Browse By

Perempuan, Konflik Agraria & Reposisi Agenda Feminis Muslim

Apa yang setara dari #merangkulkeseteraan pada peringatan IWD tahun ini?

Hari perempuan internasional kini layaknya program kerja tahunan yang dimeriahkan dengan serangkaian diskusi, long march, hingga kiriman media sosial. Upaya mewujudkan kesetaraan dalam banyak hal menjadi semakin teknis dan terlepas dari konteks sosio-historis mengapa IWD dirayakan untuk pertama kalinya pada 28 Februari 1909 oleh Partai Sosialis Amerika dan mengapa seorang perempuan buruh tekstil protes di New York pada 8 Maret 1857.

Misi perlawanan terhadap penindasan kapitalisme kini berubah menjadi upaya perebutan ruang publik dan merayakan keragaman tanpa membongkar lapis kekuasaan yang merugikan kelompok perempuan paling rentan. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari senyapnya penyuaraan kepentingan perempuan korban dan pejuang dalam konflik agraria dalam posisi agenda prioritas dalam #MerangkulKesetaraan. 

Perempuan korban dan pejuang konflik agraria menempati posisi paling tidak menguntungkan dalam perjuangan sehari-harinya. Mereka memikul tanggung jawab ganda sebab mereka tak hanya berjuang langsung menghadapi konflik baik dalam upaya formal dan informal dan di satu sisi harus memastikan reproduksi sosial terus berjalan. Bahkan dalam kondisi konflik yang bereskalasi, mereka juga harus memastikan kebutuhan material keluarga terpenuhi ketika para laki-laki yang mengambil peran produktif menghilang—dalam beberapa kasus konflik agraria juga meningkatkan urbanisasi dan migrasi buruh perempuan ke luar negeri. Para perempuan juga menerima ancaman dan kekerasan fisik maupun seksual.

Sebagai contoh, perampasan lahan yang terjadi di Pakel. Perempuan harus menanggung beban dua kali lipat. Pada 1999-2000, pecah konflik mencekam yang memaksa laki-laki Pakel keluar kota, bersembunyi di hutan atau mencari tempat persembunyian lain. Ini mengakibatkan yang tersisa di kampung hanya lah perempuan sampai muncul sebutan kampung janda. Semua peran diambil perempuan, baik mengurus ladang maupun urusan domestik di rumah. Anak-anak juga terpaksa putus sekolah sebagai dampak mata pencaharian orang tua hilang sebab konflik agraria yang menimpa orang tua mereka, antara lain, kena tangkap (Lusia Arumingtyas, 2023). 

Tak jauh berbeda pula dengan kondisi di Wadas. Ketika terjadi bencana, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat terancam kehilangan air sebagai nafas kehidupan. Padahal sejak bangun tidur sampai tidur lagi perempuan banyak membutuhkan air. Mulai dari urusan dapur, tanaman, hingga aktivitas beragama. Maka kalimat “yen ditambang ora iso ngibadah” benar-benar akan terjadi. Selama ini aktivitas keagamaan di desa Wadas menjadi bagian dari kehidupan sosial warga (Ayu Nuzul, 2021). 

Kita tentu masih ingat, kan, bagaimana perempuan Kendeng berjuang mempertahankan lahan, salah satunya, dengan menggelar aksi mengecor kaki di depan Istana Merdeka Jakarta pada 2017. Sembilan orang perempuan Kendeng rela mengecor kaki mereka, sebuah simbol dari pemaknaan semiotik bahwa keberadaan pabrik semen bakal mengikat kehidupan mereka. Sebelumnya, pada 2014 selama lebih dari 160 hari, ibu-ibu Kendeng menginap di tenda sebagai bentuk penolakan operasi PT. Semen Indonesia (Wulansari & R Sigit, 2017). 

Hal serupa juga dialami oleh perempuan korban penggusuran NYIA. Dikutip dari IDN Times Jogja, Tuginah, 50 tahun, masih ingat ketika bersama kakak perempuannya menghadang ratusan polisi yang mengamankan proses pengukuran lahan dan rumahnya. Dirinya juga menjerit ketika mesin ekskavator meratakan tanaman cabainya yang akan dipanen pada 2018 pagi itu. Menyisakan onggokan cabai merah ranum yang berubah menjadi sampah digulung tanah. Tak berapa lama, giliran rumah dirinya berlindung bersama empat anaknya gantian dilibas backhoe. Pada kasus perampasan lahan di NYIA ini, tak terhitung berapa kali perempuan yang menjanda lantaran ditinggal suaminya pada 2016 harus berdiri menghadapi aparat keamanan. 

“Sebagai perempuan, aku gak mau di belakang. Harus di depan. Meski kalah”, kata Tuginah kepada reporter IDN Times Jogja saat ditemui pada April 2020 (Agustin Rudiana, P: 2020). 

Dalam konflik agraria, patriarki bukanlah sumber utama penindasan—ia berfungsi menopang sekaligus menjadi instrumen,  melainkan ekspansi kapital, kemiskinan struktural, dan negara oligarki merupakan penyebab utama lapis-lapis opresi yang dihadapi oleh perempuan dalam konflik agraria. Oleh karenanya kesetaraan yang hendak dicapai oleh para perempuan korban dan pejuang konflik agraria melampaui apakah perempuan boleh atau tidak menjadi pemimpin kolektif atau berapa bagian waris yang harus diterima perempuan dibanding laki-laki.

Kesetaraan yang hendak dicapai adalah: kesetaraan kepemilikan antara kelompok kaya-miskin maupun kapitalis-proletariat; menolak segala bentuk monopoli dan penggunaan tanah dan SDA untuk agenda yang bukan kepentingan rakyat miskin dan kelas proletar serta tak berprinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan; pemberhentian penggunaan kekerasan kepada korban dan konflik agraria; serta keadilan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka yang telah dirampas.

Melihat tren kenaikan konflik agraria dalam beberapa tahun belakang, gerakan perempuan, baik secara general maupun Islam, harus melihat problem ini sebagai agenda dharuriyat—yang mendesak, pokok, harus diperjuangkan, dan segala hal yang menghalangi harus dieliminasi. Feminisme Islam, terutama, harus memposisikan keberpihakannya terhadap pembebasan perempuan di wilayah konflik agraria—dan oleh karenanya ia harus berani berkonflik dengan kapitalisme serta oligarki untuk menghentikan segala upaya perampasan tanah dan SDA yang membahayakan kehidupan perempuan dan perusakan lingkungan hidup. Tanpa komitmen ini, kita hanya akan jatuh mengulang-ulang narasi perjuangan untuk perempuan 1% dan tak benar-benar menyentuh akar opresi perempuan yang sistemik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *