KEMBALIKAN FUNGSI TUMPANG PITU SEBAGAI HUTAN LINDUNG, STOP TAMBANG EMAS TUMPANG PITU
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Sebagai sarjana kehutanan tentu anda tahu jika sebuah pulau harus memiliki minimal 30 persen hutan alami demi keseimbangan ekologi dan demi keberlanjutan hidup manusia di pulau tersebut.
Hutan diperlukan manusia (khususnya hutan Pulau Jawa) karena fungsi-fungsi yang diemban oleh hutan itu sendiri sebagai rumah terakhir satwa lindung berkembang biak, sebagai kawasan resapan air yang menjamin kesinambungan kebutuhan air penduduk P Jawa maupun kebutuhan pangan (karena pertanian pun membutuhkan keberlanjutan pasokan air).
Sayangnya, dari tahun ke tahun jumlah luasan hutan P. Jawa kian menyusut (jauh di bawah luasan ideal; 30 persen luas pulau). Pada tahun 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan P. Jawa tinggal 11 persen. Sementara pada Agustus tahun 2016, Departemen Hukum Lingkungan – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai penyelenggara “Forum Akademisi untuk Reposisi Tata Kelola Hutan Jawa” memiliki data jika luas hutan P. Jawa tinggal 3 juta hektar (kurang lebih 4,3 persen luasan pulau).
Dengan hutan seluas 4,3 persen dari luasan pulau, hutan P. Jawa harus menyangga kebutuhan pangan, air, dan oksigen kurang lebih 4.600 desa. Dengan luasan yang jauh di bawah angka ideal, menyusutnya hutan P. Jawa ini kian diperparah dengan diizinkannya alihfungsi hutan lindung, khususnya izin penambangan di hutan lindung. Menyusutnya luas hutan P. Jawa yang semestinya disikapi dengan membuat kebijakan konservasi hutan (minimal menjaga hutan yang tersisa agar tak kian menyusut) justru direspon dengan pemberian izin alihfungsi hutan lindung, utamanya izin penambangan di hutan P. Jawa.
Pemberian izin alihfungsi hutan di sebuah pulau yang tak memiliki luasan ideal hutan tentu akan memicu masalah dan bencana ekologis. Apalagi jika alihfungsi tersebut diterapkan di titik-titik P. Jawa yang sebelumnya secara akademis sudah dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Masalah dan bencana ekologis yang lahir karena adanya alihfungsi hutan yang sekaligus menjadi titik Kawasan Rawan Bencana (KRB) tersebut hari ini dapat kita lihat di Banyuwangi. Di kabupaten yang berada di ujung timur P. Jawa terdapat Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang sekaligus masuk kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejarah mencatat, pada tanggal 3 Juni 1994 kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya pernah luluh-lantak diterjang tsunami. Tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air serta tempat berkembiang-biaknya satwa lindung, Gunung Tumpang Pitu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat karena berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami. Sebagai benteng alami dari terjangan tsunami dan daya rusak musim angin barat, tentulah keberadaan Gunung Tumpang Pitu memiliki korelasi dengan aspek keselamatan warga. Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).
Meskipun Gunung Tumpang Pitu memiliki nilai penting bagi pertanian, pasokan air, dan keselamatan warga, rupanya pemerintah tetap berkeinginan untuk mengalihfungsi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Pemerintah justru membuat kebijakan yang berbenturan dengan keselamatan warga, padahal Salus Populi Suprema Lex (keselamatan warga adalah hukum tertinggi).
Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung. Larangan ini rupanya disiasati oleh penguasa dan korporasi dengan melakukan sejumlah langkah untuk menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP). Mengapa status HLGTP perlu diturunkan? Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena itu, dengan tujuan memuluskan rencana penambangan emas, maka status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu diturunkan dari hutan lindung menjadi hutan produksi
Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat oleh Dzulkifli Hasan telah tega mengalihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Lewat surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu sebesar 1.942 hektar.
Surat yang ditandatangani Menteri Kehutanan pada tanggal 19 November 2013 itu lahir karena Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 (sembilan ribu tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tiga dan dua pulu delapan per seratus hektar) terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tersebut tertuang secara tertulis dalam surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012
Usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas agar Menteri Kehutanan Dzulkifli Hasan mengalihfungsi Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi, selain untuk memuluskan pelaksanaan eksploitasi emas, juga untuk menguatkan surat keputusan Bupati Banyuwangi yang memberikan persetujuan Izin Usaha Pertambang (IUP) kepada PT. Bumi Suksesindo (PT BSI).
Pada tanggal 11 Juli 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menandatangani Surat Keputusan Bupati Nomor 188/555/KEP/429.011/2011 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Bumi Suksesindo.
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Rentetan kebijakan yang mengalihfungsi Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi untuk kemudian menjadi areal open pit minning (penambangan terbuka) ini telah banyak menuai masalah. Tak hanya memunculkan resiko lingkungan, tambang ini juga telah memiliki dampak sosial. Kohesi sosial warga di sekitar Tumpang Pitu juga terganggu.
Pada pertengahan tahun 2011, pernah terjadi benturan antara warga sekitar Tumpang Pitu dengan PT Indo Multi Niaga (IMN). IMN adalah perusahaan yang mengekplorasi emas di Tumpang Pitu sebelum Intrepid Minning dan PT. BSI. Benturan antara warga dengan IMN di tahun 2011 ini telah mengakibatkan terbakarnya mess karyawan serta sejumlah alat berat milik IMN. Warga pun ada yang tertembak, hingga menyebabkan Komnas HAM turun untuk melakukan investigasi.
