Aksi Kayuh Sepedah Tumpang Pitu, Melawan Perusakan, Melestarikan Alam (Bagian 2)
Tim Media FNKSDA
Selepas dari Jember, warga aksi kayuh sepeda bergegas menuju Lumajang, rumah di mana dahulu almarhum Salim Kancil dan juga Pak Tosan yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari serbuan tambang pasir. Rumah di mana para pegiat konservasi seperti Laskar Hijau yang gigih melestarikan Gunung Lemongan, bahkan berhasil mengusir geotermal. Di Lumajang para pejuang lingkungan ini disambut oleh berbagai elemen, mereka dengan ramah di PCNU Lumajang.
Selepas melepaskan penat dan lelah, karena menghabiskan energi yang cukup besar saat mengayuh sepedah, dari Banyuwangi, Jember hingga Lumajang. Warga aksi kayuh kemudian berkumpul bersama kawan jaringan, yakni solidaritas tolak tambang emas. Di sana mereka bertukar pengalaman, serta bercengkrama mengapa penting menolak tambang di tengah kerusakan sosial ekologis yang luas. Jawa sendiri sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, wilayah selatan pulau jawa berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1802 K/30/MEM/2018 tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus, ditetapkan sebagai wilayah yang bebas lepas dieksploitasi.
Kondisi ini semakin miris jika mengingat dalam catatan Peta Sumber dan Bahaya Gempa di Indonesia yang disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional pada tahun 2017, menyatakan bahwa wilayah Selatan Jawa berpotensi gempa jika mengacu pada hulu megathrust di Selatan Jawa, seperti yang pernah terjadi di Banyuwangi pada tahun 1994 dan Pangandaran di tahun 2006. Hal ini diakibatkan oleh segmen zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang memanjang dari Sumtra hingga Sumba.
Melihat kondisi inilah maka aksi-aksi demokratik untuk menyelamatkan wilayah Selatan Jawa, khususnya yang dilakukan oleh warga Sumberagung menjadi sangat signifikan. Meskipun klaim tambang hanya mengurang “300 san meter,” namun secara ekosistem akan menganggu wilayah vegetasi dan ketahanan lingkungan sekitar. Klaim pertambangan aman, masih dipertanyakan jika melihat kerawanan wilayah dan tata ekosistem. Sehingga aksi-aksi yang dilakukan oleh warga Sumberagung menjadi relevan dan signifikan.
Mengayuh dan Menyelamatkan Hidup
Di Lumajang warga berdiskusi dengan kawan jaringan yang lainnya, di sana mereka mengungkapan keresahannya betapa khawatirnya jika gunung di sekitar hidup mereka hilang. Pada kondisi ini sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Mad, salah seorang nelayan Pancer, ia meresahkan bahwa gunung sebagai tetenger (tanda) dari nelayan hilang, maka akan terjadi kekacauan navigasi.
“Gunung Tumpang Pitu itu mas, sebagai tetenger nelayan, kalau hilang itu bisa gawat. Bagaimana nasib nelayan kelak.” Tandas Pak Mad.
Pak Mad juga menyatakan resah kala gunung itu ditambang, karena pasalnya akan berdampak pada nelayan. Karena menurutnya dampak itu secara langsung muncul, misal banjir lumpur tempo hari itu sudah menghancurkan rumah ikan.
“Saya ini bukan orang pintar pak, kalau orang pintar itu selalu tidak mau jujur. Sebelumnya ikan itu banyak, kini menurun khususnya setelah banjir lumpur. Sebelumnya tidak pernah ada banjir lumpur,” jelas Pak Mad.
Selain itu, problem lainnya serupa juga yang diungkapkan oleh Pak Mad. Bu Paini salah seorang warga tolak tambang, mengisahkan keresahannya. Menurutnya sebelum ada tambang mereka hidup rukun, setelah ada tambang konflik silih berganti menghadiri kehidupan warga.
“Begini, sebelum ada tambang kita ini rukun. Setelah ada tambang konflik terus. Mereka awalnya tani, lalu ada tambang berebut menjadi pekerja. Ada yang tolak tambang, tapi tidak tulus, tujuannya untuk tambang,” cetus Paini.
Paini kemudian menambahkan, kami aksi kayuh sepeda ini ingin bertemu Ibu Gubernur. Kalau saya sebagai perempuan resah, sebagai ibu juga resah. Sesama perempuan mungkin gubernur akan tahu masalah kami.
“Bu Khofifah itu sama seperti saya, merupakan seorang ibu. Besar harapannya mengerti perjuangan kami, jika tambang ini mengancam kerukunan dan keberagaman di wilayah hidup kami,” tambah Paini.
Jihad Bi’ah Wajib dalam Konteks Tumpang Pitu
Di Banyuwangi pada tahun 2019 pernah digelar bahtsul masail oleh elemen Nahdlatul Ulama. Hal itu digelar untuk menyikapi pertambangan yang akan dijalakan oleh PT. IMN sebelum Merdeka Cooper Gold. Dalam forum tersebut menyatakan, bahwa adanya keterancaman pada sektor alam turut mempengaruhi sektor lain, sampai pada hubungan antar manusia. Kondisi itu dapat menciptakan pertumpahan darah, kebencian dan disintegrasi di masyarakat, secara dasar merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan semangat Islam.
Dalam Bahtsul Masail menurut kaidah fiqh, “Darul mafasid muqoddamun ala jalbil masholeh” yang berarti membuang suatu kemudhorotan (keburukan) itu lebih baik dari mengambil manfaat (kebaikan). Sejalan dengan disampaikan oleh Usman dari FNKSDA dan ForBanyuwangi, ia mengatakan bahwa bahtsul masail di Banyuwangi menyoroti secara hukum, bahwa tambang emas khususnya akan memiliki mudhorot yang lebih besar daripada manfaat.
“Secara hukum begini, dengan diperkuatnya argumen bahwa Pembangunan industri harus merealisasikan tujuan syariat, khususnya bagaimana perlindungan jiwa dan alam, harus berpihak pada maslahah ammah (kepentingan umum). Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan maslahah ammah, dengan kata lain hal-hal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, dapat dikategorikan sebagai perbuatan munkar atau maksiat yang diancam dengan hukuman (jinayat),” jelas Usman.
Sejalan dengan itu, menurut Mahmuda dari FNKSDA, bahwa Nahdlatul Ulama pada dasarnya berkomitmen pada pelestarian lingkungan. Hal ini menurutnya, tergambar jelas dalam muktamar ke 29 pada tanggal 4 1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung Tasikmalaya.
“Di dalam NU sendiri merujuk hasil muktamar Cipasung, jika ada umat yang mencemarkan lingkungan, baik di udara, air maupun tanah, lalu menimbulkan dlarar (kerusakan), maka haram hukumnya, karena termasuk perbuatan kriminal (jinayat).” Tandas Mahmudah.
Menurutnya hal ini sangat erat kaitannya dengan kemaslahatan, jika ada yang dirampas dan merugikan maka nilai maslaham itu hilang, seharisnya bentuk takwa kepada sang pencipta, kita harus menjaganya. Karena pada dasaenya merusak lingkungan, seperti baik penebangan hutan secara besar-besaran, alih fungsi hutan yang berakibat bencana, penghancuran gunung, privatisasi air, pencemaran lingkungan, khususnya yang mengancam mahkluk hidup merupakan perbuatan maksiat atau melanggar hukum islam itu sendiri.
Jika merujuk pada hasil Muktamar Cipasung, sebagai berikut:
- Warga NU dan seluruh elemen masyarakat WAJIB menolak dan melawan para perusak hutan, perusak lingkungan hidup, perusak kawasan pemukiman, para pengembang teknologi, pengembanga bahan kimia dan uranium yang membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, para penyebar penyakit sosial, pihak-pihak yang melakukan monopoli ekonomi dan menyebabkan kemiskinan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negera.
- Warga NU dan seluruh elemen masyarakat WAJIB memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’ah) dengan mengembangkan gerakan menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan sungai, pantai, lingkungan, perumahan dan kawasan umum, membersihkan kawasan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber-sumber air dan daerah resapan air, memperbaiki kawasan pertambangan dan lingkungan di sekitarannya, membantu melakukan penanggulangan bencana.
Pada konteks ini maka perjuangan di Tumpang Pitu dan sekitarnya, berupa aksi kayuh sepedah dan bertahan di kantor Gubernur Jawa Timur, merupakan bentuk perjuangan berbasis jihad bi’ah. Karena mencegah kerusakan yang lebih luas, demi kemaslahatan umat. Sehingga, perlu didukung lebih luas. Menjadi gerakan yang berupaya untuk menjaga ciptaan Allah.