Kiai Kampung Menjemput Kedaulatan
Oleh Kafha
Nur Aziz. Itulah nama kiai kelahiran Kendal, 12 Agustus 1972. Dia menjalani pendidikan formal terakhir di SD Negeri 1 Surokonto. Kemudian berlanjut ke jenjang non-formal kejar paket B. Kiai Kampung, begitu kami acap menyebut beliau. Tinggal di pinggir kampung, jauh dari hiruk pikuk kota Kendal. Sangat jauh. 30 km arah barat daya dari Kota Kendal. Tepat di desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal.
Keseharian sang kiai tak lepas dari mengajar pengajian di rumah. Saban hari, persisnya usai Maghrib dan Subuh, dia memahamkan pengetahuan agama pada santri. Dia memiliki 30 anak asuh atau santri dari lingkungan terdekatnya. Begitu pula malam Jum’at, kegiatan Tahlilan telah menunggu. Lantas malam Selasa, dia pun mengasuh manakiban. Serta memenuhi undangan-undangan mengisi pengajian ke berbagai tempat.
Nur Aziz pula, telah memiliki jadwal rutin bulanan, jauh dari tempat tinggal. Lebih tepat selapanan. Dia terjadwal mengisi pengajian selapanan antar kampung. Seperti: Ngadi Warno, Ngadi wongso, Jambangan, Truko, dan Jetis. Ya, jadwal rutin yang padat sekaligus melelahkan. Belum lagi kebiasaan malam sang kiai. Kiai Aziz biasa melepas malam, menemani warga penghuni Surokonto Wetan yang bertamu. Mengobrol. Dan, begadang semalaman. Rumah kukuh berukuran 12 X 14 m di atas lahan 14 X 20 meter persegi, saban malam menjadi saksi para tamu yang dirundung persoalan.
Hmmmm, Kiai kampung. Benar-benar bermukim di tengah perkampungan. Di tengah pelik masalah. Kampung yang sedang menghadapi persoalan sengketa lahan. Kampung yang entah seberapa bahaya bisa mengancam keutuhan negara, mesti menelan kenyataan pahit. Tepat, penghuni Surokonto terancam kehilangan sumber mata pencaharian. Nah, sang kiai tak berpangku tangan. Dia menemani warga kampung. Menerima pengaduan. Bahkan kerap berurusan dengan gaya pongah kekuasaan.
Kiai eksentrik. Demikian saya menyebut. Delapan belas tahun membangun biduk keluarga bersama istrinya dengan empt orang anak. Secara formal, pendidikan Kiai Aziz berhenti pada pendidikan kesetaraan paket B. Namun, di luar lembar kertas formal, Kiai Aziz telah melewati berbagai pesantren. Tepatnya lima pondok pesantren. Pertama, Pondok Pesantren Al-Mashud, Tegalsari, Weleri, Kabupaten Kendal. Kedua, Pondok Pesantren Fatchul Mubarok, Kalipaing, Temanggung. Ketiga, Pondok Pesantren Roudlotul Atfal, Kedung Asri, Ringin Arum, Kabupaten Kendal. Keempat, Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam, Udan Awu, Blitar. Dan kelima, Pondok Pesantren Darussalam, Tegalrejo, Pasuruan.
Ya, berbagai pesantren telah dijelajahi. Dan, kini kita melihat kiprah sang kiai yang mengundang decak kagum. Kiai muda yang tak sudi melihat penguasa dan pengusaha serakah berlaku sewenang-wenang merusak lahan tanah. Kiai yang tak tega mendengar jerit tangis masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Kiai yang gigih menyuarakan harapan masyarakat agar bebas mengelola lahan di hadapan arogansi kepala daerah. Kiai yang duduk dan berdiri bersama masyarakat yang tersisih. Luar biasa. Dan, terus terang saya tak sanggup menepis kekaguman padanya. Dia dahsyat. Saya merinding. Kiai Aziz pelipur lara masyarakat. Kiai Aziz tak lain tak bukan merupakan penabuh genderang perlawanan atas laku ketidakadilan Bupati Kendal. Meski hanya tamatan formal SD, sebagaimana lazim latar pendidikan yang melekat warga Surokonto, Nur Aziz tak kalah, bahkan malah mengungguli mereka yang berlatar akademis mapan. Kiai Nur, acap dalam pertemuan atau audiensi dengan aparat pemerintah, bikin gelagapan lawan bicara. Lawan dialog tak sanggup menangkis apalagi menjawab pertanyaan sepele sang kiai.
Nah, kemampuan apa lagi yang patut kita banggakan? Nyaris! Ya, saya pastikan kita nyaris tak sanggup mendongakkan kepala kala berhadapan dengannya. Dan, bersyukur, peserta Sekolah Kader Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) berkesempatan tinggal dan menikmati menu sajian sang kiai. Saya bersama teman-teman FNKSDA menghirup sejuk udara Surokonto Wetan. Bersama sang kiai berkesempatan mendalami masalah yang mendera warga Surokonto. Sekali lagi, bersyukur kita berkesempatan tinggal di rumah Kai Aziz.
Akhirnya, terima kasih Kiai Aziz! Tutur hikmah Kiai, amat membantu kami menyaksikan perilaku adigang adigung adiguna penguasa. Penguasa yang berasyik masyuk bersama pemilik modal. Penguasa yang menjauh dari rakyat. Menjauh dari keseharian masyarakat. Moga isyarat Kiai, selalu mengiring kami buat menjemput keadilan. Menyisir kedaulatan. Meniti cahaya terang peradaban. Turut meringankan beban gelisah, resah, dan tak yakin mencita masa depan. Sekali lagi, terima kasih dan salam daulat!
Surokonto Wetan, 04/04/2016: 07.37