Bongkoran : Mereka yang Berjuang atas Tanahnya Sendiri
Bagaimana perjuangan warga Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi melawan korporasi atas tanahnya sendiri
Yateno Subandio (40) mengenakan kaus berkerah warna biru bagian atas dan sebagiannya putih, juga Jeans warna abu-abu dikenakannya saat kami mewawancarainya. Yateno merupakan penggerak roda utama dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) sejak 2007. Selama sembilan tahun ia menjadi ketua organisasi, bersama warga lainnya berjuang untuk mempertahankan tanah kelahirannya dari “caplokan” korporasi.
Dari zaman kolonial Belanda, tanah Bongkoran sudah dibabat dan dijadikan permukiman oleh karyawan dari perusahaan yang dikelola Belanda. Hingga jauh setelah Indonesia merdeka dan pulangnya para penjajah ke tanahnya masing-masing, sekitar tahun 1970-an ada orang suruhan perusahaan meminta cap jempol pada warga Bongkoran untuk diberikan hak kepemilikan tanah. Namun bukan hak kepemilikan tanah yang diberikan, tetapi cap jempol tersebut dimanipulasi dan diajukan untuk Hak Guna Usaha (HGU) PT Wongsorejo, yang kemudian terbit tahun 1988.
PT Wongsorejo yang telah mengantongi ijin konsesi kemudian menanami lahan dengan pohon randu. Dari sini kegelisahan warga Bongkoran sudah mulai nampak. Karena pohon randu yang mempunyai daya serap air yang tinggi, mengakibatkan tanaman warga di sekitar pohon randu menjadi tidak berkembang dan tumbuh seperti sebelum perusahaan itu muncul. Dari sinilah perjuangan rakyat atas tanahnya sendiri dimulai.
“Generasi muda (tahun) 1999 itu kita akan mencoba untuk kita suarakan. Kog kampung kita seperti ini, nggak ada perkembangan, ketertinggalan, terus status kita kog dikatakan numpang?” Ungkap Yateno tentang apa yang dirasakannya waktu itu.
Menurutnya, istilah menumpang membuat seseorang yang telah menempati tanah dari leluhur merasa ada kejanggalan dan tak enak hati.
Organisasi ini terbentuk pada tanggal 10 Agustus 1999. Yang pada saat itu diketuai oleh Slamet Rebin. Kemudian pada tahun 2007 diadakan pemilihan ketua umum organisasi dan terpilihlah Yateno menjadi ketua umum hingga saat ini.
Pada masa awal pembentukan organisasi, Suyateno bersama pengurus dan anggota organisasi lainnya mulai menuju ke jalur hukum. Disambanginya pihak pemerintahan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten. Hingga sampai meminta bantuan dari Komnas HAM. Namun tak ada respon sama sekali dari pihak pemerintah.
Hingga satu hari di tahun 2001 terjadi insiden penembakan oleh oknum terhadap salahsatu petani di Bongkoran. Penyebab penembakan dipicu oleh salah satu petani yang merempesi pohon randu milik perusahaan, yang dianggap menjadi penyebab menurunnya produktivitas dari tanaman yang ditanam oleh petani.
“Setelah(petani) tertembak itu, ya rame. Petani sendiri juga banyak yang nggak berani tidur di rumah, tidur di jurang-jurang.”
Tak berselang lama dari peristiwa penembakan itu, OPWB menuju Jakarta untuk melaporkan ke Komnas HAM. Namun ketika sampai di stasiun Ketapang, Yateno malah ditangkap oleh salah satu oknum.
“Saya kira ini persoalan keadilan, persoalan kesejahteraan, ini persoalan hukum yang perlu diluruskan.” Tegasnya.
Sebelum HGU dari PTWongsorejo berakhir pada tahun 2012, OPWB bersama warga Bongkoran sudah melakukan usaha untuk menghentikan adanya perpanjangan HGU dari PT Wongsorejo. OPWB mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menyuratinya guna untuk menindaklanjuti maksud tersebut.
“Kita mohon untuk persolaan sengketa Bongkoran itu diselesaikan dulu oleh pemerintah, sebagai pemegang otoritas.”
BPN pusat Deputi lima mengatakan bahwa proses perpanjangan konsesi tidak bisa dilanjutkan hingga sengketa tanah diselesaikan.
Namun warga Bongkoran terkejut ketika mendengar bahwa PT Wongsorejo telah mengantongi perpanjangan dan penggantian hak guna konsesi atas dasar Hak Guna Bangunan (HGB) di tahun 2014 oleh BPN daerah. Keterkejutan warga Bongkoran didasarkan pada apa yang telah dikatakan BPN sebelumnya, bahwa perpanjangan izin pengelolaan harus sudah melalui penyelesaian sengketa.
Dari pihak pemerintah sendiri menurut pandangan Yateno telah abai dan berpihak pada PT Wongsorejo. Hal ini bisa dilihat dari imbauan pemerintah yang menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan oleh pihak perusahaan dengan warga.
Pada tahun 2013 pihak perusahaan melalui suruhannya mencoba untuk memberikan penawaran kepada OPWB terkait sengketa tanah saat itu. Penawaran yang diberikan oleh pihak perusahaan adalah memberikan 66 hektare tanah ke warga Bongkoran. Yang menurut Yateno penawaran yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada Warga Bongkoran sangat merugikan.
“Kita juga menjaga terjadinya konflik horizontal. Konflik antar masyarakat. Siapa yang akan bertanggung jawab ketika nanti 60 hektare itu yang hanya mendapat 10 meter. Kalau dihitung dari angka tiga ratus kalau dibagi sepuluh meter kali berapa are itu untuk bercocok tanam. Opo nggak kiro-kiro menimbulkan konflik horizontal? Opo nggak perang ini kiro-kiro antar masyarakat itu?”
Selain tanah tersebut untuk kelanjutan dari generasi yang selanjutnya, kekhawatiran-kekhawatiran semacam itulah yang membuat Yateno bersama organisasinya tetap bersikukuh mempertahankan tanah kelahirannya.
ROKIM (40) pada tahun 1999 masih menjadi anggota organisasi. Belum masuk pada jajaran pengurus. Sampai pada tahun 2007 ketika ada pemilihan ketua umum dan Yateno terpilih menjadi ketua, Rokim diajak untuk masuk dalam pengurus. Terhitung dari 2007 hingga sekarang dia aktif dalam posisinya sebagai sekretaris organisasi.
“Mumet le, aku lek kon nglapor nek deso nek camat. Aduuuh sampe per hari aku repot ngurusi.” Ia menjelaskan bagaimana susahnya mengurusi urusan tanah kelahirannya berhadapan dengan pemerintahan. Dari kepala desa ke kepala desa selanjutnya tak ada respon ke warga Bongkoran. Pun juga begitu dengan pihak Mustika dan Muspida yang memberikan respon yang sama.
“(Pihak) deso iku malah ngelek-ngelek. Seng orang PKI, tetek bengek itu. Aduuh, ajur mumur lek orang-orang perjuangan iki.” Kisahnya bagaimana ia menceritakan organisasi dan warganya berjuang untuk mempertahankan tanahnya sendiri.
Mulai dari klaim bahwa warga Bongkoran orang-orang PKI. Tukang merebut tanah. Hingga tidak diakui sebagai warga Wongsorejo, menjadi kudapan yang sudah lumrah dirasakan. Klaim dari pihak luar tentang PKI ini juga sama dengan apa yang dialami oleh warga Rembang Jawa Tengah yang mempertahankan tanahnya.
Suatu hari warga bentrok dengan pihak perusahaan. Karena melukai salah satu orang di pihak perusahaan, pihak perusahaan mengambil kesempatan itu untuk membuat panjang urusan dengan melapor kepada polisi setempat. Akhirnya enam orang dari warga Bongkoran dipanggil untuk menjalani penyidikan. Salah satunya Rokim sendiri, namun ketika sampai di kantor polisi, pihak kepolisian menghentikan penyidikan karena alasan waktu sudah malam. Keesokan harinya proses penyidikan hanya dilakukan kepada lima orang sebelumnya, Rokim tidak masuk dalam penyidikan.
MASJID kampung Bongkoran semacam menjadi markas berkumpulnya para warga untuk melakukan aksi penolakan kepada pihak perusahaan. Saat kentongan dipukul bertalu-talu, maka saat itu juga warga dari berbagai penjuru berkumpul berbaur menjadi satu untuk menunggu komando dari koordinator lapangan.
Satu hari yang panas ketika pihak perusahaan akan melakukan penanaman di areal Bongkoran, maka seketika kentongan akan berbunyi bertubi-tubi mengumpulkan warga untuk melakukan pemblokiran dan penolakan.
Dari tindakan penindasan yang bersifatverbal (caci maki, tuduhan PKI, fitnah dan lainnya) hingga bersifat fisik (pukulan, diculik, diteror) kerap dialami warga Bongkoran yang melakukan protes tersebut. Dari tahun dimulainya izin konsesi HGU PT Wongsorejo terbit 1988 hingga saat ini tahun 2016 masih saja tindakan-tindakan di luar hukum itu kerap dialami oleh warga Wongsorejo.
“Pernah terjadi penculikan di tengah malam. Petani kita diculik empat orang,” Kata Yateno menceritakan penculikan yang dialami oleh petani Bongkoran yang terjadi di tahun 2014. Di mana suasana saat itu sedang panas-panasnya izin HGB dari PT Wongsorejo terbit.
Yateno menceritakan saat awal-awal izin HGB terbit, pihak perusahaan dengan alat berat buldoser merusak lahan-lahan petani dengan alasan untuk membuat jalan. Petani yang melihat hal tersebut tak bisa berdiam diri dengan apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Akhirnya petani memblokade jalan, mengusir perusahaan agar tidak melanjutkan pengrusakan.
Meski tindakan-tindakan kriminalisasi dan intimidasi sangat seing dijumpai dan dialami sendiri oleh warga Bongkoran, namun hingga kini perjuangan warga Bongkoran tetap teguh mempertahankan tanah airnya.
“Kita nggak boleh tanam, otomatis dengan sendirinya pasti kita akan mati kelaparan.” Tegas Yateno pada pendiriannya dan warganya mengahadapi pihak perusahaan PT Wongsorejo.
Pernyataan Yateno dan Warga Bongkoran lainnya yang memperjuangkan tanah lahirnya sendiri, sama dengan apa yang dikatakan dan ditegaskan oleh petani Rembang. Bahwa tanah air adalah kehidupannya, mereka menjaganya agar tetap lestari. Hidup dan mati mereka bergantung tanah, maka tanah adalah kehidupan itu sendiri.[]
Oleh : Chairul Anwar, Ahmad Junaidi Al Jawawi, Fidha, Reno Farhan Al Fattah (Peserta #PesantrenAgraria FNKSDA di Bongkoran, Wongsorejo Banyuwangi)