Urgensi Merumuskan Fiqh Siyasah bagi Tatanan Dunia Baru
*Tulisan ini merupakan transkip dari materi yang disampaikan K. Muhammad Al-Fayyadl pada Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Ahad 2 Oktober/6 Rabiul Awal 1444 H.
Assalamualaikum Warahmatullahi Ta’ala Wabarakatuh. Bismillahirohmanirohim. Alhamdulillah Was Syukru lillah.
Hadrotal Muhtaromin, segenap masyayikh, segenap tamu undangan, Ibu Nyai, beserta para narasumber yang kami dan kami hormati. Wabil khusus pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, serta jajaran pimpinan Pondok Pesantren Nurul Jadid, serta segenap pengurus besar Nahdlatul Ulama, dan Nahdlatul Ulama yang lain.
Saya di sini mungkin pelengkap penderita. Tapi saya sangat bersyukur bisa diberi kesempatan untuk menyampaikan beberapa pemikiran, yang kebetulan telah sedikit kami oret-oret. Mudah-mudahan dibagi oleh panitia, ada tiga halaman.
Ini sebenarnya resume dari beberapa pikiran yang muncul, menyikapi tema yang dipilih oleh pondok pesantren kita dalam hal ini, yaitu fiqih siyasah dan tatanan dunia baru.
Para Kyai dan punya yang saya hormati.
Sangat terasa memang betapa gagapnya kita sebagai masyarakat pesantren terhadap isu-isu global, yang hari ini tampaknya marak dan semakin masuk ke dalam ruang-ruang hidup kita.
Kita memang sekian lama hidup di dalam lingkungan-lingkungan yang bisa dibilang lokal, regional dan alhamdulillah tadi dengan Islam nusantara setidaknya sudah menasional. Dan sekarang mengglobal atau go internasional.
Dan satu perangkat keilmuan yang tidak mau tidak, labudda minhum, itu adalah fiqih. Karena fiqh ini adalah software kita, bahasa kita sebagai kaum santri di dalam menyapa pergaulan global tadi. Saya sedikit ingin mereview dulu, ingin mengulas mengenai fiqh siyasah itu sendiri dilihat dari relevansinya.
Fiqh siyasah itu sendiri sebenarnya, secara singkat, merupakan hasil dari tata tatanan dunia yang berkembang pada masanya. Saya ingin mereview, atau mengkhulashahi, ada enam tatanan dunia yang bisa dibilang mencirikan kehidupan peradaban manusia dari waktu ke waktu.
Jadi kita sudah masuk pada perbincangan mengenai maddatul hadlarah-nya. Materi peradabannya itu apa saja.
Maddatul Hadlarah atau Fase-fase Peradaban
Para hadirin hadirat yang kami takzimi dan kami muliakan
Secara umum, secara geopolitik, peradaban dunia itu ada enam sistem, atau enam tatanan dunia. Yang pertama, peradaban suku atau trible society atau mujtama al qabailiyah.
Ini yang diisyaratkan di dalam kitab suci Al-Quran: inna kholaqnakum syu’uban wa qabail.
Peradaban suku ini sangat kental, kita melihat dalam sejarah Islam fase awal.
Kemudian kedua, dari peradaban suku ada lompatan kepada peradaban imperium, yaitu imperial societies, atau bisa dibilang mujtama dauliyah dimana saat itu di zaman Nabi Muhammad SAW, ada dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.
Dan sebenarnya ada satu lagi, Cina. Itu sebenarnya adalah berita tentang adanya Imperium itu. Walaupun hadis itu juga banyak dipertanyakan status kesahihannya.
Dan di peradaban ini, secara umum kita melihat ciri-ciri kehidupan politik yang ada di dalam kitab-kitab fiqih siyasah kita. Karena di peradaban ini muncul teori-teori, konsep-konsep yang sangat berpengaruh bahkan di dalam praktek tadi.
Konsep jihad misalnya, yaitu adanya praktek atau konsep-konsep dan praktek futuh.
Futuh itu artinya penaklukan, namun jangan dibayangkan ini penaklukan militer. Tidak mesti berupa penaklukan militer, tapi lebih tepat pada pendirian masyarakat Islami dengan tatanan politik tertentu, yang seringkali juga terkadang melalui proses perdamaian.
Seperti Fathu Makkah itu sendiri, yang tidak mengambil perang, tidak mengambil bentuk dalam rupa perang.
Peradaban imperium ini berlangsung sangat lama, para hadirin hadirat yang kami muliakan.
Dilanjutkan dengan fase yang ketiga, tatanan dunia itu memasuki era kolonialisme dan imperialisme, atau colonial estate, atau isti’mariyah. Termasuk berkembangnya paham-paham wathaniyah.
Di era kolonialisme ini sebenarnya melahirkan era negara bangsa (fase keempat), atau yang kita ketahui, bisa dibilang, kita sedang ada di dalamnya.
Dan yang kelimaini, yang perlu saya sampaikan kepada segenap para Kyai para Masyayikh, dan Bu Nyai, yaitu tatanan global order. Nah ini, istilah global order itu kalau kita googling itu sangat kental dengan nuansa perang dingin.
Bisa dibilang pada pada era ini muncul blok-blok. Misalnya blok barat, blok timur, yang kami istilahkan, ini agak sulit dicari padanannya, musyarokah siyasiyah.
Yang keenam, yang terkini dan yang paling kontemporer, itu adalah yang disebut dengan global governance atau global transnational governance.
Ini berupa pengaturan dunia melalui skema-skema dan desain-desain politik, ekonomi dan lain-lain, yang berbasis kepentingan oleh beragam aktor, baik sipil, militer, swasta dan negara, serta yang lain-lain.
Problem Fiqh Siyasah
Secara umum ini yang menjadi awal pentingnya kita berpikir mengenai fiqh siyasah ini. Karena secara umum, fiqh siyasah yang dipakai di kalangan kita merupakan produk era keemasan imperium Islam, atau daulah-daulah Islamiyah. Dan fiqh ini terus relevan dipakai sampai di era kolonialisme.
Kalau kita telusuri, memang para penulis fiqh siyasah itu adalah para penasehat konsultan-konsultan politik para raja dan sultan pada zamannya.
Sebagai contoh, Imam Al Ghazali itu banyak karya fikih, karya beliau, meski tidak banyak diajarkan pada kita, itu adalah seorang konsultan politik, penasehat, wazir dari Kesultanan Seljukiyah.
Begitu juga yang sangat terkenal, Imam Al Mawardi, itu konon adalah diplomat. Beliau adalah safir, diplomat antara Dinasti Abbasiyah dengan Buwaihiyah.
Dan setelah itu rasanya literatur fiqih siyasah tidak menemukan banyak hal yang menonjol. Intinya konsepsi mereka tetap dipakai, tapi mengalami banyak penyusutan di era kolonialisme dan negara bangsa.
Di era kolonialisme itu memang, kevakuman itu membuat umat Islam sangat sulit melakukan penerapan-penerapan atas masalah-masalah yang dulu di era Imperium bisa diterapkan dengan baik.
Jadi, sebenarnya tathbiqus syariah al qanuni itu bekerja dengan baik di era daulah, di era imperium. Di era kolonial tidak bekerja dengan baik karena yang memegang kekuasaan adalah orang-orang kolonial, kekuatan kolonial.
Sebagai contoh kami mencoba menginventarisir, ada beberapa ahkam siyasiyah yang tidak bisa diterapkan, praktis tidak bisa diterapkan. Seperti hudud, hisbah, masalah ‘itq atau pembebasan budak, dan beberapa produk fiqh yang lain.
Jadi sebenarnya kita hari ini tidak bisa menerapkan hudud itu bukan karena semata-mata apa. Karena memang undang-undang yang kita pakai adalah produk kolonial. Oleh karena itu mengatasi efek-efek kolonialisme ini yang menjadi salah satu PR kita salah satunya.
Tapi namun demikian, meski dengan penuh keterdesakan, umat Islam masih bisa memakai sejumlah produk fiqh siyasah. Bahkan mendapatkan penekanan yang luar biasa, karena dalam situasi melawan kepada penjajah yaitu khususnya dalam bab jihad dan imamah.
Nah ini sangat produktif, sebenarnya di era-era kolonial itu, eksplorasi dan pendalaman atas makna jihad. Bahkan resolusi jihad yang terkenal oleh PBNU oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari itu sebenarnya aktualisasi dari fiqh siyasah.
Secara tematik di sini kami mencoba menginventarisir tema-tema di dalam fiqih siyasah. Ternyata sangat sedikit bisa dibilang porsinya memang kalau kita coba khulasohi, fiqih siyasah dari era dinasti-dinasti Islamiyah ini yang berbicara tentang politik luar negeri. Terutama di dalam Khazanah fiqih alal mazhabis syafi’i.
Yang ada, tentang tema-tema keluarnegerian, atau lebih tepat tema-tema global. Karena di dalam fiqh siyasah ada dua pencabangan. Ada percabangan untuk tema-tema tentang dalam negeri, syu’un al-idariyah; dan ada tentang tema-tema berhubungan dengan dunia luar.
Ini kami mendapatkan keterangan, dan ini menjadi ulasan dari para ahli juga, dari para fuqaha. Yang paling banyak memberikan urusan perhatian pada urusan luar negeri, itu justru kitab-kitab fiqh siyasah dalam tradisi Hanafi.
Ini mungkin, sedikit dugaan kami, bahwa jangan-jangan karena hal itu, maka Turki punya peran yang sangat besar di dalam percaturan global. Dan ada satu kepustakaan yang hilang, yang kami duga hilang, atau belum terakses bagi komunitas pesantren, yaitu siapa fuqaha’ era Turki Usmani yang karyanya sampai kepada kita.
Saya mencoba mencari informasi memang Kerajaan Aceh, kerajaan-kerajaan yang dekat dengan Turki Utsmani saat itu, bahkan bisa dibilang menjadi negara kepanjangan tangan dari Turki Usmani, yaitu kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Saat itu sudah banyak kontak, namun belum ada satu pemikiran yang utuh, produk dari Turki Usmani yang sampai kepada kita. Mungkin karena bahasanya ditulis dalam bahasa Turki, atau bahasa Persi.
Nah ini yang mungkin menjadi PR bagi para penggali naskah para pemburu naskah, untuk kita mencoba melengkapi turats yang masih kurang lengkap.
Kami sangat tertarik dengan karya kitab As Siyar Al-Kabir, yaitu karangan dari Imam Muhammad Bin Hasan As Syaibani Al Hanafi. Karena di dalam kitab tersebut sudah ada disertasinya, 2000 halaman lebih itu, kitab itu dibahas.
Rupanya Imam Muhammad Al Hasan As Syaibani ini sudah meletakkan dasar-dasar fiqh siyasah untuk tatanan dunia baru kita. Cuma kitab ini memang perlu bahtsul kutub tersendiri, karena luar biasa.
Salah satunya, beliau sudah menyusun kriteria-kriteria diplomasi dan perjanjian luar negeri yang sangat rigid, sangat detail. Ini yang mungkin bisa menjadi dasar.
Ciri-ciri Fiqh Siyasah
Namun secara umum, kami coba melihat beberapa ciri fiqh siyasah era imperium Islam ini. Yang pertama, misalnya, sentralitas figur dan peran khalifah sebagai pemimpin tertinggi.
Memang ini agak mirip dengan sistem presidensial, yaitu semua apa-apa kata Imam. Agak miripnya di situ. Jadi, tidak berlaku sistem seperti di monarki seperti di Inggris, di mana presiden itu tidak dominan, yang dominan justru perdana menteri. Seperti di Kanada, itu bukan presidensial.
