Browse By

Penggusuran Kampung Pulo, Pengkhianatan Terhadap Pancasila, dan Perlunya Pembentukan Front Nasional

Kampung Pulo

Gambar 1: penggusuran Kampung Pulo (sumber foto: http://photo.sindonews.com/view/14016/penggusuran-di-kampung-pulo-ricuh)


“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5 Pancasila)”

***

Gubernur Daerah Istimewa Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menawarkan uang RP 5 juta dari kantong pribadinya kepada Warga Kampung Pulo yang mau pulang ke kampung halamannya (Kompas.com, 2015). Penggusuran 917 kepala keluarga di Kampung Pulo, Jakarta Timur, adalah salah satu upaya pendisiplinan yang dilakukan oleh pemerintah DKI di bawah kepemimpinan Ahok untuk mengatasi persoalan banjir yang melanda Ibu Kota secara periodik. Pernyataan sikap ini akan menunjukkan bahwa penggusuran ini bertentangan dengan Pancasila, terutama sila ke-2, ke-4, ke-5, dan dari situ memformulasikan tuntutan serta agenda gerakan.

Memang, dalam berita yang dikutip di atas, Ahok maupun Kompas.com tidak menyebutkan data berapa banyak dari 917 KK tersebut yang berasal dari daerah pedesaan (non-Jakarta). Namun 2 buah penelitian berikut bisa membantu untuk mendapatkan sedikit gambaran itu. Pada 1953 (Heren, 1955), 67,6% dari 5.940 kepala keluarga yang tinggal di Ibukota yang menjadi sampel penelitian mengaku datang dari pedesaan. Penelitian lain pada 1972 (Temple, 1973) dengan total sampel 3.197 menunjukkan bahwa alasan utama orang meninggalkan desa dan pindah ke Jakarta adalah karena tidak adanya pekerjaan di pedesaan (40,9% pedagang kaki lima memiliki alasan ini; 49,3% pekerja seks komersial; 67,6% tukang becak; dan 48,5% sampel yang tinggal di area yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemukiman liar).

Mengapa orang pergi dari desa dan pindah ke kota-kota seperti Jakarta? Ada banyak alasan. Namun, pernyataan sikap ini memilih satu permasalahan struktural untuk dicermati: yaitu akses terhadap tanah dan sumberdaya di pedesaan. Di Pulau Jawa, misalnya, perusahaan milik pemerintah, Perhutani, mengeksklusi warga pedesaan yang hidupnya tergantung dari hutan, melalui skema “hutan politik” yang diwarisi dari kolonial Belanda. Hutan politik adalah teknik yang digunakan oleh penjajah untuk melakukan pendudukan wilayah dengan membuat kerangka hukum bahwa kawasan tersebut adalah milik kolonial, dengan menafikan hak ulayat desa. Di Pulau Jawa, hutan politik ini memiliki luas hampir 2.5 juta hektar, yang mencakup wilayah sekitar 6.300 desa. Salah satu contoh misalnya, Desa Singget di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, 61% wilayahnya diklaim oleh Perhutani. Pada 2010, sekitar 67% anak muda dan lelaki dewasa Desa Desa Singget bekerja di luar desa untuk jangka waktu tertentu (Peluso, 2011).

Konsep hutan politik ini kemudian melebar ke luar Jawa dengan bantuan Food and Agricultural Organization (FAO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi permasalahan pangan) setelah dikeluarkannya UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dimana pada pasal 14 ayat 3 memperkenalkan Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Vandergeest and Peluso 2006). HPH inilah yang menjadi alat bagi para konglomerat yang bersimpul di Bob Hasan, Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), dan (kroni) Cendana, untuk melakukan pembalakan haram di luar Pulau Jawa, terutama Kalimantan dan Sumatera (Barr, 1998).

Bagi orang-orang desa yang sangat tergantung hidupnya dari hutan, kondisi ini sangat mendesak mereka karena semakin terbatasnya akses ke dalam hutan, dimana hutan yang sebelumnya adalah taman di belakang rumah mereka, kebun, dan lahan mereka, tiba-tiba dikuasai orang lain. Ini adalah salah satu permasalahan struktural yang dapat dianggap sebagai faktor penekan terjadinya mobilitas besar-besaran warga pedesaan ke kawasan perkotaan.

