahterakan masyarakat, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS),” ungkapnya.