Browse By

KESEJAHTERAAN DARI TAMBANG APAKAH MITOS? BPS PUN TAK BISA JELASKAN

Banyuwangi

Siaran Pers
Forum Komunikasi Mahasiswa dan Masyarakat (ForkoMM) Banyuwangi
————–

Jika memang tambang menyejahterakan, maka logikanya semakin banyak tambang semakin sejahtera. Namun kenyataanya, bukan itu yang terjadi. Analisis terhadap jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) justru mengatakan sebaliknya. Jika keberadaan 1 (satu) IUP menggambarkan keberadaan 1 (satu) tambang, maka jumlah IUP yang kian banyak justru tak menggambarkan membesarnya penerimaan. Semakin banyak IUP, justru penerimaan semakin kecil. Hal ini diungkap Hendra Try Ardianto, lulusan pasca-sarjana Fisip UGM, dalam acara Ngopi dan Diskusi Hukum Negara dan Mitos Pembangunan (18/02/07).

Pada acara yang sekaligus membedah buku “Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan”, Hendra—yang juga penulis buku yang dibedah—menjelaskan, “Di tahun 2016, ada fenoma yang tidak bisa dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Fenoma itu adalah semakin banyak IUP dikeluarkan, justru semakin kecil penerimaan. Data dan temuan ini juga telah terkonfirmasi oleh Kooordinasi dan Superivisi Pertambangan Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) KPK,” papar Hendra.

Keadaan ini, menurut lelaki kelahiran Tuban, Jawa Timur itu, kian diperparah dengan fakta tidak adanya itikad perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi pasca-tambang. “Dari semua IUP yang lahir, 90 % pemilik IUP tersebut tidak membayar biaya reklamasi tambang. Jika dikalkulasi, keengganan pemilik IUP membayar biaya reklamasi pasca-tambang, telah membuat negara rugi sebesar 23 Trilyun,” kata penulis yang menjadikan konflik antara PT Semen Indonesia dengan Masyarakat Kendeng sebagai bahan kajian bukunya.

Terganggunya konsumsi air bagi warga, juga jadi temuan lain yang menunjukkan betapa tidak adanya hubungan antara tambang dengan kesejahteraan. “Kalau mengacu pada kasus konflik semen di Rembang, pabrik semen sangatlah rakus air. Penggunaan air oleh pabrik semen selama 5,5 jam setara dengan penggunaan air sehari seluruh warga Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang,” ujarnya.

Selain terancamnya kebutuhan air warga, hal lain yang menunjukkan bahwa tambang justru mengancam kesejahteraan warga adalah hilangnya semangat saling berbagi. “Di banyak tempat, kehadiran tambang justru menggerus semangat berbagi antar warga. Tambang justru menggiring masyarakat sekitar tambang justru makin individualistis,” ungkap Hendra.

Tidak nyambung-nya keberadaan tambang dengan kesejahteraan juga dikuak Irwan Kurniawan, pembicara lain dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas 17 Agustus 1945 (PSLH Untag) Banyuwangi. Dalam acara yang berlangsung di Nidom Coffee Station itu, Irwan mengambil contoh beberapa tempat termasuk Banyuwangi. Irwan berpendapat, daerah-daerah yang mengeksploitasi tambang, justru jadi daerah yang tidak sejahtera.

“Daerah yang dekat dengan tempat produksi harusnya harga produknya jadi murah, tapi rasio ini tidak jalan untuk tambang. Di daerah agraris, rasio seperti ini jalan, misalnya di daerah penghasil kopi, maka kopi akan murah. Tapi tidak demikian dengan tambang. Batu bara itu digunakan untuk listrik, tapi di daerah penghasil batu bara justru malah banyak desa yang kesulitan listrik. Banyuwangi itu punya pangkalan pengemasan semen, tapi harga semen tidak murah. Jadi tidak ada hubungan antara tambang dan kesejahteraan. Bahkan di beberapa negara, tambang itu justru disebut sebagai curse (kutukan),” jlentreh Irwan.

Cerita tentang tidak connect-nya tambang dengan kesejahteraan ini juga diiyakan Sukarno, warga Desa Pesanggaran, Banyuwangi yang rumahnya tak jauh dari tambang emas Tumpang Pitu. “Keberadaan tambang di Tumpang Pitu itu malah membuat jalan jadi hancur, kafe-kafe remang justru muncul, dan mulai ada pergeseran perilaku anak-anak muda. Pergeseran perilaku anak-anak muda inilah yang tidak dihitung sama Amdal,” kata Sukarno yang saat itu datang bersama beberapa warga Pulau Merah (sebuah destinasi wisata yang berada di kaki Tumpang Pitu).

Sukarno menuturkan, jika pun masyarakat Pesanggaran itu sejahtera, hal tersebut terjadi bukan karena adanya tambang. Menurutnya, masyarakat Pesanggaran itu sudah dari dulu punya kemandirian tanpa campur tangan pemerintah. “Banyak warga Pesanggaran yang bisa berangkat haji dari hasil buah naga yang mereka tanam,” ucap Sukarno menguatkan ceritanya.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Using, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Banyuwangi, Forum Komunikasi Mahasiswa dan Masyarakat (ForkoMM), dan Forbanyuwangi ini tak hanya menunjukkan betapa tidak berhubungannya tambang dengan kesejahteraan, tetapi juga menelanjangi fungsi dana Corporate Sosial Responbility (CSR) sebagai gratifikasi yang dilegalkan.

Dosen Hukum Tata Negara Untag Banyuwangi Demas Brian W. sebagai pembicara pembanding dalam acara yang bertempat di Desa Banjarsari, Glagah, Banyuwangi itu menjelaskan, jika CSR digelontorkan oleh perusahaan tambang bukan untuk kesejahteraan warga, tapi lebih sebagai upaya meredam sikap kritis warga.

Demas juga menengarai, dana CSR juga dimanfaatkan perusahaan tambang sebagai penjinak sikap kritis mahasiswa. “CSR akan menjelma jadi dana beasiswa bagi mahasiswa, yang tujuan sebenarnya agar mahasiswa tidak aksi,” kata Demas dengan nada mewanti-wanti.

Demas juga mengingatkan bahwa CSR juga akan digunakan perusahaan tambang untuk mengerdilkan sikap kritis perguruan tinggi. Jika hal tersebut terjadi, menurut Demas, maka CSR akan menjauhkan perguruan tinggi dari persoalan riil yang ada. “Akibatnya, ketika ada konflik, maka perguruan tinggi tidak lagi jadi bagian dari masyarakat. Kalau saat konflik terjadi, perguruan tinggi justru tidak jadi bagian dari masyarakat, maka perguruan tinggi akan jadi lembaga yang bermasturbasi terhadap ilmu pengetahuan,” tegas Demas.

——
Tim Reportase ForkoMM