Kondisi perampasan dan penghancuran ruang-hidup dan tanah-air di pedesaan ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia sampai sekarang, baik itu melalui pendudukan kawasan hutan, pembalakan haram, pemberian kuasa-kuasa pertambangan, maupun pembangunan-pembangunan infrastruktur skala besar. Data pendatang ke Jakarta (arus balik – arus mudik) sedikit menjelaskan hubungan penghancuran ruang-hidup dan tanah-air di pedesaan ini dengan semakin padatnya kawasan seperti kota Jakarta. Pada 1971 (Kompas, 1977) pendatang ke DKI hanyalah sebesar 14.038, pendatang meningkat menjadi 270.000 pada 1987 (Kompas, 1987), dan puncaknya 347.000 pada 1999 (Kompas, 2003).

Kawasan perkotaan seperti Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek), dengan penduduknya yang mencapai hampir 30 juta, adalah contoh bentang kawasan perkotaan yang sempurna yang dihasilkan dari model pembangunan yang mengorbankan kawasan pedesaan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pabrik-pabrik didirikan di kawasan Jabodetabek untuk menyerap tenaga-tenaga yang pindah dari desa ke sektor industri, dan menjadikan mereka sebagai buruh di pabrik-pabrik milik para orang kaya (Kusno, 2013) .

Manusia yang banyak ini membutuhkan air, demikian juga industri-industri dan bangunan-bangunan komersial yang didirikan di berbagai lokasi di Jakarta. Salah satu sumber air adalah dengan cara mengekstraksi air tanah dalam. Beberapa penelitian memperkirakan 46-70% (Colbran, 2009; Rahmat 2012) kebutuhan air di Jakarta berasal dari ekstraksi air tanah. Ektraksi air tanah yang berlebihan ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya amblesan, yang di beberapa titik di Jakarta, terutama di daerah utara, laju amblesannya sudah mencapai di atas 20 cm/tahun (Abidin et al., 2011). Ini membuat beberapa titik di Jakarta semakin rentan terhadap banjir.

Hal lain yang juga berkontribusi terhadap banjir Jakarta adalah konversi lahan yang terjadi baik di kawasan Puncak sebagai daerah tangkapan air (Texier 2008), maupun di dalam kota Jakarta. Pada 1970-an, 40-50% dari kota Jakarta adalah daerah hijau, dan menjadi sekitar 9% pada 2009 (Rukmana, 2015). Lebih dari 3.000 hektar kawasan yang tadinya berfungsi sebagai area tangkapan air dan hutan kota, telah dialihfungsikan menjadi kawasan perbelanjaan (mall), kawasan pemukiman mewah, hotel, dan lain-lain (Gambar 2). Sebagai contoh lahan yang dikonversi (baik sebagian maupun seluruhnya) adalah daerah resapan air dan persawahan Kelapa Gading menjadi mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square; Pantai Indah Kapuk yang sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung menjadi pemukiman elit Pantai Indah Kapuk, Mutiara Indah, dan Damai Indah Padang golf; kawasan Sunter yang merupakan area resapan air menjadi pemukiman elit Sunter Agung, PT. Astra Komponen, Astra Daihatsu, PT. Denso Indonesia, dan PT Dunia Express Trasindo; Hutan Kota Senayan menjadi Hotel Mulia, Sultan Hotel, SPBU Semanggi, Senayan Residence Apartment, Hotel Century Atlet, Simprug Golf, dan Plaza Senayan; serta Hutan Kota Tomang menjadi Mall Taman Anggrek dan Mediteranian Garden Residence I dan II (Khalid, 2009). Tetapi, Pemprov DKI tidak melakukan penggusuran terhadap bangunan-bangunan yang menduduki daerah hijau ini, yang kemungkinan besar juga merupakan bangunan-bangunan yang memompa air tanah dalam dengan pompa-pompa mereka yang memiliki tenaga besar.

Ruangterbuka hijau

Gambar 2: konversi ruang hijau di Jakarta (Sumber Khalid, 2009)

 

Pengkhianatan terhadap Pancasila terjadi karena penggusuran adalah tindakan politik kekerasan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan tidak memperlihatkan sikap “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sebagai alternatif misalnya, bisa dikembangkan musyawarah yang lebih saling menghargai tanpa perlu memperagakan politik kekerasan. Lebih luas, orientasi yang tidak menghancurkan ruang-hidup dan tanah-air rakyat, adalah hal mutlak. Sementara pelanggaran terhadap sila ke-5 terjadi karena Pemprov DKI tidak memperlihatkan sikap adil dengan tidak adanya penggusuran terhadap bangunan-bangunan komersial yang menduduki ruang hijau di Ibukota, ini mengkhianati sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dengan pemaparan ketidakadilan struktural dan pengkhianatan terhadap Pancasila di atas, maka permasalahan penggusuran Kampung Pulo adalah permasalahan bersama segenap rakyat Indonesia baik yang tinggal di desa dan di kota, karena itu kami:

