Malam Penggalangan Dana Solidaritas Budaya Untuk Masyarakat Urutsewu
Oleh : Bosman Batubara
Konflik di wilayah Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) telah berlangsung sejak 1920, tanpa memeroleh perhatian masyarakat luas. Pada 1932 pemerintah kolonial Belanda mengadakan klangsiran tanah yang membagi tanah berdasarkan nilai ekonomisnya, dengan tujuan akhir mengenakan pajak terhadap tanah warga. Penjajah Belanda mengklaim tanah milik masyarakat ± 150—200 m dari garis pantai. Sejak itulah kenyamanan penduduk Urutsewu mulai terusik dan perlawanan mulai muncul.
Pada zaman pendudukan Jepang, area ini dipakai sebagai lokasi latihan militer Jepang. Sesudah Indonesia merdeka, masyarakat Urutsewu kembali bisa memiliki tanah mereka. Namun sesudah pembantaian kaum komunis dan para pendukung Soekarno oleh Rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru, tanah mereka kembali dirampas oleh rezim dengan dalih sebagai tempat latihan menembak.
Sesudah reformasi 1998, pihak militer mulai mengklaim pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 km dan selebar 500 meter dari bibir pantai sebagai milik mereka. Faktanya, menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah, tidak ada tanah milik Hankam atau TNI di Urutsewu. Klaim ini makin menjadi-jadi setelah pada 2007, klaim tanah TNI bukan lagi 500 meter dari bibir pantai, tapi “1000 meter!” Pelebaran/perluasan klaim tersebut memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan pathok “radius 1000 m”, dan pasca pencabutan muncul ancaman dari Panglima Kodam IV Diponegoro. Aksi perampasan tanah oleh Kodam Diponegoro ini rupanya dilatarbelakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan ganti rugi tanah dalam pembangunan Jalan Lintas Selatan dan eksplorasi tambang pasir besi.
Puncak dari tindakan sepihak ini adalah terjadinya peristiwa penembakan warga Urutsewu oleh pihak TNI pada 16 April 2011. Akibat peristiwa ini, 6 petani dikriminalisasi, 13 orang luka-luka (6 di antaranya terkena peluru karet tentara), 12 sepeda motor dirusak, serta handphone, handycam, dan data digital dirampak paksa. Sejak itu eskalasi konflik di Urutsewu terus naik. Para petani yang dirampas tanahnya dilanda ketakutan untuk menuntut haknya. Rasa aman dan bayangan masa depan cerah lenyap. Justru ancaman kekerasan terus-menerus membayangi kehidupan sehari-hari mereka. Pada akhir 2013 sampai sekarang (Maret 2014), TNI AD melakukan pemagaran sepihak terhadap tanah yang dipakai petani Urutsewu.
Dari rentetan peristiwa yang terjadi di Urutsewu, dapat disebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Urutsewu dalam berbagai bentuk. Pertama, pelanggaran atas hak atas kepastian hukum tentang status tanah, peruntukan, dan penguasaannya. Kedua, adanya pelanggaran HAM terhadap hak warga berupa hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari ketakutan, serta hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi.
Dengan latarbelakang itu berbagai kelompok seni, aktivis sosial, dan intelektual yang tergabung dalam “SOLIDARITAS BUDAYA UNTUK MASYARAKAT URUTSEWU” bekerja erat dengan masyarakat Urutsewu melakukan konsolidasi guna menegaskan hak kepemilikan tanah mereka yang dirampas oleh TNI. Kepemilikan tanah oleh petani, penggunaan tanah petani, pentingnya berogranisasi, dan mempertahankan hak mendapatkan hasil panen serta keamanan dalam menggarap lahan, atau secara umum dapat kita sebut sebagai “kedaulatan petani terhadap tanahnya,” harus tetap ditegaskan. Dan sebagai dukungan pada tuntutan “jadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan pariwisata” kami akan menggelar “Arak-Arakan Budaya Urutsewu” yang akan digelar pada 16 April 2014 sebagai puncak peringatan 3 tahun penembakan Masyarakat Urutsewu. Kegiatan Budaya ini merupakan usaha kultural untuk terus mengingatkan sekaligus menguatkan keberanian warga Urutsewu dan masyarakat luas untuk mewujudkan kedaulatan atas tanah yang telah menjadi hak milik mereka sejak lama!
Jadi, kami menuntut:
1]Jadikan Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata
2]Tegakkan kedaulatan petani Urutsewu
3]Hentikan pemagaran tanah warga
4]Usut tuntas penembakan 16 April 2011
5]Gubernur Ganjar Pranowo agar hadir pada peringatan 16 April 2014 pukul 12.00 WIB, sebagai bukti kepedulian terhadap ketidakadilan yang terjadi.
Untuk melancarkan kegiatan tersebut, mulai 22-24 Maret 2014 kawan-kawan yang tergabung dalam Aliansi “Solidaritas Budaya Untuk Masyarakat Urutsewu akan mengadakan Malam Penggalangan Dana di ALUN-ALUN KIDUL dan Titik Nol Kilometer, Yogyakarta. Acara malam penggalangan dana ini akan dimeriahkan dengan tari-tarian, teater, art performance, pembacaan cerpen dan puisi, dan melukis dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan ini. Dengan ini pula kami mengundang kawan-kawan yang meyakini bahwa seni lahir dari konteks masyarakatnya dan bahwa kesenian bisa menjadi media bagi gerakan sosial untuk hadir dalam malam penggalangan dana dan kerja kesenian yang langsung turun ke masyarakat. Sumbangan juga bisa dikirim ke Nomor Rekening untuk penggalangan dana Solidaritas Budya untuk masyarakat Urutsewu atas nama Rekening:
Muhammad Imam Abdul Azis
BANK BRI
No rekening: 002901074298502.
Jadwal Acara:
Sabtu dan Senin 22,24 Maret 2014 ( Alun-alun selatan Yogyakarta; 20.00 – selesai WIB )
Minggu, 23 Maret 2014 (Titik Nol KM Malioboro Yogykarta; 20.00- selesai WIB)
Aliansi:
Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Urutsewu Bersatu (USB), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), Sanggar Rupa Seni Rangka Tulang, Teater 42, Sanggar Nusantara, Mantra Merah Putih, Yayasan Desantara, Etnohistori, Komunitas Wayang Sampah Sanggar Lereng Kendeng, Gerakan Literasi Indonesia, Teater GERAK STAINU Kebumen.
Kontak: Angga Palsewa Putra (+6285799020167) dan Sunu Chavez (081225619086)