Tapi apapun namanya, di dalam fiqih siyasah turats ini, peran khalifah sangatlah penting. Bahkan Imam Abul Ma’ali al-Juwaini di dalam Kitab Ghiyats Al Umam, kitabnya 700 halaman lebih, ini khusus 3/4 nya atau 2/3 nya, membahas masalah imamah saja. Luar biasa, seolah-olah tidak mempedulikan urusan-urusan yang lebih bersifat eksternal.
Nah ini mungkin salah satu Khazanah kita, bukan berarti fiqh mazhab Syafi’i tidak ada perbincangan, tetapi misalnya kita melihat Imam Al Mawardi memberikan juga beberapa porsi pembahasan mengenai hubungan luar negeri. Namun porsinya lebih sedikit.
Kemudian yang kedua, ciri fiqih siyasah era imperium Islam itu adalah teritorinya berdasarkan futuh. Ini yang sangat berpengaruh bisa pada poin mengenai masalah jihad, yaitu penaklukan atau pendudukan umat Islam yang diresmikan dengan adanya tata negara yang Islami.
Jadi kalau ada umat Islam namun tinggal di negeri yang mayoritas non muslim, dia di dalam fiqih siyasah, disebut sebagai al muslimun fi daril harb. Bukan sebagai futuh, meski dia tinggal di tempat yang aman, atau di darul kufr.
Teritori berdasarkan futuh ini sangat dominan. Sehingga nanti konsekuensinya pada kewajiban jihad misalnya, itu akan memunculkan banyak masail-masail yang menarik.
Kemudian yang ketiga, ada identitas yang sangat sentral, keimanan dan kekufuran itu adalah identitas politikdi dalam fiqh siyasah, yang bisa dibilang, yang hasil produk imperium.
Oleh karena itu, saya mohon izin dalam waktu sepuluh menit terakhir saya akan coba mengenai bahas masalah Darul Islam dan Darul Harb itu. Bagaimana sebenarnya asal-usul atau mungkin lebih tepatnya relevansinya bagi kita hari ini?
Iman dan kufur bukan sekedar urusan hati, tapi dia adalah urusan publik dan diresmikan oleh negara. Sehingga saat itu kita bisa membaca, betapa banyak kitab-kitab fikih siyasah yang tidak membolehkan seorang Khalifah (berasal dari orang non muslim).
Bahkan wazir saja ini masih ikhtilaf, kalau dia diangkat dari non muslim. Ini persoalan-persoalan di dalam internal. Belum lagi dalam persoalan luar negeri.
Kemudian yang keempat, ciri dari fiqh siyasah ini, yang coba kami identifikasi, agen yang tunggal dalam kehidupan politik itu adalah semata-mata umat Islam. Adapun warga negara non muslim itu bukanlah pelaku. Mereka hanya sifatnya di proteksi/dilindungi oleh para khalifah, oleh negara.
Jadi mereka tidak punya hak untuk misalnya, ikut memilih khalifah. Mereka juga tidak punya hak untuk dipilih. Jadi semata-mata karena memang ini adalah prakteknya di negara-negara atau di daulah yang mayoritas umat muslim.
Dan yang kelima, pelaksanaan syariah atau syariat Islam sebagai tujuan. Ini yang menjadi ciri kekhasan yang paling pokok justru. Cirinya adalah pelaksanaan syariat sebagai tujuan.
Urgensi Membangun Fiqh Siyasah Baru
Kami mencoba menginventarisir masail-masail, kalau dilihat secara furu’. Karena tradisi kita di NU, seandainya kita mau membahtsul masailkan, akan banyak masail-masail yang sebenarnya bisa digali dari problem-problem tatanan dunia baru ini.
Namun, tentunya alasannya terlalu membuang-buang waktu, kalau kami membahas satu persatu. Maka kami minta izin untuk mengajukan beberapa pemikiran atau usulan-usulan mengenai fiqh siyasah bagi tatanan dunia baru.
