Browse By

Catatan Diskusi Omnibus Law: Manfaat atau Mafsadat ?

Catatan Fahmi Syaifudin (Pegiat FNKSDA Jombang)

Omnibus Law yang merupakan proyek penyatuan atau penyederhanaan UU yang tumpang-tindih antara pemerintah pusat dan daerah menuai banyak kontroversi. Pasalnya dalam wawancara eksklusif bersama koresponden bisnis Asia BBC News, Karishma Vaswani, Presiden Jokowi mengutarakan dengan jelas bahwa orientasi Omnibus Law adalah untuk “…melayani Investor secepat-cepatnya, baik investor lokal maupun negara lain.”

Hal tersebut menstimulus FNKSDA Jombang, LPM Unipdu serta beberapa jaringan lainnya menggelar diskusi Omnibus Law pada jum’at 6 maret 2020, bertempat di Gelora Unipdu Jombang. Diskusi yang dipantik oleh Haidar Adam (Dosen Fakultas Hukum Unair) dan Fahmi Saiyfuddin (FNKSDA Jombang) disambut antusias oleh santri, pelajar, serta mahasiswa Jombang dan sekitarnya.

Masayu selaku moderator diskusi membuka dengan pra-kata bahwa digelarnya diskusi ini adalah bentuk kajian bersama terkait omnibus law. Meningat sejak januari RUU tersebut telah menyulut demonstrasi para buruh, mahasiswa dan organ gerakan lainnya.

Pengantar Omnibus Law

Lanjut ke materi pertama, Adam yang juga peneliti HRLS (Human Right Law Studies) Unair memaparkan bahwa Omnibus Law merupakan metode menyatukan segala peraturan-peraturan kemudian menyatukan dalam satu peraturan. Istilah tersebut adalah upaya menciptakan harmonisasi hukum pada suatu negara.

Namun, penyederhanaan pasal-pasal tersebut menjadi bermasalah karena orientasi dibalik pembuatannya. Perang dagang antara Amerika dan China dalam menguasai pasar global membuktikan bahwa Indonesia tidak masuk dalam lima negara besar yang diminati Investor. Sebab itulah pemerintah melakukan penyesuaian hukum yang ramah terhadap investasi.

Haidar Adam mengatakan jika pemerintah berasumsi bahwa untuk terciptanya pemerataan ekonomi maka industrialisasi harus digalakkan. Dalam hal ini mengundang investor domestik atau internasional untuk berinvestasi di negeri ini.

Namun demi memaksakan kehendak tersebut, diperlukan penyesuaian supaya menarik minat investor untuk mau menanan modalnya di Indonesia,” lanjut Adam.

Ia menambahkan, misalnya demi menjaga stabitilas politik maka independen pers harus dibatasi supaya tidak mengusik laju investasi. Juga sistem upah per-jam kepada tenaga kerja, dan dicabutnya segala tunjangan sosial serta pelbagai cuti yang sebelumnya ditetapkan di UU Ketenagakerjaan. Bahkan analisis mengenai dampak lingkungan hanya sebagai pertimbangan saja, serta kemudahan-kemudahan lainnya yang memanjakan Investor.

Hal tersebut terejawantahkan dalam draf naskah akademik UU Cipta Kerja (CIKAR) atau yang sebelumnya bersama Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang oleh Presiden Jokowi akan disahkan dalam 100 hari kerja.

Padahal jika berkaca pada Inggris, dibutuhkan waktu 10 tahun untuk terciptanya harmonisasi undang-undang. Melihat prosesnya yang tertutup serta regulasi yang terbilang mentah, maka jelas ini sebuah pemaksaan kehendak dalam sistematika hukum.

Ancaman Lingkungan Hidup dan Kehidupan

Kemudian Fahmi selaku pegiat Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam mengutarakan ancaman lingkungan hidup dalam Omnibus Law. Fahmi merefleksikan dengan sebuah pernyataan,”jika ruang hidup berubah maka pola kehidupan akan berubah, dan hal ini bersifat absolut.”

Setidaknya terdapat tiga poin yang menjadi kritis Fahmi terkait ancaman Omnibus Law terdapat lingkungan. Pertama, Kemudahan perizinan. ketentuan Pasal 1 Ayat 12 dalam UU PPLH, terkait upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) tidak lagi diperlukan.

Dan pada Ayat 35, kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus lalu diubah menjadi persetujuan lingkungan. Pasal tersebut terhimpun dalam pasal (23: 4) RUU Cika, bahwa izin lingkungan dirubah menjadi ‘izin berusaha.’

Kedua, Sentralisasi Kebijakan. Pasal 20 Ayat 3 dan 5 UU PPLH diubah dan dimuat dalam pasal (20:3) sebelumnya, setiap perizinan atau protes warga terdampak bisa melalui menteri, gubernur, bupati atau walikota.

Setelah ini semua akan tersentralkan di pemerintah pusat. Sehingga akan mempersempit akses warga melakukan upaya hukum terhadap keputusan yang berdampak pada lingkungan

Ketiga, upaya penghapusan AMDAL. ketentuan Pasal 1 Ayat 11, 12, dan 35 UU PPLH diubah, Pada Pasal 1 Ayat 11. Yang semula analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) menjadi pra-syarat wajib penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini diubah menjadi amdal digunakan sebagai pertimbangan saja.

Juga merubah pasal 26 UU PPLH, dengan hanya masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap yang diizinkan terlibat dalam penyusunan dokumen amdal. Fahmi menyampaikan padahal, pasal 26 sebelumnya melibatkan masyarakat sebagai pemerhati lingkungan dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan amdal.

Hal tersebut bukan hanya merugikan masyarakat, bahkan akan mengkebiri intelektual pro-lingkungan, juga pegiat lingkungan hidup nantinya,” tutur Fahmi.

Menurut Fahmi, wacana RUU tersebut berpotensi meningkatkan jurang kerusakan lingkungan yang sudah mengbengkak setiap tahunnya. Dengan menelisik data Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terdapat 1.771 kasus konflik agrarian, dengan rincian, 127 kasus pada 2015, 163 kasus pada 2016, 208 kasus pada 2017, dan 144 kasus pada 2018.

Data dari Walhi Jatim juga menunjukan peningkatan bencana ekologis dari 2013 hingga 2017, dengan rincian 233 bencana pada 2013 dan 2014, 297 bencana pada 2015, 404 bencana pada 2016, dan 434 bencana pada 2017. Sehingga kita akan tahu betapa parahnya situasi ekologis sekarang ini.

Kesimpulan Diskusi

Omnibus Law yang dikenal sebagai ‘UU sapu jagad’ karena memayungi banyak peraturan-peraturan, atau juga ‘RUU Cilukba’ karena pembuatannya yang terburu-buru tanpa melibatkan pakar ahli bahkan struktur pemerintah daerah, sampai rakyat seutuhnya menguai banyak kontroversi. Terlebih jika menilisik naskah akademik dalam UU Cipta kerja yang berjumlah 1028 halaman, didominasi oleh kata-kata percepatan ekonomi, kemudahan investasi, serta penyesuaian globalisasi.

Dan jika ditelisik lebih mendalam, Omnibus Law bersebrangan dengan UUD 1945 Pasal 28 A yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Karena dalam pembuatannya yang tergesa-gesa dan banyak memangkas hak-hak pekerja serta mengalineasi aspek-aspek lingkungan hidup merupakan ancaman terhadap masyarakat serta keberlanjutan kehidupan masyarakat Indonesia. Maka dapat disimpulkan Omnibus Law:

Manfaat untuk investor, Mafsadat untuk buruh, pers, lingkungan dan seluruh masyarakat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *