Front Nahdliyin Cetuskan Resolusi Jihad II
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNSKDA) mencetuskan gerakan “Resolusi Jihad Jilid II” demi mempertahankan Tanah Air dari rongrongan kapitalisme ekstraktif.
“Rongrongan ini luar biasa dan sangat merusak. Banyak keselamatan warga yang terancam akibat aktivitas yang tidak memperhatikan lingkungan,” kata koordinator (FNSKDA) Ubaidillah itu, di Universitas Hasyim Asy’ari Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Ahad.
Ia mengatakan, kapitalisme ekstraktif asing dan lokal yang datang ke Indonesia banyak menjalankan penguasaan dan perampasan sumber daya alam, sehingga terjadi banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum di masyarakat.
Pemerintah pun, kata dia, belum memiliki ketegasan dan tindakan yang nyata menghadapi sistem tersebut. Padahal, sudah ada aturan dan ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.
“Para pejuang (utamanya para ulama Nahdliyin) dulu telah menyerukan ‘jihad fi sabilillah’ saat melawan penjajah pada 1945. Saat ini, kami menyerukan jihad juga untuk melawan kapitalisme ekstraktif,” tegasnya.
Acara itu diikuti oleh sekitar 200 pemuda nahdliyin dari berbagai daerah di Indonesia. Acara itu diawali dengan presentasi tentang adanya masalah di masing-masing daerah, yang diikuti dengan pemberian rekomendasi yang ditujukan ke pemerintah, pengurus cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di masing-masing daerah, sampai ke Pengurus Besar NU (PBNU).
Sementara itu, peserta FNSKDA dari Kalimantan Timur Merah Johansyah Ismail mengatakan kondisi di daerahnya luar biasa memprihatinkan.
Ia mengatakan di daerah ini terdapat 15 izin penambangan di antaranya penambangan batu bara. Selain itu, juga terdapat areal perluasan perkebunan kelapa sawit, yang justru merusak lingkungan.
Ia menyebut, salah satu dampaknya adalah rusaknya situs di Kutai Lama, Kalimantan Timur. Daerah ini merupakan pintu masuk Islam pertama kali dan terdapat makam ulama penyebar Islam.
“Situs menjadi rusak akibat pertambangan tersebut. Selain itu, lahan pertanian juga berkurang akibat aktivitas itu,” kata Merah.
Pihaknya mengatakan, 70 persen warga yang tinggal di Kaltim adalah para petani. Jika mereka tidak diperhatikan, bukan tidak mungkin justru akan mengurangi produksi pertanian.
Ia menyambut baik acara ini, dan berharap ada pertemuan dengan skala lebih besar lainnya. Ia yakin, dengan upaya dan perjuangan, masyarakat juga semakin sadar tentang berbagai potensi sumber daya alam, dan pemerintah pun tegas mengelolanya.