Predator Fun Park: Bukti Ketertundukan pemerintah Kota Batu Kepada Logika Pasar
Oleh Hayyik Ali MM (Wakil Koordinator Eksternal Malang Corruption Watch)
Pada Agustus 2015, Pemkot Batu meresmikan wahana wisata baru di Kota Batu, Predator Fun Park (Taman Buaya) dengan sangat meriah. Kalau hanya dilihat sekilas memang tidak ada yang salah. Namun, ketika ditelisik lebih jauh apa yang dilakukan oleh Pemkot Batu tersebut pada dasarnya menyimpan persoalan hukum dan moral-etik yang cukup pelik. Apa saja persoalannya? Nanti akan kami uraikan satu persatu, sehingga rakyat bisa menilai dari sudut pandang yang berbeda.
Selama ini, rakyat telah decekoki mitos bahwa investiasi wisata yang didukung penuh oleh Pemkot Batu tersebut dapat mendongkrak pendapatan daerah, menyejahterakan masyarakat, dan mencerdaskan publik. Pemkot Batu bahkan menganggap bahwa para investor itu telah membantu beban kerja pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran. Dalam berbagai kesempatan, hal itu terus diulang-ulang oleh mereka. Mereka percaya bahwa kebohongan besar yang terus diulang-ulang dengan sendirinya akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sehingga, publik tidak banyak kemudian yang mencoba mempertanyakan lebih jauh akan keabsahan omongan tersebut. Mayoritas dari kita kemudian menerima begitu saja pembangunan demi pembangunan wahana wisata sebagai sesuatu yang niscaya dan menguntungkan.
Kalaupun ada suara-suara yang keberatan, tidak sepakat, dan terganggu hanyalah suara-suara pinggiran yang tidak benar-benar tampil dan menohok untuk mematahkan logika pembangunan Indsutri Wisata Kota Batu. Karena hal itulah, tulisan ini lahir sebagai ikhtiar sederhana untuk menggambarkan sisi yang berbeda dari apa yang acap diwacanakan oleh Pemerintah Kota Batu, investor, dan para centengnya. Biarkan ia mengalir dari peri-peri dan pada akhirnya akan bermuara pada ceruk yang semestinya.
Ada beberapa poin yang ingin kami kemukakan agar diketahui publik dan sebagai bahan permenungan dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap operasi Industri Wisata yang tengah dilangsungkan di Kota Batu. Khususnya, dalam konteks Predator Fun Park (Taman Buaya). Selain itu, poin-poin yang ingin kami sampaikan ini agar dijadikan rekomendasi bagi kebijakan Pemkot Batu yang berpihak pada rakyat dan menghormati tata aturan yang ada.
Pertama, pembangunan Predator Fun Park (Taman Buaya) diduga kuat tidak melalui prosedur berdasarkan aturan yang ada. Sampai pada saat peresmian, proses perijinan terkait Predator Fun Park kami duga belum lah ada sama sekali. Mereka baru pada tahap mengurus peruntukan Tata Ruang sebagai dasar perijinan terkait. Hal ini diperkuat dengan surat jawaban dari Badan Penanaman Modal, Nomor 503/692/422.206/2015 tanggal 25 Nopember 2015 yang mengatakan ; “saat ini predator fun park sedang mengurus peruntukan tata ruang sebagai dasar perijinan terkait.” Padahal peresmian dilakukan pada bulan Agustus 2015. Adapaun perijinan terkait itu adalah; ijin prinsip, ijin lokasi, KRK (Keterangan Rencana Kota), AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), Andalin (Analisis Dampak Lalu Lintas), IMB (Izin Mendirikan Bangunan), HO (Ijin Gangguan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan TDUP (Tanda Daftar Usaha Pariwisata).
Dengan begitu, seharusnya Pemkot Batu bertindak tegas dengan memberikan sanksi administratif maupun membawa pada wilayah pidana. Berdasarkan UU No 28 Tahun 2002 tentang bangunan pasal 44 menerangkan bahwa, “Setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.” Sanksi administratif yang patut diberikan misalnya adalah penghentian sementara atau bisa sampai pada perintah pembongkaran bangunan gedung.
Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 45, mereka juga dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan yang telah dibangun. Dalam konteks ini, Predator Fun Park juga berpotensi merugikan perekonomian warga yang memiliki lahan di sekitarnya. Karenanya, mereka berpotensi untuk dikenai sanksi pidana, yaitu penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.
Kedua, pembangunan Predator Fun Park (Taman Buaya) terindikasi tidak menghormati prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dimana hal ini bisa kita lihat dengan dugaan belum adanya dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sampai wahana wisata itu diresmikan. Padahal, AMDAL merupakan salah satu dokumen penting yang perlu untuk ada terlebih dahulu sebelum menentukan boleh tidaknya sebuah pembangunan. Selain itu, AMDAL juga merupakan ruang partisipasi masyarakat untuk memberi saran, masukan, serta tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Belum adanya AMDAL juga berarti belum terbitnya izin lingkungan yang mendasari bahwa satu usaha dan/atau kegiatan akan mematuhi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bagaimanapun, AMDAL merupakan prasyarat utama sebelum terbitnya izin lingkungan. Sehingga, berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jika Predator Fun Park nantinya memang terbukti belum mengurus AMDAL pada saat peresmian dan bahkan sampai sekarang ini, maka ia layak untuk dipidana sebagaimana pasal 109 yang mengatakan bahwa, “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” Selain itu, pejabat Pemkot Batu juga layak untuk dipidanakan sebagaimana bunyi Pasal 111 (1), “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Ketiga, Pemkot Batu terlihat tunduk pada logika pasar. Mereka kelihatan betul lebih berpihak pada takaran-takaran akumulasi kapital tinimbang pertimbangan-pertimbangan hukum, lingkungan, etika pejabat publik, serta kebutuhan objektif masyarakat. Hal ini dengan gamblang mereka pertontonkan dengan meresmikan Predator Fun Park yang diduga sama sekali belum memenuhi prosedur-prosedur perijinan. Tidak mungkin Wali Kota Batu tidak mengetahui proses perizinan yang belum diselesaikan oleh Predator Fun Park. Karena bagaimanapun, perihal Permohonan Rekomendasi Peruntukan lahan untuk Pembangunan Predator Fun Park pasti melalui BAPPEDA dan diketahui oleh Wali Kota.
Jika diruntut lebih jauh, kita akan mendapatkan satu kesimpulan bahwa Pemkot Batu hari ini telah condong terhadap pemodal tertentu. Predator Fun Park didirikan oleh PT. Bakti Batu Sejahtera yang merupakan anak perusahaan dari PT. Jatim Park Group yang selama 4 tahun terakhir menurut audit BPK telah menunggak pajak sebesar 24 Milyar. (Lihat tabel 1.1) Apalagi, pada 2012 Wali Kota Batu malah memberikan keringanan pajak kepada Jatim Park 1 sebesar 2,2 M (lihat tabel 1.2). Ada anak perusahaan penunggak pajak besar dan tidak mengindahkan prosedur perijinan, tapi diperlakukan istimewa dengan peresmian besar-besaran. Logika mana kemudian yang tidak menaruh tanya, ada apa sebenarnya dibalik perilaku pejabat kita yang seperti ini?
Keempat, Predator Fun Park berdiri diatas lahan sewa dengan harga yang sangat murah. Berdasarkan dokumen Perjanjian Sewa Menyewa dibawah Notaris, Novitasari Dian Phra Harini, SE, SH, Mkn, diketahui bahwa PT. Bakti Batu Sejahtera menyewa tanah kas Desa Tlekung seluas 2,7 Hektar dengan harga 40 juta pertahun. Dimana pembayaran dilakukan selama tiga tahun sekali dengan lama sewa dua belas tahun. Dapat kita bayangkan betapa murahnya 2,7 hektar lahan subur pertanian hanya dihargai 40 Juta setiap tahunnya. Apalagi, dalam dokumen sewa tidak disebutkan mengenai perbaikan lahan pasca sewa menjadi tanggung jawab si investor. Dengan begitu, maka biaya perbaikan lahan pasca sewa akan membebani anggaran desa yang sebenarnya milik warga disana.
