Browse By

BEM FPIK-UB, BEM FP-UB, DAN FNKSDA: MAHASISWA PERTANIAN KURANG PEKA PERSOALAN TUMPANG PITU

fnksda

Dari FB Rosdi Bahtiar Martadi

Kurang sadarnya mahasiswa pertanian terhadap masalah lingkungan, khususnya persoalan ekologi Tumpang Pitu, menjadi salah sorotan dalam diskusi yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (BEM FPIK-UB) bersama Badan Eksekutif Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (BEM FP-UB) beberapa waktu lalu.

Dalam diskusi bertajuk “Tambang Berdiri, Rakyat Menjerit” itu, terungkap jika keberadaan tambang emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu tersebut tak hanya mendegradasi kualitas ekologi kawasan Tumpang Pitu tetapi juga menurunkan penghasilan nelayan. Dengan merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Banyuwangi, BEM FPIK-UB dan BEM FP-UB dalam siaran pers-nya menyatakan bahwa produksi tangkap ikan perairan laut dan umum di Kecamatan Pesanggaran yang pada 2014 mencapai 18.323 ton telah menurun jadi 11.439 ton pada 2015.

“Tumpang Pitu merupakan daerah pesisir pantai yang sekaligus juga hutan lindung. Sebagai gunung yang berdekatan dengan laut, Tumpang Pitu ini juga berfungsi sebagai penahan alami daya rusak tsunami,” kata Riris Kemalawati (FPIK-UB), salah satu pembicara dalam acara yang bertempat di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FP-UB.

Banjir lumpur yang pernah terjadi bulan Agustus 2016 lalu, juga jadi dibahas dalam diskusi yang juga menghadirkan aktivis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Malang M. Ali Mahruz itu. “Tambang di Tumpang Pitu telah membuat banjir. Akibatnya pariwisata meredup, dan gagal panen terjadi,” kata M. Ali Mahruz

BEM FPIK-UB, BEM FP-UB dan FNKSDA Malang memiliki kesimpulan sama, yakni keberadaan tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu adalah penyebab utama banjir lumpur Agustus 2016. Menurut mereka, sebelum adanya pertambangan emas, tidak pernah terjadi banjir lumpur. Banjir lumpur baru muncul setelah tambang emas ada. Banjir lumpur ini adalah indikasi adanya perubahan bentang lahan.

Sebelum ada pertambangan emas, tidak pernah terjadi banjir lumpur seperti pada bulan agustus. Air laut bercampur dengan lumpur ini berasa pahit dan menimbulkan gatal-gatal di permukaan kulit dan bau. PT. BSI sudah menyedot lumpur tetapi belum menampakkan hasil memuaskan. Meski hujan tak lagi turun, genangan lumpur terus mengalir dan membanjiri wisata Pulau Merah, Lampon dan Pencer sehingga Pokmas Pariwisata Pulau Merah akhirnya membentuk pansus khusus menangani permasalahan banjir lumpur.

Kondisi media sosial terkait Tumpang Pitu juga jadi perbincangan hangat dalam diskusi ini. Pemblokiran beberapa akun twitter yang berkicau kritis tentang Tumpang Pitu bisa jadi sinyalemen bahwa tambang emas Tumpang Pitu sarat kepentingan yang meminggirkan nasib ekologi kawasan. Demikian pula dengan terhapusnya beberapa postingan kritis tentang Tumpang Pitu via facebook, ini menunjukkan bahwa ada fakta yang hendak ditutupi agar publik luas tak tahu.

———————————-
Tulisan ini telah mengalami editing. Olah editing berdasarkan materi siaran pers BEM FP UB yang dikirim via inbox fb oleh Fairus Iqbal Lukmana (mahasiswa FPIK-UB) pada tanggal 4 Juni 2017