Browse By

Habisnya Tuah “Tana Sangkolan”?

Oleh: Kiai Dardiri, koordinator FNKSDA Sumenep
Miris sekali mengetahui tanah-tanah di Sumenep banyak yang lepas dan terjual pada investor, entah asing atau lokal. Di desa sebelah timur desa saya sekitat 15 ha (ada yang bilang 17 bahkan 25 ha) berpindah kepemilikan. Kabarnya mau dibuat tambak udang. Saat ini tengah digarap. Penduduk desa tercengang. Mereka dipertontonkan alat-alat berat, mobil kontainer yang panjang, dan seleweran orang-orang yang tidak dikenal.

Maklum, baru kali kami melihat sawah-sawah  seluas 15 ha diaduk-aduk mesin yang tak punya rasa, pada hal dulu diitumbuhi padi yang menguning. Belakangain ini sawah-sawah itu memang tak lagi produktif, karena tak lagi ada air. Bisa juga karena kebijakan revolusi hijaunya pak Harto dulu yang memaksa petani menanam padi jenis tertentu, sambil menumpahi sawah-sawah petani dengan pupuk kimia yang tak ramah lingkungan. Tanah akhirnya jadi “kajal” (keras dan tidak subur).

Sekarang sawah akan beralih fungsi. Kabar yang saya terima dari aparat desa akan dijadikan lahan tambak udang. Investornya dari China. Wuih…jauh banget. Inilah “berkah” jembatan Suramadu yang dibangun berkat ngutang sama China. Jadi sekarang China gampang nyelonong ke Madura, setelah sebelumnya saya dengar sudah dapat jatah mengelola migas.

Tanah yang lepas bukan hanya di desa sebelah, di desa lain juga sudah lepas. Bahkan di 3 kecamatan terdekat dari kecamatan saya mengalami nasib serupa. Yang paling massif di kecamatan Dungkek dan Batang-Batang, tepatnya di desa Lapa Laok dan Lapa Daje, terutama pesisir pantai. Terus melebar ke desa Ngin-bungin, termasuk dekat makam Syekh Mahfudz -lebih dikenal Asta Gurang-Garing- keturunan Sunan Kudus pun terjual. Jangan tanya di Lombang hingga pantai Badur, sejak dulu tanah-tanah di sini diincar karena termasuk kawasan pariwisata.

Tak cukup pesisir, sekarang investor menyasar ke tanah “tegalan” hingga tanah pebukitan. Sekedar menyebut, Jangara (kecamatan Kota), Tenonan dan Lanjuk (kecamatan Manding), serta tanah-tanah di pebukitan desa Tamidung (kecamatan Batang-Batang) sudah ludes. Bahkan Gapura, kecamatan saya, sebagian tanah tegalan sudah terjual.

Kabar peruntukan tanah itu macam-macam. Ada yang mau dijadikan perkebunan kapas, peternakan, hingga mau dijadikan desa kota sebagaimana 3 desa di sebelah barat desa saya. Kabar ini bukan sekedar isapan jempol karena sudah masuk “road map”nya pemprop Jatim.

Yang paling diburu tanah-tanah di kewedanan Timur Daya meliputi kecamatan Gapura, Dungkek, Batang-Batang, dan Batu Putih. Kenapa? Karena Dungkek ke depan akan dijadikan pelabuhan nasional. Infrastrukturnya sekarang sudah mulai dibangun. Posisi pelabuhan Dungkek strategis karena akan membuka akses ke Indonesia bagian timur. Posisinya juga dekat dengan kawasan pariwisata; Badur, Lombang dan Pulau Giliyang, yang dikenal dengan oksigen. Badur, Lombang dan Pulau Giliyang- Dungkek akan dijadikan kawasan segi tiga emas pengembangan pariwisata bahari. Bahkan ke pulau Gili Labak nanti bisa diakses dari pelabuhan Dungkek. Inilah “gulanya” yang sekarang menarik “semut” dari mana-mana.

Saya meyakini di timur daya juga ada ladang migas. Di beberapa desa (tak perlu saya sebutkan) telah tertancap tanda yang dipasang Pertamina pada tahun 1970. Belum lagi di perairan pulau Giiyang dan Sepudi/Raas besar kemungkinan ada ladang migasnya. Kalau di perairan Sepudi-Raas dalam setahun ini sudah dieksploitasi oleh perusahaan Hasky yang sahamnya, kabarnya,  milik China dan keluarga mantan Presiden.

Di pulau Giliyang, ada lapangan Heli yang baru dibangun awal tahun 2015. Saya menyempatkan diri ke sana melihat langsung lapangan Heli di sela-sela monitoring kegiatan Masa Pengabdian Santri (MPS), pada bulan Juni 2015. Menurut aparat desa, lapangan Heli itu milik petinggi militer di Jakarta. Pertanyaan sederhana saya, bagaimana mungkin di sebuah Pulau kecil ada lapangan Heli, milik petinggi militer lagi,  jika di pulau itu tidak ada “apa-apanya”?

Saya menduga, isu pulau Giliyang memiliki oksigen terbaik noner 2 di dunia sekedar ingin menutupi kekayaan sumberdaya alam di bawah permukaan lautnya. Taruhlah betul oksigen pulau itu bagus sehingga infrastruktur ke pulau itu sudah dibangun karena dicanangkan sebagai pulau “wisata kesehatan”, tetapi pariwisata hanya “sasaran antara”.

Tetapi saya meyakini, seiring pariwisata makin berkembang, detik itu pula tanah-tanah di Sumenep akan beralih kepemilikan, dari pak “Surahwi” ke “pak” kapitalis sejati. Apalagi dalam rentang 15 tahun terakhir jumlah orang-orang desa yang merantau terus meningkat. Sekedar data mentah, jumlah penduduk desa Gapurana Talango yang merantau ke Jakarta sebanyak 1.500 jiwa. Ini diketahui ketika ada Pilkades, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya sejumlah itu, karena ada di Jakarta. Ini baru satu desa. Bisa dibayangkan berapa jumlah perantau asal Sumenep, apalagi jumlahnya dipastikan terus meningkat.

Apa makna fakta di atas? Berarti makin banyak orang Madura yang meninggalkan sawahnya, ladangnya, dan lautnya. Wah, makin banyak sawah dan ladang tak tergarap. Jadi, para pemodal, investor, atau apapun namanya pasti senang melihat ini. Menarik didiskusikan, banyaknya orang Madura yang diaspora kebetulan, alamiah, atau by design? Wallahu A’lam.

Secara budaya, orang Madura memiliki tradisi “tana sangkolan” (tanah warisan). Tana sangkolan bukan sekedar warisan benda sebagaimana emas misalnya. Bagi orang Madura, tana sangkolan bermakna sakral. Di samping dimaknai sebagai ruang yang mempertautkan yang hidup dengan leluhurnya, tana sangkolan akan mengundang “laknat” jika dijual sembarangan tanpa ada alasan yang dibenarkan dari sudut kebudayaan Madura. Kalau pun tanah itu dijual, biasanya akan dijual pada keluarga terdekatnya. Suatu saat jika mampu, tanah itu akan dibeli lagi oleh pemiliknya.
Tapi itu dulu. Saat ini tanah sudah dilucuti sakralitasnya, sepenuhnya dianggap benda yang bisa dipertukarmilikkan. Perubahan alam pikir orang Madura sejak Suramadu dioperasikan memang luar biasa. Termasuk pandangan terhadap tanah juga berubah.

Soal ini sepertinya tak mungkin menunggu penyelesaian pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya menjadi penadah dari kebijakan pemerintah pusat dan provinsi plus pemodal. Maka, rakyatlah yang harus berjuang sendiri. Ideologi “ajaga tana, ajaga nak poto” (menjaga tanah, menjaga anak cucu) harus digelorakan, jika orang Madura tidak mau menjadi kuli didaerahnya sendiri. Belum lagi konflik yang biasanya megiringi persoalan ini, jika membaca kasus-kasus serupa di daerah lain, benar-benar mengerikan. Saatnya bergerak!

Matorsakaangkong
Pulau Garam l 14 Desember l 2015