Jadi kalau sebelumnya baru itu artinya fiqih siyasah warisan Imam Al Mawardi dan para mushonif dipertemukan dengan realitas dunia baru, sekarang kita mencoba untuk berpikir, bisakah kita membangun fiqh siyasah bagi tatanan dunia baru hari ini?
Ada beberapa poin. Mohon maaf tidak sempat dituliskan di dalam powerpoint atau catatan kami. Kami izin untuk untuk membacakannya secara berurutan saja karena sebagai sedikit kontribusi bagi halaqah ini.
Pertama, fiqh siyasah bagi tatanan dunia baru hari ini, yang sudah sangat kompleks dan bisa dibilang multi aktor, itu membutuhkan pemikiran baru penilaian ulang mengenai masalah darul Islam dan darul harb.
Apakah antara darul Islam dan darul harb, dalam arti negara Islam, negara di mana umat muslim di situ berdiam, dan darul harb adalah negara yang dihuni oleh orang-orang kafir (istilah kafir ini sudah dibahas di dalam Munas dan kami tidak perlu mengulasnya, kami hanya membahas secara geopolitik saja) apakah masih relevan untuk didikotomikan?
Kalau melihat pada realitas bahwa al harb atau perang itu ternyata, pertama, di dalam fiqih siyasah ternyata bukanlah tujuan, tapi wasilah. Di sini kami mencoba mengutip sedikit agak teknis, tapi mudah-mudahan ini benar-benar menjadi wacana dalam halaqah.
Apa definisi al harb itu? Karena al harb itu dari masa ke masa mengalami banyak pergeseran. Apakah al harb atau muharabah, alladzina yuharibunallaha wa rosulah, yang di dalam Al Qur’an itu persis sama seperti al harb hari ini?
Di sini ada definisi. Kami mengutip kitab yang menarik. Ini karya dari Dr Zuhail Husein Al Fadli. Judulnya Diflumasiatun Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Al Harb ini didefinisikan sebagai:
qitalun musallah baina daulataini yuhdafu ila tahqiqi ahdafin siyasiyah aw qonuniyah aw iqtishadiyah aw ‘askariyah.
Jadi ada istilah al musallah atau perang yang dipersenjatai dari kedua belah pihak, dari kedua negara. Ini al-harb atau perang dalam definisi tatanan dunia abad 21.
Adapun al-harb yang kita temukan di dalam nash-nash, dan mungkin ini juga dipakai di dalam keterangan sejumlah para fuqaha siyasah, itu pengertiannya ternyata ada beberapa.
Pertama al-khuruj an tho’atillah. Jadi orang yang membangkang itu sudah di anggap berperang. Jadi tidak dalam arti qitalun musallah, artinya perang yang dipersenjatai.
Kemudian kedua, ada yang bermakna juga al kaid atau tipu daya. Sebagaimana di dalam kisah masjid dhiror itu, dimana kullama aw qadu naron lilharbi athfa’ahallah. Itu al-harb di situ bermakna al kaid atau rekayasa atau tipu daya atau konspirasi.
Nah ini sangat cocok semuanya dengan era virtual sekarang. Jadi sekarang ini sebenarnya bukan cuma peradaban politik, tapi peradaban digital Bagaimana spionase, hacking atau rekayasa-rekayasa sekarang, ada istilah teror dan seterusnya itu sangat dominan hari ini.
Yang ketiga, dalam pengertian, al-ida’ lillahi wa rasulih artinya permusuhan yang terus terang kepada Allah dan rasulnya.
Catatan: Perang Bukan untuk Membunuh
Ada tambahan keterangan bahwa pertama, ghoyah dari al harb itu sebenarnya laisat al-qatl binafsih, bal tafriqu jam’il kuffar.
Jadi sebenarnya tujuan perang itu bukan untuk menghabisi atau membunuh. Ini Mungkin agak sensitif, karena bisa dimaknai banyak. Tapi ini satu penafsiran yang bisa dikemukakan. Jadi (perang itu ghoyahnya) untuk memecah belah perhatian musuh.
