Browse By

Hasil Musyawarah Komisi Politik Agraria dan Konflik Sumber Daya Alam (Peta permasalahan dan rekomendasi bagi NU dan Anak Muda NU)

kaum muda NU

Pembukaan musyawarah Kaum Muda NU

Universitas Wahab Hasbullah, Tambakberas, Jombang, 2 Agustus 2015

Pendahuluan
Warga nahdliyin diperkirakan berjumlah 83 juta jiwa. Mereka tinggal di pedesaan, pedalaman dan pesisir yang mayoritas bekerja sebagai petani, petambak dan nelayan. Jumlah besar tersebut merupakan kekuatan potensial dalam menghadirkan wajah Islam di Nusantara. Secara politik warga nahdliyin selama ini merupakan kekuatan elektoral penting, yakni menyumbang 37-41% dari total pemilih (pemilu 2014). Akan tetapi potensi pada mayoritas warga NU di pedesaan, pedalaman, dan pesisir tersebut berkebalikan dengan situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Terdapat ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang angka ketimpangannya hampir akut (0,74 indeks gini).

Selain itu banyak terjadi konflik sumberdaya alam yang disebabkan wilayah perkampungan dan pertanian-pertambakan-pesisir dimasukkan dalam kawasan kehutanan, perkebunan, pertambangan dan kepentingan lain. Hingga tahun 2012 dalam catatan Badan Pertanahan Nasional terdapat 8.000 konflik agraria yang mencakup wilayah hampir 2 juta hektar, dan konflik yang berdampak pada 60 ribu nelayan (KIARA 2013). Dalam 15 tahun terakhir, jumlah aduan yang masuk ke Komnas HAM didominasi kasus-kasus kekerasan yang berlatar belakang konflik agraria.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan generasi muda NU dituntut mengambil sikap atas kondisi darurat agraria dan sumberdaya alam yang menimpa warga nahdliyinnya tersebut.

Situasi dan masalah yang dihadapi
Dari gambaran situasi dan identifikasi masalaah yang berhasil dihimpun melalui musyawarah komisi Politik Agraria dan Konflik Sumber Daya Alam (SDA), terlihat nyata bahwa terdapat kerentanan di hampir semua level aktifitas pertanian dan nelayan Indonesia: level pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi.

Pada level pra-poduksi masyarakat tani dan nelayan terancam oleh prasyarat dasar beraktifitas tani dan nelayan yakni akses atas tanah dan pesisir-kelautan. Terjadi penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin sempit (guremisasi pertanian dengan rata-rata < 0,5 ha) sehingga tidak produktif untuk skala usaha tani yang ideal. Bahkan terjadi ancaman perampasan tanah seperti yang terjadi di Wongsojo Banyuwangi dimana lahan pertanian dan kampung dimasukkan dalam wilayah konsesi HGU perkebunan sehingga terjadi konflik yang berkepanjangan dalam 15 tahun terakhir; di Urutsewu masyarakat tani berhadapan dengan aparat TNI AD yang mengklaim wilayah yang telah padat dengan aktifitas pertanian itu sebagai kawasan pertahanan. Tentara bertindak lebih jauh melakukan perusakan tanah, pemagaran bahkan kekerasan terhadap penduduk. Demikian pula terjadi di Pati dan Rembang oleh ancaman pendirian pabrik semen dengan dimasukkannya wilayah pertanian dan ekosistem pegunungan Kendeng sebagai kawasan obyek penambangan padahal nyata-nyata keputusan itu bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah daerah; serta masyarakat di Kutai Kartanegara dan di Samarinda secara umum oleh pertambangan batubara yang menyisakan lobang-lobang raksasa yang membahayakan jiwa dan kerusakan lingkungan/alam. Para petambak di Gresik terancam kehilangan petak-petak tambak oleh pembangunan industrial yang tumbuh pesat.

Beberapa tempat itu adalah sedikit contoh dimana tanah air Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengalami ancaman alih fungsi serta terbatas bahkan terusirnya warga-negara Indonesia dari ruang hidupnya oleh pembentukan dan perluasan wilayah perkebunan, kehutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pembangunan industri, serta pariwisata yang kesemuanya dijalankan oleh pemodal besar (kapital) baik yang dilakukan oleh pihak swasta (korporasi) maupun negara. Ironisnya regulasi yang mengatur tata ruang serta pengelolaan sumberdaya alam cenderung menjadi instrumen yang memudahkan perluasan kapital tersebut dan menyingkirkan nasib penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia. Akibat turunan dari itu adalah tertutup dan terusirnya tenaga muda pertanian/nelayan dari (potensi) wilayah kerja mereka, sehingga melahirkan gelombang pengangguran tenaga kerja.

Di dalam situasi dan kondisi di atas, Nahdlatul Ulama secara keorganisasian tidak hadlir berada di tengah-tengah warganya (nahdliyin) yang menjadi korban dari berbagai ancaman tersebut. Berbeda kenyataannya bahwa pada masa lalu, dengan segala keterbatasannya, jam’iyyah NU memiliki Pertanu (Pertanian Nahdlatul Ulama) dan Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia) yang siap membela kepentingan ummat petani, nelayan, dan buruh-tani sebagai mayoritas jamaahnya. Selain itu adanya kelemahan dalam cara memahami persoalan-persoalan keumatan yang sedang terjadi baik dari sisi teologis, fiqh, sosial, dan teknisnya.

Pada level produksi masyarakat tani dan nelayan mengalami kerentanan pada permodalan yang bisa mengancam mereka sewaktu-waktu jatuh pada tengkulak dan rentenir, dan ketergantungan pada sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) yang harus dibeli dengan harga tinggi. Pertanian organik belum menjadi kesadaran massal petani. Kebijakan perbenihan mempersempit kesempatan pembuatan benih alami oleh petani (untuk padi, jagung dan kedelai misalnya) sebab dapat terancam pidana. Di berbagai tempat seperti wilayah Wonogiri, Gunungkidul dan di berbagai pedesaan sawah lainnya penggunaan pestisida dan pupuk kimia bertahun-tahun mengakibatkan ketergantungan tanah, turunnya kualitas tanah sehingga produktifitas tanaman juga menurun. Kekeringan dimana-mana mengakibatkan krisis tanam di persawahan, sementara infrastruktur pengairan dan kebijakan alokasi air untuk pertanian tidak dibenahi.

Pada level pasca-produksi petani dihadapkan pada masalah harga yang berada di luar kendali mereka sebagai produsen. Petani kentang di Wonosobo misalnya, dipermainkan oleh harga yang nilainya jatuh bahkan di bawah angka produksi (modal dan tenaga kerja). Hal ini terjadi sebab organisasi petani lemah untuk mengurusi mulai dari pra-penanaman hingga penjualan hasil tersebut. Jikapun ada organisasi petani cenderung terfragmentasi dan sangat tergantung pada bantuan dari luar. Nasib petani garam tidak jauh berbeda ketika mereka harus bersaing dengan import garam yang jumlahnya besar mengalahkan produksi dalam negeri.

Tatakelola SDA
Di luar aktifitas pertanian, berbagai sumberdaya alam lainnya memiliki nasib yang paradoks. Di satu sisi terdapat sumber energi yang over-eksploitasi seperi migas yang tata-kelolanya menguntungkan kapital (korporasi asing maupun domestik dan negara: beralih dari sistem kontrak menjadi ijin); di sisi lain besarnya sumber-sumber energi yang belum optimal didayagunakan. Potensi energi terbarukan berupa biomas (biogas dan bioetanol) di Indonesia diperkirakan sebesar 50.000 mw. Saat ini yang dimanfaatkan baru 1000 mw. Kebijakan energi pemerintah malah fokus pada soal subsidi BBM. Biogas yang berasal dari kotoran ternak (sapi) di Jawa Timur yang belum didayagunakan diperkirakan sebesar 14.000 mw, maka diperlukan pengorganisasian masyarat desa petani-peternak agar memanfaatkan sumber-sumber tersebut.

Tatakelola baru diperlukan agar sumberdaya energi dan migas lainnya tidak terkonsentrasi dan dimonopoli oleh kepentingan asing.

Rekomendasi
Oleh sebab itu musyawarah ini merekomendasikan dan memanggil agar NU dan para ulama’nya untuk bangkit dan hadir secara nyata berada di tengah-tengah ummat guna membantu segenap permasalahan yang membelit kepentingan petani, nelayan dan buruh. Perlu dibentuk organisasi petani dan nelayan formal di dalam struktur jam’iyyah Nahdlatul Ulama (seperti dahulu ada Pertanu dan Sarbumusi), sekaligus membentuk kooperasi agar berdaya dalam tatakelola pra-produksi, produksi hingga pasca-produksinya; membangun training center yang mendidik generasi muda dengan pengetahuan, skill, dan motivasi yang peduli dengan masalah agraria dan SDA; segera mengatasi krisis regenerasi pertanian dengan memberi akses produksi, informasi dan teknologi; mereaktulisasi ijtimaa’ud diiniyyah dengan masalah waqi’iyyah seperti menyelenggarakan istighotsah SDA, sholat istisqo atas krisis air akibat perubahan dan rusaknya alam; dan lailatul ijtima’ seperti tahlilan dan pengajian rutin malam Jumat yang dilaksanakan di musholla (surau/langgar) di kampung-kampung NU. Mereka yang dikampung-kampung inilah sebenarnya yang menjadi ujung tombak dari penjagaan tanah air Indonesia. Harus dilakukan bahtsul masail waqi’iyah di semua daerah dengan tema agraria dan SDA; merumuskan fiqih agraria dan SDA termasuk di dalamnya mengkaji dan melaksanakan perlindungan petani dan nelayan terhadap akses atas tanah, pesisir dan kelautan, serta rumusan reforma agraria yang fiqhiyyah dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan generasi dan alam itu sendiri.

Dalam konteks reforma agraria, regulasi pemerintah yang telah tersedia berupa PP No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, perlu didorong oleh PBNU agar diprioritaskan dijalankan untuk redistribusi tanah bagi petani dan tunakisma. PBNU juga harus mendorong UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai kesempatan melakukan penataan ulang atas tanah untuk warga desa berlahan sempit dan tunakisma, serta direvitalisasinya tanah-tanah kolektif/komunal. Peraturan Bersama tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan, tertanggal 17 Oktober 2014, merupakan kesempatan melakukan reforma agraria kehutanan yang membuka peluang bagi masyarakat adat dan kumpulan masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah di kawasan hutan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 (pasal 29) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga menyediakan peluang pelaksanaan reforma agraria. PBNU perlu menyambut positif lahirnya regulasi-regulasi tersebut sekaligus terus-menerus mendesak agar pemerintah mengimplementasikannya secara terpadu dengan membentuk aturan pelaksanaannya berupa PP Reforma Agraria. UU Desa yang mengamanatkan pendanaan desa secara rutin perlu dikawal pelaksanaannya secara ketat agar tidak terjadi penyelewengan dan korupsi di desa-desa dimana notabene wilayah ini merupakan basis dari nahdliyin.

Terhadap kasus-kasus perusakan lingkungan dan konflik SDA, Musyawarah merekomendasikan agar PBNU membentuk badan yang bertugas memberikan advokasi dan perlindungan hukum pada masyarakat-masyarakat yang menjadi korban serta memeriksa dan mengoreksi arah politik agraria dan SDA (antisipasi dari hulu) yang tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, kemaslahatan ummat serta pemuliaan alam sebagai ciptaan Allah. Konflik SDA adakah hilir dari kekeliruan kebijakannya, sehingga perlu dinyatakan bahwa di Indonesia konflik SDA bersifat struktural melebihi sengketa perseorangan dan administratif. Dalam hal ini pula, PBNU perlu membentuk tim tangguh untuk memeriksa dan meralat kebijakan yang keliru tersebut. Terhadap kasus-kasus yang telah terjadi, PBNU harus mendesak pemerintah agar membentuk pengadilan lingkungan.

Penutup
Kami berpendirian bahwa perhatian pada perjuangan keadilan agraria dan SDA menyadarkan kembali bahwa di dalamnya terdapat dimensi menyeluruh jihad dan ijtihad melahirkan solusi bagi persoalan keummatan yang itu menjadi ruh atau spirit awal pendirian Nahdlatul Ulama (kembali ke khittah). Di dalamnya terdapat tashwirul afkar karena membutuhkan curah pikir teologis, fiqhiyyah dan ‘ilmu amaliyah (implementatif) mengenai keadilan agraria dan keberlanjutan fungsi alam sebagai karunia Allah SWT; nahdlotul wathon sebab memperjuangkan tanah air Indonesia dari kerusakan alam dan kerusakan ummat yang diakibatkannya, nahdlotut tujjaar wal fallaahiin dengan prinsip syirkah (kooperasi) sebagai moral dan sistem ekonomi yang diperjuangkannya karena menempatkan rakyat Indonesia sebagai pemilik dan pelaku aktifitas ekonomi yang tidak semata-mata menjadi pembeli (konsumen) sasaran dari korporasi dan pemodal besar. Di dalamnya juga terdapat nahdlatul ulamaa’ dimana para dzul ‘ilmi wal hikmah bangkit untuk menjawab persoalan-persoalan nyata ummatnya (khaadimul ummat) dari berbagai ancaman, yang untuk masalah agraria dan sumberdaya alam ini, kekuatannya menembus dari level lokal hingga global. Hal ini ditauladankan para muassis NU, terutama oleh Rais Akbar Hadhrotusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Untuk konteks saat itu, beliau menyerukan jihad melawan penjajahan Sekutu dalam pertempuran Surabaya 1945.

Dihadapkan pada masalah, situasi dan kondisi itulah maka saatnya bagi anak muda NU untuk bangkit bersama-sama (nahdlatus syabbaab) memperjuangkan Islam Nusantara, yakni Islam Ahlussunnah wal jamaah yang dalam pemahaman kami tugas utamanya adalah berjuang melawan fundamentalisme kapital/pasar dan fundamentalisme agama yang keduanya bersifat mengeksklusi (takhrij) ummat (laki-laki dan perempuan) dari ruang hidup bahkan kehidupannya itu sendiri.

Tim Fasilitator dan Perumus Komisi Politik Agraria dan Konflik SDA, KMNU Jombang
Ahmad Nashih Luthfi
Roy Murtadlo
Cholid Saerozy