  1. Meminta kepada Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan penggusuran yang kami lihat sebagai pengkhianatan kepada Pancasila
  2. Memohon kepada seluruh elemen gerakan (gerakan tani, agraria, lingkungan, masyarakat adat, buruh, rakyat miskin kota, mahasiswa) agar mulai memikirkan membentuk Front Nasional Bersama guna menghentikan pengrusakan ruang-hidup dan tanah-air (seperti yang sedang terjadi di Rembang, Pati, Kebumen, Kalimantan, Papua, Jambi, Toba, dan lain-lain) dan praktik politik kekerasan yang dilakukan oleh negara seperti penggusuran Kampung Pulo, serta memperjuangkan keadilan sosial dan merebut negara dari kooptasi pada pemodal.

 

Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam
A. Syatori
(Koordinator Umum)
+6281383678102

 

Daftar Acuan:
Abidin, H. Z., Andreas, H., Gumilar, I., Fukuda, Y., Pohan, Y. E. and Deguchi, T. (2011). Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development. Natural Hazard. 59. p.1751-1771. DOI: 10.1007/s11069-011-9886-9.

Kompas.com, 2015. Ahok Tawari Rp. 5 Juta buat Warga Kampung Pulo, Ini Kata Warga. 21 Agustus. Diakses di: http://megapolitan.kompas.com/read/2015/08/21/12451181/Ahok.Tawari.Rp.5.Juta.buat.Warga.Kampung.Pulo.Ini.Kata.Warga?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kpopwp. [Diakses pada: 21 Agustus 2015].

Barr, C.M. (1998). Bob Hasan, the Rise of Apkindo, and the shifting Dynamics of Control in Indonesia’s Timber Sector. Indonesia. 65., p.1-36.

Colbran, N., 2009. Will Jakarta be the Next Atlantis? Excessive groundwater use resulting from a failing piped water network. Law, Environment and Development Journal. 5 (1). p.18; dapat diakses di: http://www.lead-journal.org/content/09018.pdf. [diakses awal Agustus 2015].

Heren, H.J. (ed.) (1955). The Urbanisation of Jakarta. Report on a research sponsored by Unesco and carried out by Institute of Economic and Social Research of the Djakarta School of Economics, University of Indonesia.

Khalid, K. (2009). Kebijakan Ruang Terbuka Hijau dan Penggusuran Miskin Kota: Kasus penggusuran taman BMW di Jakarta. Jurnal tanah air. Oktober-Desember 2009. p.96-112.

Kompas. (1977). Jakarta Masih Ditembus Pendatang Baru. Kompas, 22 Februari. Hlm.III.

Kompas. (1987.). Urbanisasi di DKI Timbulkan Problema Ruwet. Kompas, 4 Maret, hlm. 4.

Kompas. (2003). Operasi Yustisi ke Rumah Warga Segera Dilaksanakan. Kompas, 1 Desember. Hlm. 17.

Kusno, A. (2013). After the New Order: Space, Politics, and Jakarta. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Peluso, N.L. (2011). Emergent forest and private land regimes in Java. The Journal of Peasant Studies. 38(4), p. 811-836. DOI: 10.1080/03055150.2011.608285.

Rahmat, A. 2012. Bijak Menggunkan Air. Dpat diakses di: http://rujak.org/tag/air-tanah/. [Diakses pada: awal Agustus 2015].

Rukmana, D. (2015). The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Suharto’s New Order Regime: The case of the Jakarta metropolitian area. International Planning Studies. DOI: 10.1080/13563475.2015.1008723.

Temple, G. (1973). Migration to Jakarta. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 11(1),p.76-81. DOI: 10.1080/00074917512331332652.

Texier, P. 2008. Floods in Jakarta: When the extreme reveals daily structural constraints and Mismanagement. Disaster Prevention and Management. 17 (3). p.358–72. DOI: http://dx.doi.org/10.1108/09653560810887284.

Vandergeest, P. and Peluso, N.L. (2006). Empires of Forestry: Professional forestry and state power in Southeast Asia, Part 1. Environment and History. 12(1), p. 31-64.