Diskusi dan Solidaritas Untuk Petani Surokonto Wetan: Perampasan Ruang Hidup Dalam Perspektif Agama
Masifnya perampasan ruang hidup atas hak rakyat merupakan realitas yang tidak bisa ditutup-tutupi. Kerusakan ekologi, hingga pergeseran struktur sosial masyarakat menjadi salah satu penyebab, semakin terampasnya kehidupan rakyat. Relasi kerusakan ekologi dengan hidup rakyat, dapat dilihat sebagai relasi yang substansial. Ketika ruang-ruang ekologi mulai rusak, maka akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan data dari katadata.co.id, ada sekitar 20 kabupaten yang setiap tahunnya menghasilkan sharing profit kurang lebih Rp 100 miliar. Sebagai contoh, Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) yang merupakan Kabupaten dengan dana sharing profit hasil migas terbesar di Indonesia. Kurang lebih dari Rp. 728 miliar masuk ke APBD Kabupaten Bojonegoro. Lalu pada posisi kedua dan ketiga diisi oleh Kabupaten Bengkalis (Riau) dan Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) dengan dana sharing profit masing-masing sebesar Rp. 723 miliar dan Rp. 641 miliar. Namun tidak semua daerah yang menjadi lumbung migas mampu menyejahterahkan rakyatya. Sebagai contoh, Kabupaten Bojonegoro dan Musi Banyuasin, berada pada posisi pertama dan ketiga daerah miskin, tercatat kemiskinan di daerah tersebut masing-masing 15,7 dan 18,4 persen.
Industri besar seperti migas nyatanya belum mampu mendistribusikan kesejahteraan, namun hal tersebut masih dijadikan dalih untuk meneruskan industrialisasi di sektor ekstraktif, sebagai solusi pengentasan kemiskinan ala pihak yang berkuasa. Sehingga, meskipun dengan dalih pengentasan kemiskinan, di tengah gagalnya industri ekstraktif, telah menciptakan permalahan baru.
Perlu kita ketahui jika eskalasi konflik meningkat dari tahun ke tahun, persoalan kesejahteraan dijadikan dalih untuk merampas ruang-ruang hidup rakyat. Menurut catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), jika di tahun 2015 terdapat 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK (Kepala Keluarga). Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus. Mayoritas konflik yang muncul menyisir pada sektor perkebunan sekitar 163 kasus, properti 117 kasus, insfrastruktur 100 kasus, kehutanan 25 kasus, tambang 21 kasus, migas 7 kasus, pesisir-kelautan 10 kasus dan pertanian 7 kasus. Oleh karena itu, hancurnya ruang hidup rakyat, semakin menambah beban hidup. Akses ekonomi terhambat, biaya kesehatan bertambah dan pendidikan semakin tidak merata.
Salah satu imbas dari maraknya perampasan ruang hidup, ketika banyaknya warga yang diusir, diintimidasi, dirampas haknya bahkan dipenjarakan. Sebagai bukti perampasan ruang hidup tak hanya terbatas pada konteks ekologi, namun juga hak asasi manusia dalam substansi sosial, ekonomi dan budaya. Pada 18 Januari 2017, Pengadilan Negeri (PN) Kendal menjatuhkan vonis penjara masing-masing selama 8 tahun dan denda Rp. 10 miliar kepada tiga orang petani Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah, yaitu Kiai Nur Aziz (usia 44 tahun); Sutrisno Rusmin (63 tahun), dan Mujiono (39 tahun) (Nomor Perkara: 29/Pid.Sus/2016/PN.Kdl). Vonis yang dijatuhkan kepada tiga orang petani ini didasarkan pada dakwaan Pasal 94 ayat (1) huruf a dan b UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Putusan tersebut menyatakan bahwa para petani bersalah karena memakai lahan seluas 127,821 hektar yang diklaim kepemilikannya oleh Perhutani di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah yang telah ditukar guling dengan pihak Semen Indonesia (SI). Tukar guling terjadi sebagai kompensasi lahan Perhutani di area KPH Blora, yang digunakan oleh pihak SI sebagai area tambang. Selain itu, para tersangka juga dituduh mengorganisir massa untuk melawan Pehutani.
Jika menelisik lebih dalam, akar persoalan tersebut berawal dari keserakahan. Dimana persoalan hidup hanya dipandang darimana memperoleh keuntungan. Dunia pasar diciptakan untuk mereduksi nilai-nilai kultural manusia, seperti bertransformasinya nilai suatu barang. Ketika suatu barang tidak dilihat lagi dilihat sebagai suatu nilai guna, namun telah meningkat eskalasinya menjadi nilai simbol, bahkan semakin bergeser menjadi nilai tukar dalam konteks stratifikasi masyarakat (kelas sosial). Hal ini menjadikan syahwat kapital semakin menggeliat, sehingga dalih-dalih pembangunan atas ruang hidup dijadikan legitimasi untuk mencapai kesejahteraan.
Dari, sudut pandang atau konteks agama, terutama Islam, berikut adalah uraian kami. Surat Al-Furqon ayat 67 berisi kurang lebih perintah Allah terkait perilaku sederhana. Agar manusia senantiasa bijak dalam membelanjakan sesuatu, tidak berlebih-lebihan. Begitu juga jika kita mencermati Al-a’raf ayat 31, yang mempunyai makna bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam sesuatu, seperti dalam makan, berpakaian atau hal apapun. Secara pemahaman awam, bahwa Islam sesungguhnya mengajarkan agar senantiasa berlaku adil, tidak melakukan hal yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Senantiasa berlaku sesuai dengan kebutuhan, dalam ini korelasional dengan konteks nilai guna.
Dipertegas dalam surat AR-RUM ayat 41-42, bahwasanya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
Dikuatkan dengan surat AL-ARAF 56-58, yang menyatakan “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerh yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
Pada beberapa kasus kekinian, kasus-kasus perampasan ruang hidup yang digawangi oleh para korporasi yang berselingkuh dengan birokrat, telah menyentuh persoalan okupasi atas tanah. Selain melihat dalam relasi kuasa dalam substansi ekonomi politik, harus dilihat juga relasi agama dalam perampasan ruang hidup. Bagaimana agama memandang persoalan krisis sosial ekologi yang sedang mengancam akhir-akhir ini. Karena dalam Islam seharusnya kita meyakini bahwa penindasan dan perusakan atas kondisi sosial-ekologi merupakan bentuk dari tidak bertanggung jawabnya kita sebagai khalifah di bumi. Mengingkari Islam Rahmatan Lil Alamin, yang diajarkan oleh Muhammad SAW sebagai sebuah keniscayaan.