Selain itu, perlu juga kita lihat angka sewa sebesar 40 juta dan kenaikan 10% bagi lahan seluas 2,7 hektar itu muncul dari mana. Jangan bilang angka itu muncul dari bisikan goib. Seharusnya, ada tim penilai harga (tim appraisal) yang terlebih dahulu menaksir harga disana dengan pertimbangan-pertimbangan yang cukup ketat. Sehingga, kutipan harga yang muncul dari tim penilai inilah yang kemudian digunakan untuk bahan musyawarah sewa antara penyewa dengan pihak desa. Bukan serta merta ada kesepakatan harga yang bisa dibilang sangat menguntungkan salah satu pihak.
Tanah dan Ekspansi Kapital
Di luar pertimbangan-pertimbangan administratif-prosedural serta legal-formal, ada pertimbangan lain yang sebenarnya lebih subtil untuk kita jadikan alat penilaian. Dimana hal ini berkaitan langsung dengan nalar kebijakan yang diambil oleh pemerintah, dalam konteks ini adalah Pemerintah Kota Batu dan Pemerintah Desa Tlekung. Jika Nalarnya saja sudah salah, maka pilihan praktiknya juga akan keliru.
Melalui tulisannya di harian Kompas (18/02/216) dengan judul “Desa, Tanah, dan Pasar,”Erani Yustica, ekonom Indonesia, mengajukan kritik atas pembangunan desa yang hari ini tengah terjadi. Alih-alih memperkaya desa, pembangunan desa hari ini diduga mengarah pada proses pemerataan kemiskinan di desa. Hal ini didasarkan pada logika pembangunan yang membiarkan penguasaan faktor produksi berada di tangan pemodal, baik lokal maupun asing. Meskipun penguasaan faktor produksi itu dibayangkan akan menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang/jasa, menyumbang Pendapatan Asli Daerah, dsb. Namun, kata Erani, kenyataannya penguasaan faktor produksi pada segelintir orang ( misal : pemodal) merupakan faktor paling menentukan bagi penciptaan ketimpangan yang akut.
Berbagai macam kebijakan yang coba dilakukan untuk mengatasi jurang ketimpangan tersebut tampak loyo dan tidak bertenaga. Bahkan, menurut Erani dalam 10 tahun terakhir ketimpangan melaju begitu cepat tanpa bisa diperlambat. Kecuali, ada paket kebijakan yang mengembalikan kedaulatan faktor produksi (misal : tanah) kepada rakyat. Utamanya adalah rakyat yang tunamodal dan tunakisma. Bukan malah, Negara membiarkan atau memfasilitasi penguasaan faktor produksi besar-besaran kepada segelintir orang, para pemodal kakap misalnya. Dalam konteks penguasaan 2,7 hektar tanah kas Desa Tlekung Kota Batu oleh salah satu Bos Lokal, baik pemerintah desa maupun kota terlihat jelas memberikan kemudahan. Prosedur hukum dan administratif diterabas tanpa ada sanksi. Jangan kan memberi sanksi, Pemkot malah meresmikan dengan selebrasi yang meriah.
Berpindahnya penguasaan tanah secara besar-besaran kepada para pemodal inilah yang pernah disebut oleh Marx sebagai proses enclosure, yaitu proses pemisahan produser dengan alat produksinya. Dalam konteks ini berarti petani lah yang dipisahkan atau dijauhkan dari tanah-tanah yang menjadi faktor produksi mereka. Tanah-tanah yang berciri sumberdaya bersama atau kepemilikan kolektif (misal: tanah kas desa) diserahkan untuk menjadi dan atau dikuasai oleh pribadi-pribadi tertentu dengan batasan yang tegas. Lalu, pribadi yang dengan kekuasaan kapitalnya dengan leluasa mengonversi tanah pertanian menjadi area industri dengan hanya mempertimbangkan akumulasi kapital semata.
Untuk wilayah agraris seperti halnya Kota Batu, penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya merupakan aspek yang sangat penting. Karenanya, pemerintah harus memikirkan kebijakan apapun yang dalam hal itu bisa berakibat pada pemisahan rakyat dengan tanahnya. Jangan sampai kebijakan yang dipilih pemerintah ternyata mengarah pada proses enclosure, yang menurut Noer Fauzi dalam tulisan Mohammad Shibuddin, “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan, Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan,” para petani yang semula memiliki hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan dari hubungan tersebut secara brutal, dan lantas dibiarkan lepas sebagai tenaga kerja (proletariat) bebas. Sebut saja masyarakat Batu yang dulunya bisa makmur dengan pertanian, lambat laun akan berpindah menjadi buruh industri wisata yang rentan.
Ekspansi kapital yang menusuk sampai di desa dan memisahkan rakyat dengan tanahnya ini secara tidak langsung telah memarginalisasi rakyat setempat. Massimo de Angelis dalam tulisannya, “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation,” mengatakan “… there is no enclosure of commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.” Jadi, pada saat yang bersamaan, proses enclosure yang dilakukan oleh pemodal dan difasilitasi oleh pemerintah telah merusak tata kehidupan bersama.
Sekilas, industri wisata yang telah memisahkan petani Kota Batu dengan tanahnya tampak menguntungkan dan baik-baik saja. Ada lapangan kerja baru, percepatan perputaran uang, dan potensi PAD disana. Namun, pada dasarnya kebijakan tersebut menyimpan bara kerentanan bagi ketangguhan dan ketahanan hidup rakyat Kota Batu. Mohammad Shibuddin, dalam bukunya “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan, Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan,” menyajikan empat kerentanan sosial-ekonomi (social-ekonomi insecurity) yang terjadi akibat ketimpangan relasi-relasi sosial (misalnya : relasi agraria) yang pada gilirannya dapat menentukan kemakmuran dan kemiskinan. Yaitu, kerentanan yang terkait penguasaan tanah dan sumberdaya lainnya (land and resource tenure), kerentanan yang berkaitan dengan relasi-relasi produksi, kerentanan dalam konteks keberlanjutan alam, dan kerentanan dalam kaitannya dengan relasi-relasi kuasa dalam isu organisasi sosial dan kepemimpinan.
Ketimpangan serta pemisahan penguasaan tanah juga diperkuat oleh tulisan di harian Kompas edisi 28 Januari 2016, dengan judul “Pemodal Kuasai Lahan Desa,” yang meminjam argumen Sri Palupi, Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, mengatakan bahwa Indonesia sama sekali tidak tegas mengenai monopoli penguasaan dan pemilikan lahan. Hal ini mengakibatkan distribusi lahan menjadi timpang. Dan pada gilirannya, tegas dia, bahwa kondisi ini tidak hanya memiskinkan, tapi juga memperlebar ketimpangan ekonomi. Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa ribuan hektar lahan desa kini dikuasai para pemodal. Tulisan itu mengacu pada data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Sedangkan Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga adalah minimal 2 hektar.
Terakhir, menggunakan kepekaan ekonomi politik (sense of political economy) mari kita menyibak relasi-relasi di Kota Batu yang mencipta ketimpangan. Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dengan penguasaan tanah 2,7 hektar di Tlekung Kota Batu ini? Siapa yang selalu diberi kemudahan akses dan fasilitas untuk mengekspansi kapitalnya di Kota Batu? Ada hubungan ekonomi-politik apa Si Wali Kota dengan SI Pemodal? Benarkah mereka menjadi satu jejaring oligarkis yang sama-sama mengamankan, mempercepat, dan memperluas konsentrasi kekayaan berada di tangan mereka? Mari kita sibak bersama.
Waallahu a’lamu bisshowaab.
tulisan ini dimuat ulang dari: http://mcw-malang.org/suara-kalimetro/predator-fun-park-bukti-ketertundukan-pemerintah-kota-batu-kepada-logika-pasar-bag-i dan http://mcw-malang.org/suara-kalimetro/predator-fun-park-bukti-ketertundukan-pemerintah-kota-batu-kepada-logika-pasar-bag-ii