HALAQOH FIQH SUMBER DAYA ALAM DI PESANTREN BUNTET
Indonesia merupakan negara yanga kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Berbagai hasil laut maupun bumi sangat melimpah-ruah. Dua pertiga perairan Indonesia mengandung kekayaan perikanan, terumbu karang, tambang, dan mineral. Sepertiga yang lain yang merupakan daratan mengandung lahan yang subur untuk berbagai macam pertanian dan perkebunan. Indonesia pun memiliki kekaayaan tambang dan mineral yang sangat luar biasa. Kekayaan SDA ini sesungguhnya merupakan modal dan potensi yang menjanjikan bila diolah secara baik.
Konsekuensi logis dari adanya potensi SDA yang melimpah tersebut adalah terjaminnya kesejahteraan bangsa. Namun, pada realitanya Indonesia menjadi negara yang masih tergolong tertinggal dan semakin terpuruk. Berdasarkan data statistik nasional, lebih dari 28 juta orang hidup dalam garis kemiskinan. Mengapa demikian? Kemanakah kekayaan SDA? Benarkah Indonesia memiliki semua itu?
Indonesia yang merupakan negara yang memiliki basis ekonomi agraris sampai saat ini belum bisa mengatur harga beras dan hasil pertanian lain secara mandiri. Kekayaan laut yang melimpah pun sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu potensi pertambangan yang dimiliki hanya dinikmati oleh korporasi asing yang bercokol dimana-mana. Jika demikian, kedaulatan negeri khatulistiwa ini terhadap SDA sendiri masih dipertanyakan. Seolah-olah revolusi dan reformasi hanya sebatas euforia dan sekedar melengkapi catatan sejarah saja.
Beberapa fenomena sosial menjadi bukti bahwa sampai saat ini kedaulatan bangsa dalam persoalan tata kelola SDA yang ada masih disetir oleh kepentingan asing. Mulai dari kasus PT Freeport, PT Newmont dan Rio Tinto serta masih banyak lagi investor asing yang bertengger di Indonesia dan mengeruk kekayaan alam kita. Para Investor inilah yang kemudian mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan yang tak terhitung julmlahnya. Padahal pajak yang diperoleh pemerintah hanya satu persen saja dibanding keuntungan inverstor. Ironisnya, pengeluaran perizinan Kuasa Tambang (KT) diobralkan begitu saja oleh pemerintah Indonesia.
Sampai saat ini, pemerintah Indonesia masih mengidolakan eksploitasi tambang dan pajak investor sebagai sumber kesejahteraan bangsa. Meskipun faktanya, sudah berpuluh tahun para investor asing bergentayangan di tanah Indonesia, kesejahteraan masih menjadi fatamorgana. Belum lagi krisis energi dan lingkungan yang selalu mengintai keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Demikian itu diperparah oleh konflik dan kejahatan korporasi yang kerap menimpa masyarakat sekitar industri.
Industri-industri yang berdiri mengangkang di atas tanah air ini selalu menimbulkan permasalahanyang kompleks, terutama berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Misalnya, pembuangan limbah PLTU di Kecamatan Mundu Cirebon dan PLTU di Paiton Probolinggo telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan membunuh ekosistem laut disekitarnya. Kini pesisir pantai Mundu dan Paiton berubah warna menjadi kehitaman. Biota-biota laut seperti ikan, kepiting rajungan dan udang telah beralih ke tengah laut. Demikian itu berimbas pada kesejahteraan masyarakat nelayan setempat. Para nelayan harus berlayar lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan. Sudah tentu mereka harus menyiapkan dua kali lipat baiaya ongkos dan bekal melaut, sementara hasilnya masih tetap sama.
Selain PLTU, PT Freeport, misalnya, telah merugikan kelangsungan hidup masyarakat Papua. Pencemaran sumber air akibat limbah industri dan tumpahan minyak mentah. Hampir semua sumber air di sekitar PT Freeport tidak bisa lagi dikonsumsi karena mengandung kadar kimia yang berbahaya. Untuk mengekstraksi 1 gram emas saja membutuhkan 104 liter air. Hal itu sungguh merupakan pemborosan penggunaan air bersih selain juga limbahnya telah mencemari sumber air masyarakat Papua.
Lebih parahnya konflik dan kekerasan kemanusiaan menjadi isu yang dianggap ringan di Papua. Selain merusak lingkungan, banyak masyarakat Papua yang menjadi korban kekerasan saat mengemukakan perasaan dan penolakannya terhadap perusahaan. Lebih mirisnya yang melindungi investor tersebut adalah militer kita sendiri. Bahkan sering terjadi penembakan dan baku hantam terhadap masyarakat Papua. Konflik tersebut telah memakan ratusan korban jiwa masyarakat Papua. Sangat menyedihkan, pemerintah sendiri lebih menlindungi pihak lain dibanding masyarakat sendiri. Seiring semakin populernya konsep HAM, kondisi masyarakat Papua masih pada tahap berangan-angan terhadap kebebasan kemanusiaan.
Melihat banyaknya persoalan tata kelola SDA di Indonesia, di manakah Islam memosisikan persoalan tersebut. Bagaimanakah Islam merespon persoalan tata kelola SDA dan berbagai kasus lingkungan dan kemanuasiaan di atas. Demikian itu tentu membutuhkan kajian yang serius dan mendalam karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu persoalan tata kelola SDA dianggap sesuatu yang urjen dalam acara tahunan Haul Buntet Pesantren Cirebon. Untuk itu, Panitian Halaqah dalam rangka Haul Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren bekerjasama denganFront Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) memandang perlu untuk menyelenggarakan HALAQOH FIQH SUMBER DAYA ALAM (SDA).