Kemudian yang kedua, ini mengenai masalah perang di dalam istilah-istilah yang lazim kita temui disebut dengan qital juga. Qital itu ternyata kalau melihat kepada kajian atas nash yang dikutip di dalam kitab ini, salah satunya:
wa in qotalukum faqtuluhum kadzalika jazaul kafirin.
Di sini al jaza bil ma’nal iqob. Perang itu sebenarnya laisa difa’an ‘aniddin. Jadi bukan pembela agama. Tapi adalah jaza’, dalam istilah lain nakalan. Yaitu sebagai hukuman terhadap orang-orang yang berlaku yang sewenang-wenang dan membuat kerusakan.
Jadi semacam sanksi politik. Perang itu bukan usaha untuk membela agama, ini di dalam satu penafsiran, namun iqob atau sanksi karena mereka telah keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasulnya.
Kami cuman ingin mungkin beranekdot, kalau melihat konstitusi negara-negara hari di abad ke-21 ini, rasanya tidak ada satupun yang memusuhi Islam. Artinya kriteria al ‘ida’ lillahi warosulih itu sebagai satu kriteria yang paling berat, atau parah, karena berarti dia secara terang-terangan menyatakan musuh terhadap Islam, yang oleh karena itu layak dikenakan status Darul Harb. Itu mungkin tidak ada hari ini. Kami tidak tahu, kami tidak meneliti konstitusi Israel.
Kalau secara individu, pemerintah yang tidak suka kepada Islam, yang terang-terangan memusuhi Islam mungkin masih ada. Atau politisi-politisinya, termasuk juga masyarakatnya. Namun negara itu sendiri yang terus terang menyatakan kami anti Islam atau anti Muslim itu tidak ada hari ini.
Itu berarti menjadi satu alasan setidaknya, menjadi satu jalan keluar untuk mengurangi secara drastis penggunaan istilah darul harb. Bahkan kalau perlu dihapus.
Kami mencoba menelaah, karena di dalam situasi politik hari ini sangatlah rumit. Perang antar negara sangat bisa terjadi kapanpun. Bahkan disebutkan perang dunia ketiga itu ada di depan mata, katanya. Entah ini kerjaan intelijen atau prediksi para politisi yang kurang bertanggung jawab. Saya kira itu yang justru berusaha kita cegah dengan halaqah fiqih peradaban ini.
Mungkin status darul harb itu, seandainya ada, mungkin hanya ada di biladu falistin (negara Palestina). Tapi itu masih juga sangat-sangat 50-50.
Lalu usulannya apa, kira-kira seandainya dimungkinkan?
Usulan Konsep: Darud Da’wah (Darut Tho’at dan Darul Ma’ashi wal Fusuq wadz Dzulmi)
Kita perlu memahami tatanan dunia hari ini. Ini penawaran dari kami, sebagai darul dakwah. Darul dakwah ini dibagi menjadi dua. Darul tha’at dan darul ma’ashi wal fusuq wadz dzulmi.
Jadi yang ada sekarang itu bukan kekafiran ansich. Tapi sebenarnya ekspresi paling luar dari kekafiran itu apa? Ma’ashi wal fusuq wadz dzulmi. Sehingga dari konsepsi seperti ini, sebenarnya yang ada mungkin sekarang, semua negara hari ini itu adalah darul dakwah bagi umat Islam.
Saya tertarik dengan kisah seorang sahabat yang luar biasa termasuk minal ‘asyaroh wal mubasyarun, yaitu Abdurrahman bin Auf ra. Beliau itu dalam sebuah kebaikan beliau yang disebutkan dalam sejarah, beliau adalah orang pertama yang rumahnya menjadi tempat kedatangan utusan-utusan Nabi Muhammad SAW, bahkan tamu-tamu Nabi sehingga rumah beliau disebut juga dengan Darut Dhifan.
Bahkan rumah dari Abdurrahman bin Auf ini, disebut juga Darul Kubro. Karena dari saking luasnya, beliau kaya raya, beliau rumahnya itu sangat besar. Entah sebesar apa di Madinah saat itu. Dan banyak menerima tamu-tamu atau delegasi dari negara-negara lain, yang itu rata-rata insya Allah non muslim atau musyrik.
Jadi kami tertarik. Mungkin apa bisa Darud Dhifan ini dijadikan kontribusi untuk menyusun misalnya konsep negara suaka?
Karena kami melihat, fakta geopolitik hari ini sangatlah rentan pada terjadinya pengusiran atas umat manusia. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, ada tragedi Rohingnya, di mana umat muslim yang ada di daerah Bangladesh, India dan Pakistan terusir dari negaranya, dan seterusnya.
Ini sampai sekarang belum bisa diatasi oleh konsep negara bangsa yang ada sekarang ini. Kenapa? Karena negara bangsa yang ada saat ini sangatlah eksklusif. Bisa dibilang, untuk masuk ke sebuah teritori harus butuh paspor dan visa.
Bagaimana dengan warga negara yang tidak punya paspor dan visa? Apakah akan dihukumi sebagai bughat? Ini sangat sulit. Maka, mungkin dengan adanya konsep Darun yang baru, kita bisa mencoba menyusun konsep tata dunia yang baru.
Kami mendapat keterangan dari seorang teman, katanya di dalam kitabnya Syekh Wahbah Az Zuhaili, bahwa Imam As Syafi’i rahimahullah pernah berkata, bahwa ad-dunya darun wahidah. Sebenarnya dunia ini adalah satu negeri.
Jadi sebenarnya tidak ada istilah darul Harb dan darul islam. Sekali lagi, istilah ini entah sejak kapan muncul, kami juga belum mendapatkan keterangan yang memadai.
Kemudian yang terakhir, tentang kaidah-kaidahnya. Kami coba ingin mengusulkan begini. Di dalam hal ini, bahwa tujuan-tujuan negara sebenarnya, yang tadi sudah dikemukakan oleh beliau, Kyai Haji Afifuddin Muhajir, itu bisa ditingkatkan pada tataran global.
Artinya bagaimana fiqih maqashid yang telah menjadi acuan kita di dalam bermuamalah hari ini, bisa ditingkatkan ke dalam dataran global.
Usulan Konsep: Hifdzul Bi’ah
Sebagai contoh, kami mengusulkan adanya istilah hifdzul bi’ah atau menjaga lingkungan, yang dimaknai di sini hifdzul balad atau hifdzul waton sebagai salah satu maqashid syariah di dalam konteks tatanan dunia baru. Karena semua an nafs, ad din, al mal, an nasl, itu tidak akan berguna ketika sebuah negara diinvasi dan dikolonisasi.
Maka hifdzul balad yang meski mayoritasnya adalah kafir, karena dia berpotensi menjadi darud dakwah, maka sangat mungkin untuk dimasukkan ke dalam kriteria maqashid syariah yang baru.
Sebenarnya masih banyak hal yang menarik untuk dibahas. Namun kami yakin bahwa pesan-pesan Islam sebenarnya sudah cukup banyak menjawab problem dunia hari ini. Terbukti dari salah satu cuplikan surat baginda Nabi Muhammad SAW kepada Heraklius.
Di situ kami ingin kutip satu potongan. Nabi saw. menulis kepada Heraklius: aslim taslam, masuklah engkau Islam, maka engkau akan mendapatkan kedamaian. Namun ketika Heraklius menolak untuk masuk Islam, Nabi saw. juga tidak langsung memeranginya.
Ini menggambarkan bahwa sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita bicarakan, khususnya oleh para musyawirin. Mungkin karena keterbatasan waktu, ini yang bisa sementara saya sampaikan.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ditranskip oleh: Ahmad Syifa (Biro Agitasi dan Propaganda FNKSDA)