Browse By

Ancaman Tambang Emas Tumpang Pitu Bagi Kemaslahatan Umat

Wahyu Eka Setyawan (FNKSDA & Walhi Jatim)

Setiap saat Banyuwangi terasa mendung, seperti biasa sejuk sekali hawanya. Kota kecil yang mulai bergeliat, bersemarak, menjadi satu kota destinasi wisata baru. Pertumbuhan ekonomi mulai bergeliat naik harga-harga mulai merangkak juga. Hidup di Banyuwangi menawarkan sesuatu yang berbeda.

Jauh dari hiruk pikuk perkotaan sebagai penyokong ekonomi, berjejer destinasi wisata yang siap untuk dikunjungi. Mulai dari wisata pantai hingga gunung. Cukup familiar dengan Ijen, Teluk Ijo atau Sukamade, yang menjadi tujuan utama para wisatawan ketika libur tiba.

Belum lagi wisata budaya yang menjadi sesuatu yang patut dirasakan. Wisata suku Osing, tarian tradisional semacam gandrung dan aneka budaya yang khas. Keberagaman Banyuwangi menjadi hal yang layak dicermati, berbagai suku tumpah ruah di tanah Blambangan. Mulai dari Jawa, Madura, Bali, Bugis dan tentu saja osing. Dari diversitas inilah muncul keunikan, ciri khas dari kebudayaan di Banyuwangi.

Keberagaman lain juga dapat dilihat dari tanah Blambangan yaitu toleransi dalam beragama. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan kepercayaan tradisional lainnya. Saling membaur menjadi satu, menguatkan sebuah society dalam pluralitas. Banyuwangi kemudian dari beberapa aspek, menjadi tempat yang cukup menarik untuk dihuni atau sekedar daftar tempat untuk dikunjungi.

Namun modernisasi mulai menggiring opini yang indah-indah. Melalui jargon investasi untuk semua, serta dalih kesejahteraan sosial, kini tengah mengancam keberagaman yang mulia tersebut. Wisata yang mulai masif menjadi industri, hingga bentuk eksploitasi berlebihan atas alam dan manusia, tengah mengancam aspek sosial, budaya dan ekologis di Banyuwangi.

Bukan hanya soal budaya, agama dan ruang hidup, tetapi sendi-sendi penting kehidupan tampaknya mulai terancam. Baru-baru ini salah satu aset penting Banyuwangi, Tumpang Pitu akan dihancurkan oleh industri ekstraktif, yang berfokus pada pengambilan mineral emas. Akibatnya segregasi mulai tampak ke permukaan, baik hubungan inter-komunitas, agama, budaya dan alam itu sendiri. Dan yang terbaru mulai marak eksklusi secara halus, melalu represi hingga kriminalisasi. Mereka rakyat yang melawan tambang, mendapatkan represi baik yang sifatnya intimidasi, bahkan dalam bentuk brutal seperti kriminalisasi.

Melalui izin peralihan hutan lindung menjadi produksi pada tahun 2013, dengan diterbitkannya surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013, terkait pengalihfungsian hutan lindung ke hutan produksi. Dilanjutkan dengan pemberian konsesi tambang, yang berlokasi di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012 dan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/930/KEP/429.011/2012. Lalu, tertanggal 16 Februari 2016 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat keputusan nomor 651 K/30/MEM/2016, menetapkan area sekitar Tumpang Pitu yang akan ditambang dengan status Objek Vital Nasional (OBVITNAS).

Terancamnya Keberlangsungan Kehidupan di Tumpang Pitu

Perubahan perlahan namun cukup signifikan, kini mulai mengancam keberagaman, serta persaudaraan. Selain budaya, sektor ekonomi mikro yang dekat dengan warga tengah terancam keberlanjutannya. Keputusan gegabah dari pemerintah membuka investasi besar-besaran, telah mengancam suatu wilayah dalam jangka waktu dekat. Keputusan memberikan izin konsesi pada Merdeka Cooper Gold, yang seluruh areanya meliputi bekas kawasan lindung Tumpang Pitu merupakan sinyalemen “kiamat kecil”.

Konsesi IUP Merdeka Cooper Gold dipecah menjadi dua, melalui PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI). Lokasi IUP BSI dan DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Propinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha, dan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. IUP OP milik BSI akan berlaku sampai dengan 25 Januari 2030 dan IUP Eksplorasi milik DSI berlaku sampai dengan 25 Januari 2016. DSI sendiri menargetkan mendapatkan izin eksploitasi pada tahun 2018 (Affandi, 2016).

Bahkan luasan konsesi tambang dapat lebih luas lagi, hingga berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Pembukaan investasi melalui program pembangunan nasional, baik yang ada di dalam Renstra ESDM, Paket Kebijakan Ekonomi, serta program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada dasarnya telah membuka ladang penderitaan baru dalam bingkai “kesejahteraan sosial”.

