BENIH PERJUANGAN BERSEMI DI AMBAL RESMI: Darah Baru Gerakan Urutsewu
Oleh Widodo Sunu Nugroho
Setelah sekian lama dinanti, akhirnya muncul juga kesadaran masyarakat Ambal Resmi untuk berorganisasi dan bergerak bersama desa-desa lain di Urutsewu yang berjuang melawan ketidakadilan yang telah dialami bertahun-tahun. Entah sejak kapan mereka merencanakan, tapi yang jelas malam itu (Selasa, 9 September 2014) mereka, warga masyarakat yang sudah lelah merasakan penindasan, berkumpul di sebuah rumah sederhana untuk menyatukan sikap terhadap apa yang terjadi di desanya.
Ambal Resmi adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ambal, desa yang sangat beruntung karena mempunyai banyak keistimewaan dibanding desa-desa yang lain. Selain sebagai pusat kuliner “Sate Ambal” yang kondhang sampai kemana-mana, desa ini juga merupakan pusat wisata musiman lebaran dengan atraksi wisata pacuan kuda, pasar malam dan wisata pantai. Selain itu desa ini juga dikenal sebagai pusat kesenian tradisional, yaitu kethoprak dan wayang kulit, disamping juga merupakan situs sejarah karena merupakan bekas ibu kota Kadipaten Ambal.
“Kemakmuran” Ambal Resmi ternyata tidak secara otomatis membawa kesejahteraan bagi warganya, terbukti bahwa sebagian masyarakat yang jumlahnya cukup banyak yang hidup dengan cara bertani di kawasan pesisir merasa gelisah karena didzolimi oleh penguasa. Pemagaran yang telah dilakukan oleh TNI AD atas restu kepala desa, tidak saja melukai hati para petani, tapi juga menjadi ancaman yang serius karena sewaktu-waktu mereka bisa kehilangan lahan pertaniannya.
PEMAGARAN DI TANAH WARGA
Kurang lebih 6 bulan yang lalu, ketika TNI AD mensosialisasikan rencana pemagaran kawasan pesisir Urutsewu, masyarakat sudah menyampaikan penolakannya kepada kepala desa, akan tetapi diam-diam Kepala Desa Ambal Resmi, atas nama masyarakat, melayangkan surat “persetujuan bersyarat” kepada TNI AD, dan kemudian, ketika masyarakat mempertanyakan adanya kegiatan pemagaran di lahan-lahan mereka, dengan enteng Pak Kades menjawab “saya juga tidak tahu”.
Malam itu, ketika generasi tua dan muda berkumpul, terbukalah semua fakta tentang pemagaran dan tanah pesisir Urutsewu. Sebut saja Mbah Suto (75), dengan sangat meyakinkan beliau menceritakan bahwa dulu kepemilikan tanah masyarakat adalah sampai dengan pantai, terbukti bahwa akad jual beli pada waktu itu selalu menyebutkan bahwa batas sebelah selatan adalah banyuasin/pantai, “Rumiyin menawi sade siti nggih dumugi Banyuasin” tegasnya dengan berapi-api. Hal itu juga dibenarkan oleh Mbah Noyo (71) yang mengaku pernah melakukan transaksi jual beli tanah pesisir selatan dengan batas selatan laut.
Suasana diskusi malam itu begitu hangat meski angin yang menerobos jendela-jendela tak berdaun itu serasa menusuk tulang. Setelah generasi tua menyampaikan sejarah kepemilikan tanah dengan “bahasa dongeng,” generasi muda segera menimpali fakta yang mereka temukan seputar pemagaran. “Bagaimana mungkin pak lurah tidak tahu menahu tentang pemagaran jika beliau membuat surat persetujuan ini,” kata Thomas (nama samaran) seraya menunjukkan foto copy surat persetujuan pemagaran yang ditandatangani kades dan ketua BPD. “Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan?” tegasnya berapi-api, disambut kebingungan dari peserta rapat yang shock. Songsong agung yang dipundi-pundi dan diposisikan sebagai ratu adil itu ternyata telah mengkhianati mereka, rakyat yang memberinya tahta. Dan, celetuk salah seorang pemuda yang polos memecah kesunyian, “Lurah kan dipilih rakyat, jadi rakyat kan atasannya lurah, ya dia harus nurut sama rakyat.”
GERAK BERSEMI
Diskusi berlanjut dengan merumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menyikapi pemagaran. Apalagi didengar kabar bahwa di wilayah Kecamatan Mirit BPN telah memproses pengajuan sertifikasi tanah pesisir oleh TNI-AD.
Akhirnya, setelah diskusi panjang lebar dan ngalor ngidul diperoleh kesimpulan bahwa harus dibentuk organisasi di desa untuk mewadahi perjuangan dan segera merapatkan barisan dengan desa-desa lain di Urutsewu dalam wadah USB-FPPKS. Belajar dari sejarah perjuangan di Urutsewu, untuk menguatkan organisasi dan untuk menghilangkan ketergantungan pada seorang tokoh, maka organisasi dibentuk dengan menerapkan sistem kepemimpinan kolektif. Organisasi yang kemudian diberi nama GERAK BERSEMI (singkatan dari Gerakan Masyarakat Bersatu Membangun Ambal Resmi) ini dipimpin oleh dewan pimpinan yang berjumlah 3 orang. Dibentuk juga perangkat organisasi yang lain, yaitu sekretaris dan bendahara.
Agenda terdekat yang akan dilakukan organisasi ini adalah konsolidasi anggota, pengumpulan data dan informasi mengenai tanah pesisir selatan yang saat ini diklaim oleh TNI-AD sebagai “tanah Negara yang dikuasakan kepada TNI.” Di samping juga mengidentifikasi masalah-masalah lain yang dialami masyarakat dan penting untuk disikapi dan diselesaikan. Untuk itu telah dibentuk tim-tim kerja untuk masing-masing sub kegiatan.
Munculnya GERAK BERSEMI adalah bukti bahwa rakyatlah pemegang kebenaran, karena rakyat kecil ataupun tani kluthuk tidak akan mungkin bergerak jika tidak berpegang pada kebenaran dan benar-benar telah terinjak. Karena itu sudah saatnya pemerintah menunjukkan itikad baik untuk membela hak-hak rakyat, karena jika tidak maka hal ini akan menjadi bom waktu yang semakin lama daya ledaknya akan semakin besar dan dapat meledak sewaktu-waktu.