Aksi Kayuh Sepedah Tumpang Pitu, Melawan Perusakan, Melestarikan Alam (Bagian 1)
*Tim Media FNKSDA
Beranjak sejak tanggal 15 (02/20) pagi warga Desa Sumberagung, Banyuwangi bergegas menuju tenda perjuangan tolak tambang, hampir 20-30 orang bersiap untuk melakukan perjalanan panjang guna menemui Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur di Surabaya. Mereka akan melakukan kampanye berbentuk aksi mengayuh sepedah, sembari singgah di titik-titik jaringan untuk menyambung silaturahmi dan menguatkan solidaritas tolak tambang emas di Tumpang Pitu. Rute sejauh kurang lebih 300 km akan mereka tempuh dalam waktu lima hari, terhitung juga waktu singgah pada beberapa titik simpul perjungan. Seperti Jember, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, Porong dan Surabaya.
Selepas mereka berkumpul di tenda, beberapa orang pun mulai menyiapkan perlengkapan dan perbekalan selama kayuh sepeda. Mulai dari kesiapan sepedah, kendaraan pengiring dan aneka kebutuhan penunjang selama aksi kayuh sepedah ini. Aksi ini pun tidak mutlak monopoli kaum laki-laki, namun juga ada perempuan dan anak-anak yang turut serta menyuarakan aksi tolak tambang. Tak luput juga kawan-kawan solidaritas perjuangan yang menyisihkan waktunya untuk menemani perjalanan “suci” warga dalam menyuarakan kelestarian.
Perlu diketahui, wilayah Selatan Pulau Jawa khususnya di Banyuwangi sedang terancam akibat alih fungsi ghaib hutan lindung untuk pertambangan. Wilayah bernama Tumpang Pitu kini sedang ditambang oleh PT. BSI yang merupakan anak usaha dari Merdeka Copper and Gold yang dikuasai oleh para pemodal yang bagian juga dari Oligarki, seperti Garibaldi Tohir, Edwin Soerjadjaja, Sakti Wahyu Trenggono, hingga tokoh besar, dari kalangan moderat ada Yenny Wahid yang kini digantikan oleh suaminya Dhohir Farisi, dari dunia militer ada tokoh intelejen sekaliber Hendropriyono beserta anaknya pernah menjadi petinggi perusahaan tersebut, hingga sosok Sandiaga Uno juga terlibat meski sudah mengaku telah menjual sahamnya. Artinya tambang emas ini merupakan kantung-kantung rezeki segelintir elite, sebagaimana telaah di dalam Oligarch-nya Jeffrey Winters, khususnya di bab pertama yang menjelaskan term dan filosofi oligarki.
PT. BSI sendiri menguasai sekitar 4.998,45 hektar, tidak hanya BSI saja, di wilayah sekitar Tumpang Pitu juga akan dihabisi oleh anak perusahaan Merdeka Cooper lainnya, yakni PT. DSI dengan luasan IUP seluas 6.558,46 hektar. Tidak hanya itu saja, luasan alokasi wilayah pertambangan di Banyuwangi juga difasilitasi oleh Perda RTRW Nomor 08 Tahun 2012 (2012-2032). Jika dicermati di dalam pasal 61 secara gamblang menjelaskan bahwa Pemkab Banyuwangi secara brutal telah menetapkan area pertambangan, baik tambang emas, perak, dan tembaga dengan luasan alokasi sekitar 22.600 hektar, alokasi ruang tersebut lokasinya berada di Kecamatan Pesanggaran dan Kecamatan Siliragung. Artinya tidak hanya Sumberagung yang terancam, tetapi dua kecamatan dalam posisi rentan.
Melawan Hujan Melampaui Tingginya Gumitir
Setelah semuanya selesai dan dirasa sudah siap sedia, mereka pun mulai mengayuh sepedahnya melalui rute pertama yakni Banyuwangi-Jember. Pada rute kali ini para massa aksi kayuh sepedah akan dihadapkan dengan medan jalan yang sulit. Jalan dari Banyuwangi ke Jember jika normal bisa ditempuh 2-3 jam dengan sepedah motor dengan medan menanjak nan curam, akan coba dilewati oleh sepedah kayuh. Medan dari Banyuwangi menuju Jember akan terasa curam kala memasuki daerah Kalibaru sampai menuju gunung Gumitir yang terkenal curam. Ketinggian Gumitir sendiri berada di angka 620 mdpl (2.034 kaki), tentu akan butuh kekuatan ekstra untuk melewatinya.
“Tadi beberapa ibu-ibu yang sampai ke Kalibaru berhenti sejenak. Tanjakannya cukup tinggi dan situasinya hujan. Beberapa orang tadi akhirnya bergantian sama bapak-bapak dan pemuda mahasiswa. Ibu-ibu yang istirahat tadi naik pickup. Ini semua demi berjumpa dengan Ibu Gubernur agar mendengarkan kita, bahwa tambang harus ditutup, demi anak cucu.” Terang Suparti, salah seorang pejuang lingkungan.
Medan tinggi nan curam dipenuhi dengan tikungan tajam bukan menjadi halangan bagi warga pejuang lingkungan ini, mereka yang tulus memperjuangkan tanah airnya dengan gigih melewati Gumitir, walau saat itu hujan dengan intensitas sedang. Kondisi lembab, suhu yang dingin disertai gravitasi yang berat, warga tetap mengayuh sepedahnya hingga berhasil melampaui Gumitir. Pasca itu mereka sampai di wilayah gerbang Jember, yakni Kecamatan Silo. Sesampainya di sana mereka disambut kawan-kawan solidaritas dari Jember dan beberapa warga tolak tambang Silo.
Perlu diketahui nasib di Silo hampir serupa dengan Tumpang Pitu, namun warga di sana dengan gigih melawan dan menolak pertambangan emas, sampai mampu menarik Bupati Jember kala itu untuk berpihak pada mereka. Sehingga pertambangan emas di Silo berhasil dicegah, tidak hanya itu saja warga Silo juga masih berjuang, khususnya untuk menghalau tambang emas ilegal di wilayah mereka.
“Kami dari Jember bersolidaritas dengan kawan-kawan Tumpang Pitu, karena kami menganggap bahwa mudhorotnya tambang itu lebih besar dari manfaatnya. Serta tata ruang yang semrawut, seperti penetapan kawasan pertambangan di Selatan Jawa akan semakin menyusahkan rakyat. Tentu, ini akan menjadi perjuangan bersama untuk jihad bi’ah, sebagaimana dawuhnya mbah yai di Muktamar NU Tahun 1994 di Cipasung tentang pentingnya melestarikan alam.” Jelas Fajar salah seorang kader FNKSDA Jember yang turut menyambut warga Tumpang Pitu.
Setelah itu mereka bersama-sama menuju Talangsari untuk menginap di Ponpes Ash-Shiddiqi Putri (Ashri) di Jalan KH Shiddiq yang dipimpin oleh Gus Syaif, beliau merupakan dzurriyah dari KH. Ahmad Shiddiq salah seorang pejuang dari Nahdlatul Ulama.
“Saya memfasilitasi mereka transit di sini sebagai bentuk solidaritas saya sebagai sesama rakyat. Mereka butuh tempat istirahat. Asal tidak anarkis.” Sambutan Gus Syaif kala menerima rombongan pejuang lingkungan.
Sesampainya di Pondok mereka beramah tamah dan beristirahat untuk memulihkan tenaganya, agar esok bisa melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Iringan Shalawat Badar dalam Perjalanan Warga
صَـلا َةُ اللهِ
سَـلا
َمُ
اللهِ
عَـلَى
طـهَ
رَسُـوْلِ
اللهِ
صَـلا
َةُ
اللهِ
سَـلا
َمُ
اللهِ
عَـلَى
يـس
حَبِيْـبِ
اللهِ
Sepenggal lirik dari sholawat badar yang menghiasai perjalanan perjuangan warga Tumpang Pitu selama perjalanan menuju Surabaya. Sholawat ini berkumandang beberapa kali saat perjalanan menuju Jember, sebagai salah satu nilai penyemangat dan do’a untuk melawan kedzaliman tata kelola ruang.
اِلهِـى سَـلِّـمِ اْلا
ُمـَّة
مِـنَ
اْلافـَاتِ
وَالنِّـقْـمَةَ
وَمِنْ
هَـمٍ
وَمِنْ
غُـمَّـةٍ
بِاَ
هْـلِ
الْبَـدْرِ
يـَا
اَللهُ
Pada bagian akhir dalam sholawat badar merupakan do’a yang dikumandangkan para pejuang dalam perang untuk kebajikan. Arti dalam lirik tersebut yakni, “Ya Allah, semoga Engkau menyelamatkan ummat, dari bencana dan siksa. Dan dari susah dan kesulitan, karena berkahnya ahli badar ya Allah.” Sebuah pesan dan harapan tentang kegigihan perjuangan, untuk menjalankan perintah Allah agar diberikan kekuatan untuk melindungi buminya, dari kerakusan segelintir orang yang akan merusak kelestarian ciptaan-Nya.
Pada konteks ini sholawat badar merupakan doa dan pujian agar Allah senantiasa bersama pejuang tolak tambang yang tulus berjuang. Dan memisahkan para pejuang tolak tambang yang tulus dengan mereka yang bermain-main, bersama ormas intoleran, atau mereka yang melakukan pertambang ilegal dan suka menyakiti alam. Tentu, perjuangan tidak mudah, banyak fitnah dan manipulasi digencarkan. Banyak pula perpecahan yang diciptakan untuk melemahkan gerakan.
Setelah selesai rehat, warga pejuang akan melanjutkan perjalanan ke Lumajang untuk singgah ke kawan-kawan solidaritas tolak tambang. Di Lumajang mereka akan bertempat di PCNU Lumajang, sebagai solidaritas terhadap perjuangan warga Tumpang Pitu melawan pertambangan. Kita tentu masih ingat terkait pengorbanan almarhum Salim Kancil dan Pak Tosan yang mati-matian melawan tambang pasir di Selok Awar-awar Lumajang.