Ketika Tumpang Pitu hancur, selain gunung dan hutan, juga mengancam apa yang ada di sekitarnya. Seperti Pulau merah, Pantai Pancer dan segala keanekaragaman hayati yang ada. Mungkin karang-karang yang indah, ikan-ikan yang variatif bahkan hewan khas dan langka seperti penyu akan terancam keberadaannya. Ini membuktikan jika satu kawasan Tumpang Pitu memiliki banyak sekali relasi, terutama berhubungan dengan kehidupan di sekitarnya.

Kehancuran Tumpang Pitu akan berdampak pada kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Dapat dimaknai bahwa secara tidak langsung beberapa titik wilayah yang saling menghatkan satu sama lainnya, akan terancam oleh keberadaan tambang. Selain itu faktor ekonomi akan menjadi ancaman yang cukup serius. Warga yang menggantungkan hidup pada kearifan lokal dan alam akan terganggu. Petani, nelayan, sektor pariwisata terutama sektor menengah kebawah, diprediksi menjadi sektor vital yang akan hilang jika pertambangan ini dilanjutkan.

Kearifan lokal dalam konteks budaya juga akan mengalami perubahan, tidak lagi berorientasi pada adat, yang memanusiakan alam dan manusia. Secara hakikat akan menjadi suatu pergeseran budaya masyarakat, layaknya budaya kolektif seperti gotong royong, akan runtuh menjadi corak masyarakat individualis. Sehingga hubungan antar komunitas menjadi rawan, seperti rentan terjadi gesekan serta konflik horizontal, yang mengakibatkan hilangnya keberagaman.

Akibat nafsu kapital ekstraktif dan oligarki politik, mengancam keberagaman itu sendiri. Semenstinya budaya yang awalnya sakral serta mempunyai nilai, kini terancam akan bergeser menjadi budaya yang menitikberatkan pada komoditas pasar. Tentu ini akan menimbulkan penindasan serta penghisapan baru di beberapa sektor vital. Sentimen agama juga akan muncul, seiring keberpihakan oknum agama tertentu pada penghancuran lingkungan hidup, jelas akan beririsan dengan keyakinan agama lain yang mempunyai ritual berkaitan dengan alam (Tumpang Pitu).

Banyuwangi sebagai salah satu daerah dengan keberagamannya, kini terancam oleh ekspansi kapital. Bagaimana bisa citra yang ditampakkan seolah-olah humanis, namun realitasnya sangat jauh sekali. Warga disekitar Tumpang Pitu sudah bertahun-tahun berjihad melawan tambang, guna menyelamatkan keberagaman justru dihajar oleh mereka yang punya kuasa. Di satu sisi mereka gembar-gembor keberagaman, amar ma’ruf nahi munkar, namun melupakan menolong sesama manusia bahkan mahkluk lain seperti pohon dan hewan.

Puncaknya ialah beberapa warga Desa Sumberagung di kriminalisasi, baik soal perusakan, penghadangan, hingga yang terbaru dituduh tanpa bukti menyebarkan komunisme. Ideologi yang menjadi momok orde baru dan kaum-kaum konservatif-militeristik. Ideologi yang dengan mudahnya dituduhkan hanya karena simbol serta atribut. Ideologi yang dituduh sebagai dajjal, iblis, yang senantiasa menghantui. Bahkan dengan mudahnya menuduh seseorang komunis dan teroris, hanya karena ingin mempertahankan tanah dan alamnya.

Menegakkan Kelestarian Lingkungan adalah Amanah dan Kewajiban

Terancamnya sektor alam yang mempengaruhi sektor lain, hingga hubungan antar manusia, menciptakan pertumpahan darah, kebencian dan disintegrasi masyarakat, merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan Islam. Apalagi berdasarkan catatan sejarah forum Bahtsul Masail Banyuwangi, pada tahun 2009 Nahdlatul Ulama(NU) Banyuwangi pernah sepakat mengharamkan tambang sebagai hasil rekomendasi dari forum Bahtsul Masail. Pengharaman tersebut Berdasar pada kaidah fiqh yang menyebutkan darul mafasid muqoddamun ala jalbil masholeh, yang berarti membuang kejelekan itu lebih baik dari mengambil kebaikan. Secara hukum diperkuat dengan argumen bahwa, pembangunan suatu industri harus merealisasikan tujuan syariat, yakni berpihak pada maslahah ammah (kepentingan umum).

Sebaliknya, tindakan yang bertolak belakang dengan maslahah ammah, dengan kata lain mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, dikategorikan sebagai perbuatan mungkar atau maksiat yang diancam dengan hukuman. Selanjutnya merujuk pada muktamar ke 29 pada tanggal 4 Desember1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung Tasikmalaya. Menetapkan jika umat yang mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar (kerusakan) maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan jinayat (kriminal). Hal ini sangat erat kaitannya dengan maslahah ammah, sebagai bentuk takdzim kepada Allah SWT, sebagai sang pencipta sekalian alam. Karena yang namanya merusak lingkungan, baik penebangan hutan, penghancuran gunung, privatisasi air, pencemaran lingkungan, terutama yang mengancam mahkluk hidup merupakan perbuatan munkar.

Argumentasi di atas diperkuat dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) Pada Tanggal 20–23 Juli 2007 di Jakarta. Tertulis di poin ke tiga dan empat, sebagai warga Nahdlatul Ulama harusnya memahami hal ini. Warga NU dan seluruh elemen masyarakat wajib menolak dan melawan para perusak hutan, perusak lingkungan hidup, perusak kawasan pemukiman, para pengembang teknologi, pengembangan bahan kimia dan uranium yang membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, para penyebar penyakit sosial, pihak-pihak yang melakukan monopoli ekonomi dan menyebabkan kemiskinan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negera.

Warga NU dan seluruh elemen masyarakat WAJIB memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’ah) dengan mengembangkan gerakan menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan sungai, pantai, lingkungan, perumahan dan kawasan umum, membersihkan kawasan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber-sumber air dan daerah resapan air, memperbaiki kawasan pertambangan dan lingkungan di sekitaranya, membantu melakukan penanggulangan bencana.

Melanjutkan perjuangan yang bersifat kemasyarakatan (jihad ijtimaiyah), mengembangkan ajaran moral, tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan I’tidal (konsisten) dalam melawan amar ma’ruf nahi munkar. Secara dasar organisasi sendiri Nahdlatul Ulama oleh Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu tujuannya ialah untuk membela kaum mustadh’afin. Dalam konteks ini dapat dikaitkan dengan petani, yang kini sedang terancam oleh banalnya investasi. Kiai Hasyim pernah menulis di Soeara Moeslimin Indonesia pada 17 Desember 1943 (19 Muharram 1363), beliau menuliskan:

Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarken.

Penutup

Perusakan gunung Tumpang Pitu merupakan hal yang dapat menimbulkan dlarar (kerusakan), oleh sebab itu haram hukumnya untuk dilakukan. Sebagaimana keputusan Bahtsul Masail pada tahun 2009 oleh NU Banyuwangi, merupakan keputusan yang sudah tepat. Melihat bahwa ulama-ulama terdahulu seperti Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Syaikh Arsyad Al-Banjari dan KH. Sahal Mahfudz, mengajarkan bagaimana pentingnya menjaga kesuburan tanah, kelestarian lingkungan dan membela kaum mustadh’afin.

Keberagaman dan kedamaian yang hilang tidak akan bisa tergantikan oleh emas. Pertanian terbukti bisa menyejahterahkan rakyatnya, bahkan laut dengan keanekaragamannya bisa menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. Kiai Sahal (1988), mengatakan:

Jika keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, bahkan seluruh aspek kehidupan manusia merupakan kunci kesejahteraan.

Pernyataan Kiai Sahal secara eksplisit dapat dimaknai jika hilangnya lingkungan hidup akan berdampak pada aspek kesejahteraan. Alam yang menghidupi manusia, sudah seharusnya dijaga dengan benar dan tidak dieksploitasi secara berlebihan. Pada dasarnya secara prinsipil, semua akan terjaga asal perilaku boros dihilangkan dan berpedoman hidup sederhana sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW.

Ibadah tidak hanya masalah transendensi antara manusia dengan Allah, namun juga memperjuangkan umat terkhusus untuk kaum mustadh’afin, terlebih Pak Tani, dari ancaman penindasan serta perilaku dzalim merupakan ibadah yang sesungguhnya. Sebagai penutup, saya mengutip perkataan KH. Said Aqil Sirodj, Ketua PBNU dan juga mubaligh yang penulis takdzimi, pada saat lawatan di Samarinda pada bulan Februari 2013.

“Agama tak bisa ditegakkan di ruang hampa tanpa tanah dan air, karena itulah mencintai agama berarti mencintai tanah dan air, kehilangan tanah berarti kehilangan agama dan sejarah.”

Wallahu Muwaffiq Illa Aqwamith Thoriq

Refrensi

KH. Hasyim Asy’ari. 1943. Keoetamaan Bertjojok Tanam dan bertani; Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjuran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Ke’adilan. Soeara Moeslimin Indonesia No 2 Tahun ke-2, 17 Desember 1943/19 Muharom 1363

Merah Johansyah Ismail. 2013. Ekologi Pesantren ala Syekh Arsyad Al-Banjari.

Muhammad Affandi. 2016. Banyuwangi Riwayatmu Kini.

Muhammadun. 2015. Muktamar 1994 dan Jihad Lingkungan Hidup.

Muhammad Nurul Huda. 2014. Tata Kelola SDA dan Muktamar NU di Cipasung 20 Tahun Lalu.

NUOnline. 2007. Taushiyah NU tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *