Gaungan Umat Kristiani: Manifesto Kekristenan Menuju Keadilan Ekologis
Oleh: Ahmad Thariq
Judul: Dengarkan Jeritan Bumi: Respons Kristiani atas Krisis Keadilan Ekologis
Pengarang: Oikotree
Penerbit: Ultimus
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halam: 100 halaman
Harga: Rp. 40.000
Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas wacana keagamaan arus utama yang tak hentinya disibukkan dengan perseteruan seputar pengakuan identitas di alam demokrasi borjuis ini, sebuah pesan menjeritkan lengkingan pedih. Jeritan Ibu Bumi menyeru lubuk qalbu terdalam umat manusia, menuntut keniscayaan keadilan yang dijanjikan Tuhan kepada dirinya setalah dirampas secara brutal oleh hasrat buta penguasa dan korporat.
Bak sebuah oase menyejukkan, sebagai sebuah manifesto, buku Dengarkan Jeritan Bumi seperti masih menghadirkan asa akan terwujudnya realisasi kekristenan sejati yang menjunjung tinggi keadilan dan membebaskan umat manusia dan alam. Seperti halnya yang dicontohkan sang Messiah, Yesus Kristus, melalui pesan-pesan dan praktik-praktik nya yang membebaskan kaum tertindas dan alam sebelum peristiwa penyalibannya. Pasca peristiwa penyaliban Yesus Kristus, sudah barang tentu mandat tugas untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan ada pada tangan umat-umatnya!
Buku ini adalah hasil dari inisiasi gerakan Oikotree. Gerakan Oikotree adalah suatu gerakan berskala global yang dipelopori oleh beberapa kelompok gereja, yakni Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches / WCC), Perseketuan Gereja-Gereja Reformed Se-Dunia (World Communion of Reformed Churches / WCRC), dan Dewan Misi Dunia (Council for World Mission / CWM). Gerakan ini berorientasi perjuangan menegakkan keadilan, perdamaian, dan kesempurnaan hidup.
Respons atas Krisis Ekologi
Kehadiran buku ini, seperti yang sudah sempat disinggung sebelumnnya, adalah respons konkret atas krisis keadilan ekologi beberapa dekade ke belakang sampai hari ini. Semenjak dicanangkannya globalisasi neoliberal pada tahun 1980 melalui pembaharuan peraturan seputar perdagangan internasional dan intergrasi negara-negara ke dalam pusaran perkonomian dunia, telah mempengaruhi orientasi perancangan kebijakan yang melanggengkan privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Tak ayal, perubahan signifikan pada kondisi ekonomi-politik tersebut telah berbuntut pada maraknya praktik penghisapan terhadap alam, maupun manusia lainnya di belahan dunia manapun. Dengan kata lain, globalisasi neoliberal telah secara simultan membidani lahirnya sistem Rezim Ekstraktif (Extractive Regimes). Rezim Ekstraktif bercirikan pada wataknya yang tak hanya akumulatif, namun juga mengeksploitasi habis-habisan bahan mentah Sumber Daya Alam (SDA).
Pemandangan ini dapat kita saksikan lewat sejarah Orde Baru. Politisida 65 (politik genosida 65) yang terang-terangan mendapat dukungan dari Amerika Serikat, telah menjadi berita baik sekaligus corong bagi masuknya kapital asing ke dalam negeri. Kesempatan semakin terbuka lebar semenjak disahkannya UU PMA 1967 tentang penanaman modal asing, bersamaan dengan merangseknya kembali dominasi Freeport di tanah Papua.
Selanjutnya, eksploitasi alam skala massif menjadi tak terhindarkan akibat dari tak terkontrolnya sirkulasi kapital asing. Beragam sektor komoditas seperti minyak, tambang, pakaian, tekstil, dan perikanan acap kali menjadi sektor yang sering dieksploitasi. Bahkan, paada tahun 1970-an, ekspor minyak telah menjadi sumber kas negara sampai sentengah persen pendapatan.
Kondisi di atas senyatanya tak banyak berubah hari ini. Maraknya kasus aneksasi lahan oleh negara atas nama korporasi, pembangunan, dan urbanisasi masih menjadi pemndangan yang lumrah ditemui. Seperti halnya yang dialami oleh rakyat pegunungan Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang terus berjuang melawan kesewenang-wenangan PT. Bumi Suksesindo, yang berhasrat mengekstraksi tambang emas di daerah tersebut, tanpa mementingkan nasib alam dan manusia yang bertinggal di tempat itu. Ataupun kasus kemanusiaan berkepanjangan yang melanda rakyat Papua akibat intimidasi dan teror Freeport yang berusaha mencerabut hak hidup penduduk aslinya. Tentu masih terdapat banyak kasus lainnya yang tak sempat untuk dijabarkan di sini.
Kehadiran buku ini, seiring dengan semakin parahnya krisis ekologi yang mengancam keberlangsungan metabolisme ekosistem, bagi hemat penulis mencoba untuk menjawab dua pertanyaan fundamental. (1). Bagaimanakah pandangan teologi Kristen menyoal keadilan ekologi? (2). Dengan cara apakah kita dapat “membumikan” pesan-pesan tersebut demi kepentingan pembebasan seluruh umat manusia?
Dunia dalam Sengketa Tanah
Sebagai sebuah manifesto, buku ini tidak hanya berisikan pernyataan sikap dan agenda pergerakan semata. Lebih jauh lagi, buku ini adalah sebuah calling for action, yang berupaya membuka mata segenap umat Kristen untuk sadar akan praktik-praktik penindasan dan eksploitasi yang dialami saudara seumat di seluruh belahan penjuru dunia melalui kisah-kisah nyata.
Seperti halnya yang penindasan yang dialami saudara kita di belahan dunia Afrika. Kesaksian seorang anak buruh Migran berstatus warga negara Transkei, Afrika Selatan, mengisahkan kisah memilukan yang dialami ayahnya dan dirinya sendiri. Dibawah bayang-bayang politik Supremasi Kulit Putih (White Supremacist) dan ancaman-ancaman penggusuran akibat pembangunan atas nama pasar. Nasib simpang-siur yang terus melanda telah mempengaruhi perkembangan psikologisnya. Ia merasa tidak bertanah di negerinya sendiri.
Kisah yang tak kalah ironisnya datang dari kawan sebangsa setanah air kita. Keluarga kita di Papua yang selama ini tanpa henti terus mendapat intimidasi, usaha pembunuhan, dan kekerasan rupanya juga turut menyedot perhatian dunia. Bagi orang Papua hutan adalah ibu mereka. Oleh karenannya, memisahkan mereka dari tanah mereka sendiri telah memutus keterhubungan mereka dengan nenek moyangnya.
Sampai hari ini, kawan-kawan Papua tak henti menggaungkan tuntutan mereka untuk berdaulat, yang sejak kemerdekaan Indonesia harus diagagalkan secara keji oleh rezim melalui Perjanjian New York tentang Penentuan Nasib Sendiri tahun 1962, lewat mekanisme United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA), pada bulan Juli/Agustus 1963, yang berujung pada todongan senjata dan tragedi berdarah.
Masih terdapat beberapa kisah lain dalam buku ini. Seperti jeritan bangsa Palestina (Kairos Palestine), yang mengisahkan tanggapan umat Kristen Palestina atas perilaku Israel yang sewenang-wenang berusaha merampas tanah Palestina, perjuangan atas tanah di Kolombia, Mali, dan Meksiko, sampai kisah yang membuat nurani terenyuh tentang figur Subhatra, anak 11 tahun yang bersama rakyat lainnya menyatakan penolakan atas pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah Orissa atas nama korporasi baja Korea, Phoang Steel Company atau POSCO.
Tanah dalam Teologi Kristen
Secara umum, teologi Kristen sangatlah menjunjung tinggi keadilan atas tanah. Tanah adalah sumber kehidupan yang dianugerahkan tuhan untuk seluruh makhluk hidup, dan karenannya tidak boleh diprivatisasi oleh sekalangan golongan tertentu saja. Ketentuan ini dapat dilacak pijakkan awalnya pada perjanjian lama yang berbunyi:
“ Semata-mata keadilan, itulah yang harus kau kejar, supaya engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu” (Ulangan 16-20).
Interpretasi daripada bunyi ayat tersebut menyatakan bahwa tanah adalah media dari kehadiran Tuhan, dan oleh karenannya bersifat kudus. Tanah semata-mata hanya dititpkan Tuhan kepada manusia untuk dikelola dan dipelihara dengan baik demi kepentingan kemaslahatan segenap umat manusia. Berdasarkan ketentuan ini, maka praktik privatisasi dan komodifikasi tanah adalah dilarang, karena telah mengingkari hakikat mendasar dari eksistensi tanah dengan menjadikannya kepemilikan segelongan pihak.
Perjanjian Lama (kitab suci Ibrani) juga jauh-jauh hari telah memperingatkan umat Kristen akan kelaliman tuan-tuan tanah (Latifundia). Yesaya telah memberikan seruan peringatan itu kepada umat Kristen (5:8-9)
Celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah
dan mencekau ladang demi ladang
sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain
dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri
Di telingaku terdengar firman Tuhan semesta alam
Sesungguhnya banyak rumah akan menjadi sunyi sepi, rumah-
rumah yang besar dan yang baik tidak akan penghuninnya”
Ayat ini haruslah ditafsirkan berdasarkan keadaan sosio-historisnya. Peringatan dari Yesaya ini hadir ketika menajmurnya tuan tanah dan sistem kredit pertanahan. Pada abad ke-8 SM, banyak pihak-pihak yang dirugikan akibat perbudakan hutang, dan karenannya dipaksa untuk menyerahkan tanahnnya sebagai jaminan gadai, untuk memperoleh kredit guna membeli benih.
Pesan ini juga masih sangat mendapat relevansinya hari ini. Indonesia, tempat dimana tuan tanah masih menjamur di daerah-daerah pedesaan, melakukan praktik serupa dengan terus menghisap dan menyengsarakan kaum tani. Hadirnya tengkulak yang membatasi akses penjualan ke pasar, ketidaktransparanan harga pasar, lilitan hutang, hingga penjualan kebutuhan bertani dengan harga selangit jelas menjadi corak nyata penindasan. Adalah tugas seluruh umat manusia, juga umat Kristen untuk memberantas ketidakadilan tersebut!
Teologi Kristen yang menetapkan tanah sebagai anugerah titipan Tuhan juga berarti bahwa tanah haruslah bersifat inklusif. Dalam konteks yang lebih spesifik, tanah Israel seyogyanya bersifat inklusif dan terbuka untuk kehadiran bangsa-bangsa lainnya, seperti halnya yang disampaikan Yehezkiel (Yehezkiel 47:21-23). Ia mengatakan bahwa para pendatang akan diberi warisan di antara suku-suku Israel.
Kitab Yesaya pun menjadi ayat berikutnya yang menegaskan inklusivitas tanah Israel. Dalam Yesaya 56, Yesaya menyatakan suatu saat Bait Suci akan menjadi “rumah ibdaha bagi segala bangsa
Dalam Perjanjian Baru, teologi tentang tanah harus mengakui kuasa mesianik Yesus atas tanah (28:18, Galatia 3:16). Dengan kata lain, Yesus memerintahkan umat-umatnya untuk senantiasa lemah lembut dan penuh pengorbanan terhadap tanah, maupun alam. Seraya seperti yang Yesus sabdakan dalam Matius 5:5 dalam Ucapan Bahagia.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”
Yesus pun menyerukan kepada manusia untuk menentukan pilihan dalam memperlakukan tanah. Sebab, baik atau buruknya tanah bagi manusia tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan tanah.
Perjanjian Baru pun memberikan peringatan kenabian untuk para pemiliki tanah besar yang menindas, seperti halnya yang dinyatakan oleh Yakobus:
“Jadi sekarang hal kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan negngat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang berakhir. Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yakobus 5:1-4)
Peringatan ini mengingatkan bahwa harta-harta dari tuan tanah besar kelak akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan atas perilaku mereka yang mengingkari keadilan dengan merampas harta hak para buruh yang mereka pekerjakan.
Tanah dalam Perspektif Kepercayaan Masyarakat
Tak hanya mengulas ekologi dalam perspektif teologi Kristen, buku ini pun turut menghadirkan perspektif dari beragam kepercayaan budaya lain untuk lebih memperjelas hubungan manusia dan alam, khsusunya tanah adalah tak terpisahkan. Manusia selalu membutuhkan tanah sebagai tempat berpijak hidup, baik sebagai penajamin kebutuhan hidup, maupun jenis-jenis keterikatan lain dengan tanah melalui pengalaman unik setiap kolektif.
Dalam pandangan kebudayaan India, seluruh entitas yang diciptakan Tuhan adalah sinambung dan saling melengkapi eksistensi makhluk lainnya, tak terkecuali tanah. Semangat ini terwujud dalam oposisi biner (laki-laki-perempuan, terang-gelap, jantan-betina). Dengan kata lain, tanah senantiasa terhubung juga dengan eksistensi manusia.
Bangsa Afrika Selatan memahami tanah tak hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan penghidupan sehari-hari. Lebih dari itu, tanah adalah bagian hakiki dari kehidupan itu sendiri. Mereka percaya bahwa tanah memiliki arti penting secara moral dan spiritual, pusat pandangan hidup mereka adalah keutuhan dan keselarasan penciptaan. Tanah adalah jiwa dari bumi itu sendiri.
Bagi bangsa Cree, tanah adalah entitas yang hidup, bernapas, dan dapat terluka, olrh karenannya perlu dirawat dengan baik. Karena Ibu pertiwi, sang pemberi agung, adalah guru pertama dalam kehidupan. Selayaknya memperlakukan seorang ibu, manusia haruslah mencurahkan segala kerelaanya.
Dalam filosofi tanah bangsa Mohawk, manusia pada adalah entitas yang zat penyusunnya berasal dari entitas-entitas lainnya, termasuk tanah. Semua entitas iu memiliki roh. Semua makhluk yang berpijak pada Ibu Bumi adalah hidup, dan melengkapi satu sama lain. Ketika tumbuhan tak lagi hidup dan berhenti memasok pangan, maka kehidupan lain pun akan musnah. Setiap makhluk ciptaan Tuhan diciptakan dengan energi dari Tuhan itu sendiri untuk melangsungkan suatu siklus kehidupan.
Kalau dilihat secara seksama, pemaparan sebelumnya secara implisit memberikan gambaran manusia senantiasa terikat dengan alam, khsusunya tanah. Seringkali, hubungan-hubungan itu hadir tak hanya sebatas pada dependensi manusia dengan tanah sebagai sarana memenuhi kebutuhan. Lebih dari itu, melalui lensa fenomenologi, keterikatan itu dapat berupa pengalaman-pengalaman batiniah dan spiritual, entah melalui simbolisasi tertentu yang menghubungkannya dengan nilai-nilai koletif tertentu, ataupun zat Adikuasa.
Setiap kebudayaan memiliki cara artikulasinya yang unik, menunjukkan kesalngterhubungan yang eksis antara manusia dan alam memang sesuatu yang hakiki dan tak terpisahkan.
Gerakan dan Upaya-Upaya Menuju Keadilan Ekologis
Penindasan dan ekstraksi atas alam tak ayal telah membangkitkan beragam reaksi radikal melawan ketidakadilan akibat dari bobroknya perekonomian Neoliberal. Upaya-upaya itu datang dari beragam lini perjuangan, entah melalui pengorganisasian massa, sistem tandingan, maupun kebudayaan tandingan demi mengoreksi tatanan mapan.
Pelawanan secara struktural-sistemis datang dari usaha untuk membuat sebuah sistem finansial tandingan. Sistem finasnial tersebut membatasi keewenangan bank-bank swasta untuk menggandakan uang melalui praktik kredit dengan bunga (utang). Kewenangan mencetak uang hanya ada dimandatkan pada bank-bank sentral. Bank-bank pun hanya berfungsi untuk mengelola uang masyarakat untuk digunakan mereproduksi barang dan keperluan masyarakat. Bukan menjadi alat akumulasi kapital melalui mekanisme bunga bank.
Peruntukan mata uang baru juga menjadi agenda perbaikan berikutnya pada tatanan finansial baru ini. Agenda ini dicanangkan menyusul krisis berkepanjangan yang akibat penggunaan dollar AS. John Maynard Keynes pada 1944 silam dalam konferensi di Bretton Wood mengusulkan bracer sebagai mata uang dunia. Namun, usulan itu ditolak karena Amerika Serikat menghendaki dollar AS sebagai mata uang dunia.
Upaya-upaya itu juga berwujudkan bentuk seruan bersolidaritas. Paus Fransiskus pada pertemuan Popular Movement, Oktober 2014, pada sambutannya dengan lantang menyeruakan pentingnya untuk membangun solidaritas dukungan bagi mereka yang ditindas dan dirampas haknya:
“Solidaritas merupakan sebuah kata yang tidak selalu disambut baik: saya ingin mengatakan bahwa terkadang kita telah mengubahnya menjadi sesuatu yang buruk; yang tidak bisa dikatakan. Betapapun, itu adalah sebuah makna yang sangat bermakna, melebihi beberapa tindakan kedermawanan sporadis. Solidaritas untuk berpikir dan bertindak di dalam komunitas, di dalam kehidupan yang mendahulukan perampasan seluruh barang-barang oleh beberapa orang. Solidartias juga berarti ikut memerangi sebab musabab struktural kemiskinan, tiadanya kesetaraan, dan kurangnya lapangan kerja, kurang tanah dan perumahan, diabaikannya hak-hak sosial dan buruh.”
Gerakan lainnya yang terus mendorong terealisasinya keadilan ekologis adalah La Via Compesina. La Via Compesina adalah suatu gerakan internasional yang menyatukan jutaan petani, petani kecil dan menengah, mereka yang tak bertanah, pertani perempuan, penduduk asli, kaum migran, dan buruh tani seluruh dunia. Gerakan ini berupaya mengadvokasi pertanian lestari berskala kecil sebagai jalan memajukan keadilan sosial. Gerakan ini gencar menentang pertanian berbasisi perusahaan dan industri yang telah nyata menjadi penyebab kerusakan ekologi dan manusia..
Dirintis sejak 1993, gerakan ini kini memiliki organisasi nasional di 73 negeri-negeri di Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika. Terhimpun sekitar 200 petani di gerakan ini. Gerakan ini juga bersifat otonom, menjunjung tunggi asas pluralisme dan multi-budaya.
Penutup
Bagi hemat penulis, buku ini telah menjadi batu loncatan, khususnya bagi kaum Kristiani untuk merumuskan agenda-agenda taktis dan strategis pembebasan umat manusia berikutnya. Semangat pembebasan yang dibawa buku ini telah memberikan asa untuk terbentuknya suatu ko-resistensi lintas-agama, untuk bersama-sama kaum buruh, tani, dan kalangan-kalangan termarjinalkan menggalang suatu kekuatan masif mewujudkan cita-cita keadilan sosial dan ekologis.
Cita-cita itu, dalam teologi misional Kristiani dapat terealisasi melalui implementasi dari tiga prinsipnya. (1). Keadilan sosial: yakni bahwa setia entitas yang hidup berhak mendapatkan hak atas tanah, termasuk mereka yang janda, yatim-piatu, dan pendatang. Penguasaan tanah oleh segelintir orang adalah dilarang. (2). Rekonsiliasi: Tanah haruslah menjadi tempat perdamaian ditegakkan dan penghisapan manusia terhadap alam, maupun manusia terhadap manusia dihapuskan. (3). Menjaga Ciptaan: Sebagai karunia Tuhan, menjaga ciptaanya adalah salah satu bentuk terima kasih kita sebagai manusia. Oleh karenanya, menggunakan sumber daya alam secara bertanggung jawab adalah bentuk kasih saya kita pada alam dan Tuhan semesta alam.***
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Pendidikan Indonesia, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), dan Front Nadhliyin untuk Keadulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
Kepustakaa
Gallert ,Paul. 2010. Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesia Development. Tennessee: Rural Sociology. Vol 75. 1: 28-57
Merleau-Ponty. Maurice. 2004. The World of Perception. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group
Veltmeyer, Henry. 2016. Extractive Capital, the State and the Resistance in Latin America. Mexico: Sociology and Anthropology. Vol, 4. 8: 774-484