Ekonomi global yang saat ini telah menemukan bentukya yang semakin konkret dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi tantangan yang tak kalah beratnya dengan situasi mencekam saat K. Hasyim Asy’ari bersama santrinya menggalang kekuatan dan menyerukan jihad untuk mengusir penjajah dari Tanah Air Indonesia. Pasalnya, mesin industrialisasi yang dimotori korporasi besar mulanya hanya berisik di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Sementara, masyarakat desa masih bekerja di sawah dan kebun dengan hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Lambat laun kota menjadi semakin padat. Ledakan urbanisasi tak terbendung dan menjadi pelumas bagi mesin industrialisasi. Orang-orang desa yang semula bekerja sebagai petani, karena adanya berbagai bentuk kebijakan yang tidak menguntungkan petani, terpaksa pindah ke kota dan menjadi buruh industri bagi dunia kapitalis. Ketakberpihakan terhadap petani ini misalnya, muncul dalam bentuk pencaplokan sumberdaya alam dari tangan para petani desa. Saat ini desa menjadi incaran mata belang para pemodal. Dengan bantuan teknologi, mereka mengintai titik-titik kekayaan Bumi dan menyusun berbagai tipu muslihat untuk mengelabui masyarakat, misalnya melalui perangkat undang-undang yang merupakan hasil perkawinan pengusaha dengan para penguasa.Tanah-tanah dikapling-kapling atas nama pembangunan, konservasi, dan penyediaan lapangan kerja. Namun, aslinya itu semua untuk kepentingan akumulasi kekayaan para kapitalis. Ujung-ujungnya, lapangan kerja yang dijanjikan bagi kaum dhuafa, hanyalah metamorfosa dari perbudakan klasik.
Perbudakan yang lebih sistematis muncul. Berhektar-hektar tanah di Sumenep, dan mungkin di kabupaten lain di Madura, khususnya sepanjang pantai utara Sumenep (Dungkek, Batang-Batang, Batu Putih) telah beralih tangan menjadi milik para pemodal besar. Perpindahan kepemilikan ini berlangsung dengan diperantarai calo birokrat dan beberapa bagian dari masyarakat sendiri.
Barangkali masih banyak orang yang bertanya mengapa tanah “rimba” yang dipadati pohon cemara, pohon nyamplong dan pohon lainnya yang identik dengan tumbuhan pinggir pantai tetiba jadi harta berharga yang menjadi incaran pemodal. Isu yang beredar saat ini, pantai utara Sumenep ini rencananya akan dijadikan sebagai pelabuhan internasional yang menghubungkan Madura dengan pulau-pulau lain di Indonesia dan negara-negara asia lainnya. Karena itu, peluang bisnis di sepanjang Pantai Dungkek, Batang-Batang, dan Batu Putih ini semakin memberikan harapan. Kesempatan ini rupanya yang ditangkap oleh para pemodal besar. Tanah-tanah pun mereka beli. Skenarionya, tanah-tanah yang dibeli para pemodal besar itu akan dijadikan sebagai tempat tambak dan budidaya ikan untuk diekspor ke luar negeri.
Hukum pasar berlaku. Semakin tinggi permintaan, maka semakin tinggi pula harga komoditas. Harga tanah yang awalnya sekitar 10 ribu per meter persegi, kini telah melonjak menjadi sekitar 100 ribu rupiah perpemeter persegi. Lantas, siapa yang tidak tergiur menjual tanah? Kebanyakan masyarakat pun begitu. Harga yang tinggi membuat mereka tidak berfikir dua kali untuk menjualnya. Tapi tidak pernah terpikir oleh mereka, atau oleh kita semua, apabila di tempat-tempat strategis yang menjanjikan peluang bisnis besar itu telah menjadi hak milik orang lain, milik korporasi besar, milik orang asing, kira-kira masyarakat lokal dengan pengetahuan dan kemampuan terbatas akan menjadi apa di sana? Silahkan dibayangkan dan dipikirkan baik-baik.
Namun, berhektar-hektar tanah telah beralih pemilik. Tidak ketinggalan letupan-letupan konflik antar masyarakat kecil, antara tetangga, antar saudara, yang pemicunya tiada lain adalah perbutan hak milik tanah. Konflik horizontal antar masyarakat kecil ini biasanya akan disusul dengan pembelian paksa dengan harga murah yang akan dilakukan oleh pemodal. Ancaman akan didapatkan siapa saja yang mempertahankan tanahnya. Ke depan, seperti yang banyak terjadi di tempat lain, apabila pemodal sudah beroperasi, maka rumah-rumah warga yang tersisa, atas nama pembangunan, ketertiban, dan alasan lainnya akan digusur. Belum lagi persoalan yang lain seperti limbah, kelayakan upah buruh, kesenjangan sosial, dan berbagai persoalan lingkungan yang tengah menanti.
Sumenep tinggal menunggu waktu apabila gerakan pemuda, NGO, termasuk para tokoh lumpuh dalam memutus jejaring pemodal dalam “menjarah” tanah masyarakat lokal. Oleh karenanya, diskusi yang akan diadakan ini adalah langkah awal dalam melakukan konsolidasi sosial, penyadaran massa akan persoalan agraria yang saat ini sedang mengintai warga Nahdliyin, dan penggalangan kekuatan dalam memutus tali rantai kapitalisme yang semakin parah terjadi di tanah kelahiran kita. Konsolidasi ini mengambil bentuk seminar pada 1 November 2015 di aula PC NU Sumenep, dengan berbagai peserta dari berbagai kelompok masyarakat. Para penyaji dalam acara ini adalah: 1)Muhammad Al Fayyadl (FNKSDA); 2)KH. Muhammad Shalahuddin (PP Annuqayah); dan 3)Kyai Abrori Mannan (DPRD Sumenep).