Pada tahun 2015 pun terjadi benturan antara warga dengan perusahaan. Dua aksi massa dalam jumlah besar terjadi pada bulan Oktober dan bulan November 2015. Benturan antara warga dengan PT. BSI di bulan Oktober 2015 telah mengakibatkan penangkapan 3 orang warga. Sementara benturan yang lebih besar terjadi pada bulan November 2015. Benturan ini mengakibatkan 4 orang warga tertembak. Beberapa hari setelah tertembaknya warga, beberapa ibu memberi kesaksian bahwa dusun Pancer (Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi) telah menjadi dusun “tanpa lelaki”. Komnas HAM pun memiliki catatan investigatif atas benturan bulan November 2015 ini.
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Peledakan perdana di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu telah dilakukan PT BSI pada tanggal 27 April 2016. Tanpa menunggu lama, dampak dari peledakan ini telah muncul. Selang waktu 4 bulan, pada tanggal 13 Agustus 2016 telah terjadi banjir lumpur. Banjir lumpur ini tak hanya berpengaruh buruk terhadap denyut pariwisata pantai Pulau Merah (sebuah tempat wisata yang berada di kaki Gunung Tumpang Pitu), tetapi juga berdampak pada pertanian. Kurang lebih 300 hektar ladang jagung mengalami gagal panen.
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Munculnya bencana ekologis berupa banjir lumpur di Gunung Tumpang Pitu adalah tanda dini dari bencana ekologis lainnya yang bisa muncul di masa mendatang. Banjir lumpur ini ada indikator bahwa ada kebijakan yang salah di Tumpang Pitu (terutama kebijakan yang memberi peluang bagi masuknya tambang di Tumpang Pitu). sebagai sebuah alarm ekologis, banjir lumpur semestinya mendapat respon cepat dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, namun sayangnya respon cepat tersebut tak terjadi. Pada saat yang bersamaan, pada tanggal 13 Agustus 2016, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas lebih memilih menghadiri Banyuwangi Beach Jazz Festival. Perilaku tersebut juga masih berlanjut di tanggal 20 Agustus 2016. Pada tanggal 20 Agustus 2016, di saat banjir lumpur Pulau Merah belum beres, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas masih memilih menghadiri pertunjukan Jazz Gunung Bromo 2016.
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Adalah wajar bila warga ingin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dengan tambang emas Tumpang Pitu, karena banjir lumpur yang mendera kawasan pantai Pulau Merah dan sekitar berasal dari areal tambang Tumpang Pitu. keingintahuan warga ini normal karena bersangkutan dengan keselamatan warga, dan begitu dekatnya lokasi tambang tersebut dengan pemukiman. Tambang tersebut hanya berjarak 3 km dari rumah warga.
Sayangnya, keingintahuan warga terhadap apa yang terjadi dengan tambang milik PT. BSI itu dihalangi. Warga yang hendak memasuki areal tambang untuk mencari tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi justru dilarang oleh petugas keamanan PT. BSI dengan alasan tambang ini sudah ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas).
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Keberadaan tambang emas milik PT BSI di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ini tak hanya mengakibatkan bencana banjir lumpur, tetapi juga sangat beresiko bagi kehidupan kampung nelayan Dusun Pancer (Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi). Jarak dari Gunung Tumpang Pitu dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer kurang lebih 8,3 km. Sementara Jarak (calon) kolam penampungan limbah tambang ke TPI Pancer kurang lebih 6,7 km. Dan, perlu bapak ketahui, banjir lumpur tersebut juga telah menyebabkan nelayan Pancer kesulitan melaut.
Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,
Berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan di atas, maka kami meminta kepada anda selaku Presiden Repubik Indonesia untuk :
1. Menginstruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengembalikan fungsi Tumpang Pitu dari hutan produksi menjadi hutan lindung.
2. Menginstruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 tentang Perubahan Fungsi antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Menjadi Hutan Produksi Tetap Yang Terletak di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur seluas 1.942 hektar (seribu sembilan ratus empat puluh dua) hektar.
3. Menginstruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat Izin Prinsip Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. S.317/Menhut – VII/ 2014 tanggal 25 Juli 2014.
4. Menginstruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat Izin Prinsip Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. SK.812/Menhut-II/IPPKH/2014 tanggal 25 September 2014
5. Menginstruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat Izin Prinsip Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) no. 18/1/IPPKH/PMDN/2016 tanggal 29 Februari 2016.
6. Menginstruksi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencabut penetapan Tumpang Pitu sebagai Objek Vital Nasional dengan cara menncabut SK Menteri KESDM No 631k/30/MEM/2016 tanggal 16 Februari 2016.
7. Menginstruksi Bupati Banyuwangi untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 188/555/KEP/429.011/2011 tanggal 11 Juli 2012 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Bumi Suksesindo.
8. Menginstruksi Bupati Banyuwangi untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 188/930/kep/429.011/2012 tanggal 10 Desember 2012 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Damai Suksesindo.
Demikian permintaan kami. Semoga Bapak Presiden Jokowi yang terhormat berkenan menginstruksi menteri, kepala daerah, serta pejabat terkait untuk mencabut perizinan apapun yang terkait dengan aktivitas tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu.
Banyuwangi. 22 Agustus 2016
Hormat kami,
Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BaFFEL),
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA),
Pusat Studi Hukum HAM Fakuktas Hukum Unair,
Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korda Jawa Timur,
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).