KASUS TRIO ALASBULUH MELAWAN GALIAN C: CATATAN KONFLIK BUMN VS WARGA

Tim Media ForBanyuwangi

Keterangan foto: Di ruang tunggu PN Banyuwangi (01/02/21), trio pejuang lingkungan Alasbuluh membentang poster yang berisi tulisan suara hati mereka.

Banyuwangi, 2 Februari 2021

Kasus yang menimpa trio pejuang lingkungan Desa Alasbuluh, kian menambah jumlah konflik antara warga dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN)—yang berada di Pulau Jawa. Pandangan ini disampaikan Syamsul Muarif, juru bicara Aliansi Banyuwangi Bergerak (ABB).

Dijumpai seusai sidang kasus penghadangan truk pengangkut material galian C yang kemarin (01/02/21) digelar di Ruang Garuda Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi, Syamsul mengatakan, “Jika menggunakan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), hingga tahun 2020 lalu, di Pulau Jawa ini, setidaknya ada 90 ribu keluarga yang berkonflik dengan BUMN. Tentu kasus Alasbuluh ini akan menambah catatan konflik tersebut.”

Dengan tetap menyitir data KPA, Syamsul menambahkan, benturan antara BUMN dengan warga di Pulau Jawa tersebut tersebar di 137 desa yang berada di 40 kabupaten. Menurutnya, jika luasan lahan konflik tersebut ditotal, maka jumlahnya tidak kurang dari 288 ribu hektar.

“Sayangnya, catatan jumlah konflik tersebut kurang mendapat penanganan yang serius. BUMN, khususnya PTPN, dalam amatan ABB, kurang serius mengurangi angka konflik. Alih-alih membenahinya, PTPN justru menambah kusutnya konflik tersebut dengan mendirikan anak perusahaan yang kegiatannya justru kontradiktif dengan kegiatan induk perusahaannya. BUMN bidang perkebunan kok malah mendirikan perusahaan tambang? Ini kan aneh. Tanpa mendirikan perusahaan tambang saja, PTPN itu sudah punya catatan konflik dengan warga, apalagi ini (mendirikan anak perusahaan tambang, red.).” katanya.

Sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai oleh Agus Pancara ini kemarin berlangsung singkat lantaran Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum dapat menghadirkan saksi-saksi. Oleh majelis hakim, sidang dinyatakan ditunda, untuk kemudian dilanjutkan pada Senin, 8 Februari 2021.

Kasus yang menimpa Achmad Busiin, Sugianto, dan Abdullah (tiga warga Desa Alasbuluh, Kec. Wongsorejo, Banyuwangi, Jatim) ini bermula dari pelaporan atas aksi yang mereka lakukan bersama sejumlah warga. Aksi tersebut terjadi pada 2 Juni 2018. Trio pejuang lingkungan Alasbuluh ini bersama sejumlah warga menghadang truk pengangkut material galian C. Penghadangan tersebut dipicu oleh keinginan warga untuk menyelamatkan lingkungan hidup serta tempat tinggal mereka dari dampak negatif yang dimunculkan tambang galian C milik PT Rolas Nusantara Tambang (PT RNT).

PT RNT merupakan anak perusahaan dari PTPN XII dan PT Rolas Nusantara Mandiri (RNM).

PT RNT mulai melakukan operasi penambangan galian C pada tanggal 29 Agustus 2014. Lokasi tambang PT RNT itu terletak di Afdeling Sidomulyo, Kebun Pasewaran, PTPN XII. Secara administratif, Afdeling Sidomulyo ini terletak di Dusun Sidomulyo, Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur.

Operasi tambang galian C tersebut, dilakukan PT RNT setelah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi menerbitkan surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi No. 545/03/KEP/429-207/2014. Patut diduga, IUP tersebut terbit tanpa didahului dengan konsultasi publik.

Dua bulan setelah dimulainya operasi tambang tersebut, warga mulai merasakan dampak. Resah dengan dampak yang diterimanya, akhirnya pada 17 Oktober 2014, warga melakukan musyawarah terkait keberadaan tambang galian C milik PT RNT. Dalam musyawarah yang berlangsung di Mushola Barokah (dekat rumah Pak Ndu), secara mufakat, warga Sidomulyo tidak setuju dengan kegiatan penambangan galian C yang dilakukan PT RNT.

Untuk memperkuat hasil musyawarah yang berlangsung di Mushola Barokah tersebut, dilakukan musyawarah lanjutan yang mengundang pejabat Pemerintahan Desa Alasbuluh dan tokoh masyarakat. Musyawarah lanjutan pun digelar pada tanggal 28 Oktober 2014. Musyawarah yang bertempat di Dusun Krajan II, Desa Alasbuluh ini diikuti kurang lebih 48 orang. Dalam musyawarah yang membahas kondisi lingkungan hidup Dusun Sidomulyo tersebut, hadir Ahmad Taufik (anggota DPRD Banyuwangi), Abu Soleh Said (Kades Alasbuluh), Sujiono (Kadus), Sugianto (anggota BPD Alasbuluh).

Sepuluh hari kemudian, musyawarah itu berlanjut di Kantor Desa Alasbuluh. Dalam musyawarah yang berlangsung pada 7 November 2014 tersebut, warga berunding dengan perwakilan PTPN XII Afdeling Sidomulyo. Dalam musyawarah yang dimulai pada pukul 08.00 WIB ini, diperoleh kesepakatan sebagai berikut:

  1. Truk besar pengangkut hasil panen tidak boleh masuk jalan Dusun Sidomulyo
  2. Truk kecil (truk engkel) boleh masuk jalan Sidomulyo dengan syarat menggunakan tutup terpal
  3. Diadakan penyiraman jalan Dusun Sidomulyo secara rutin oleh PTPN XII Afdeling Sidomulyo
  4. Jalan yang rusak akan diperbaiki oleh PTPN XII Afdeling Sidomulyo
  5. Pada saat warga hendak mengangkut hasil panennya dan sapi, maka pihak PTPN XII Afdeling Sidomulyo akan membuka portal jalan barat.
  6. Warga diperbolehkan mengambil rumput yang ada di wilayah PTPN XII Afdeling Sidomulyo tanpa harus diadakan pemetaan dan pemetakan lahan rumput
  7. Warga diperbolehkan menggembala sapi di wilayah PTPN XII Afdeling Sidomulyo, dengan syarat sapi tersebut diikat, tidak diikat dengan liar.
    Kesepakatan tersebut di atas dituangkan dalam naskah Berita Acara Musyawarah yang ditandatangani oleh Kepala Desa Alasbuluh Abu Soleh Said.

Sayangnya, hingga bulan Mei 2015, tujuh butir kesepakatan itu tak kunjung terwujud. Melihat keadaan tersebut, pada tanggal 11 Mei 2015, Abdullah (warga Sidomulyo dan pelaku Musyawarah 7 November 2014) mengirim surat untuk menagih realisasi kesepakatan Musyawarah 7 November 2014. Oleh Abdullah, surat itu ditujukan kepada Kepala Desa Alasbuluh dan Kepala PTPN XII Afdeling Sidomulyo dengan tembusan kepada BPD Alasbuluh, Kapolsek Wongsorejo, Danramil Wongsorejo, dan Camat Wongsorejo.

Tiga bulan berselang, surat Abdullah tersebut tak kunjung mendapatkan respon yang memadai. Itu artinya, tujuh butir kesepakatan Musyawarah 7 November 2014 kian jauh dari realisasi. Dalam situasi semacam itu, Abdullah tak lelah menagih janji realisasi hasil kesepakatan Musyawarah 7 November 2014. Akhirnya, pada tanggal 5 Agustus 2014, Abdullah kembali menyurati Kepala Desa Alasbuluh dan Kepala PTPN XII Afdeling Sidomulyo dengan tembusan yang sama seperti sebelumnya. Selain menagih realisasi tujuh butir kesepakatan Musyawarah 7 November 2014, di dalam suratnya, Abdullah juga menjelaskan bahwa dump truk yang bermuatan material galian C telah memperparah tingkat kerusakan jalan Dusun Sidomulyo. Abdullah juga menjelaskan, bahwa hingga Agustus 2015 warga belum diperbolehkan mengambil rumput di wilayah PTPN XII Afdeling Sidomulyo. Menurutnya, rumput telah dipetak-petak dan dijual ke warga luar Sidomulyo. Dijelaskan pula oleh Abdullah, warga yang bertempat tinggal di ruas jalan utama Dusun Sidomulyo mulai terganggu jam istirahatnya lantaran hilir-mudiknya dump truk. Dijelaskan pula oleh Abdullah dalam suratnya, aktivitas dump truk ini juga mengganggu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dua sekolahan, yakni Raudhatul Athfal (RA) Miftahul Ulum dan Madrasah Ibtida’iyah (MI) Nurul Islam.

Benturan antara aktivitas tambang galian C milik PT RNT dengan warga Desa Alasbuluh ini mendapatkan perhatian dari ormas sekaliber Nahdlatul Ulama. Pada tanggal 27 Desember 2014, Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Wongsorejo menerbitkan surat rekomendasi nomor 009/MWC/A.I/L.33.01/XII/14. Dalam surat tersebut Pengurus MWC NU Kecamatan Wongsorejo merekomendasikan: perlu adanya peninjauan ulang surat ijin Galian C, serta perlunya ada Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Galian C, khususnya bagi masyarakat Alasbuluh dan sekitarnya. Surat rekomendasi Pengurus MWC Wongsorejo ini ditandatangani oleh KH. Drs. Ali Hasan Kafrawi (Rois), H. Saifur Rozi Sholeh (Katib), A. Holili, SPd (Ketua), dan Nasruddin, Sag.

Tiga tahun setelah terbitnya surat rekomendasi tersebut, pada tanggal 30-31 Desember 2017 terjadi banjir besar di Desa Alasbuluh. Hujan berlangsung lebih kurang 11 jam. Menurut Pengurus Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Alas Buluh (Formalin) Ahmad Sayuti, sebelum tahun 2014 Desa Alasbuluh tak pernah mengalami banjir besar. Menurutnya, banjir besar baru ada setelah beroperasinya tambang galian C milik PT RNT pada tahun 2014.

Banjir besar di bulan Desember 2017 ini telah menyebabkan ladang seluas 10 hektar terendam air setinggi 30 cm. Banjir ini telah menyebabkan putusnya dua jembatan yang ada di Dusun Umbulsari, Desa Alasbuluh. Putusnya dua jembatan tersebut menyebabkan terganggunya akses dan mobilitas sekitar 400 Kepala keluarga (KK).

Setengah tahun setelah terjadinya banjir, lantaran tak ingin lingkungan tempat tinggalnya rusak karena terdampak operasi tambang, pada tanggal 2 Juni 2018 sejumlah warga Desa Alasbuluh melakukan penghadangan terhadap truk pengangkut material galian C. Berdasarkan penuturan Abdullah (warga Sidomulyo, Desa Alasbuluh) yang merupakan pelaku aksi penghadangan, aksi tersebut disaksikan Kanit Binmas Polsek Wongsorejo Aiptu Imam Supii.

Aksi warga yang didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan lingkungan hidup serta tempat tinggal dari dampak negatif tambang PT RNT itu, sayangnya berbuah pelaporan kepada polisi. Tiga dari pelaku aksi, yakni Achmad Busiin, Sugianto, dan Abdullah dengan menggunakan pasal 162 Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dianggap telah merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *