Medan Baru Perlawanan NU pada Oligarki dan Intoleransi Ekonomi
KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.
Jamaah Nahdlatul Ulama (NU) resmi membuka medan perjuangan baru, yakni melawan kelompok oligarki dan sistem ekonomi kapitalis.
Di hadapan tokoh-tokoh pesantren dan politisi Cirebon, pada Haul ke-6 ayah kami, almarhum almaghfurlah, KH Anas Sirojudin di PP Bina Insan Mulia, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj (Ketum PBNU) mengkritik pemerintahan Jokowi yang “didalangi” oleh kaum oligarkis.
Ceramah Kiai Said ini adalah “gong” penyempurna. Sejatinya, pemuda-pemuda Nahdliyyin sudah lebih dahulu bergerak.
Contohnya, Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Mereka telah lama berjuang melawan pemerintahan yang kapitalis-oligarkis ini. Medan juang mereka adalah menjaga kedaulatan sumber daya alam.
Musuh utama FNKSDA juga segelintir orang kaya yang berkuasa penuh atas kekayaan alam Indonesia. Atau, dalam istilah Kiai Said Aqil, orang-orang yang menjadi kaya raya karena mendapat kesempatan di era Orde Baru Presiden Soeharto. Kekayaan itu digunakan untuk kepentingan politik di era reformasi ini.
FNKSDA sudah jauh melangkah sebelum Kiai Said berpidato di Cirebon beberapa hari lalu. Tidak hanya menyerang sistem negara kapitalis dan kelompok oligarkis, tetapi juga bersuara soal Hak Asasi Manusia, isu-isu lingkungan hidup, hukum, dan advokasi.
Pidato kebangsaan Kiai Said Aqil tersebut dapat dibaca sebagai satu langkah lebih maju dan berani, untuk fokus melawan intoleransi ekonomi, bukan saja intoleransi beragama, terorisme dan radikalisme. Satu langkah lebih maju dalam menerjemahkan Pancasila dan Kebinekaan.
Terminologi “intoleransi ekonomi” yang Kiai Said Aqil perkenalkan ditujukan untuk mengajak kaum muda Nahdliyyin berjuang lebih masif di “medan-medan baru”, di luar wacana pluralisme, radikalisme, terorisme. bahkan, pidato kebangsaan Kiai Said dimaknai sebagai seruan kepada Nahdliyyin untuk menggarap domain-domain perjuangan yang belum tersentuh selama ini.
Hemat penulis, setidaknya terdapat beberapa medan baru, seperti ekonomi kerakyatan, isu lingkungan hidup, isu maritim, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di daerah-daerah 3 T (terluar, terdalam, dan terdepan). Jamaah Nahdliyyin harus bangkit melawan “intoleransi ekonomi” yang terjadi dalam bidang-bidang ini.
Ada benarnya Rocky Gerung mengkritik pemerintahan Jokowi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak paham Pancasila.
Sebab, kebijakan menteri Jokowi ingin menghapus syarat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) demi memuluskan investasi.
Atau, kritiknya atas Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sebagai politikus ulung yang tidak punya bakat keahlian menangani urusan maritim.
Di era Jokowi, urusan maritim digabung dengan urusan investasi. Jadi, LPB sejatinya mengurusi urusan investasi di bidang maritim. Artinya, kekayaan alam laut kita adalah ladang subur investasi. Apabila jamaah Nahdliyyin lalai dan abai akan perkara ini, maka kelompok oligarki itu lagi yang akan mengeruk keuntungan.
Lihatlah pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Arif Toha mengatakan, “sebagai negara maritim, Indonesia menjadi lokasi strategis dalam rute perdagangan dunia mengingat 90 persen perdagangan internasional melalui jalur laut dan sebagian besar melewati wilayah perairan Indonesia,”
Di lain sisi, ternyata pemerintah kita menjalin kerja sama dengan mantan kolonial, Belanda, dalam rangka mengembangkan perdagangan dan investasi di sektor maritim. Penulis rasa, FNKSDA mestinya didukung oleh komunitas-komunitas pemuda Nahdliyyin yang lebih banyak, yang bergerak di ranah-ranah berbeda, termasuk ranah maritim ini.
Intoleransi ekonomi juga terjadi dalam konteks isu pembangunan wilayah-wilayah 3T. Misalnya, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) melihat kelalaian pemerintah memperhatikan nasib guru-guru di wilayah 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar.
Mengapa guru-guru seperti ini diabaikan? Jawabannya karena cara pandang pemerintah dalam mengelola negara berdasarkan pertimbangan kapitalistik, untung dan rugi. Bagi pemerintah, tidak ada untung besar mengalokasikan anggaran besar untuk membangun daerah-daerah dengan kategori 3T tersebut.
Jamaah Nahdliyyin harus ambil peran dalam mengontrol kebijakan pemerintah di segala sektor. Dan ceramah Kiai Said Aqil yang berisi kritik terhadap pemerintahan Jokowi harus dijadikan simbol peresmian perang melawan intoleransi ekonomi di segala bidang dan lini kehidupan.
Selain itu, para kiai dan politisi yang hadir, seperti KH Cecep Abdullah Syahid (Pengasuh Pesantren Al-Falah, Bandung), KH Aziz Hakim (Ketua PCNU Kabupaten Cirebon), dan Muhammad Luthfi (Ketua DPRD Kab. Cirebon), dapat dijadikan representasi dimulainya perang oleh NU dalam melawan negara kapitalis-oligarkis.
Sebagai penutup, penulis sampaikan pandangan Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf tentang kapitalisme. Menurutnya, syariat Islam bertentangan dengan kapitalisme dalam banyak hal. Islam menentang penumpukan harta, ketidakadilan distribusi kekayaan, persaingan bebas, monopoli.
La yumkin al-qawl bi anna nizham al-islam al-iqtishadi nizham ra’sumali aw isytiraki, sampai kapanpun, sistem ekonomi Islam tidak akan pernah berupa kapitalisme ataupun sosialisme (Juz Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985: 514). Bagi NU, Anti-Kapitalisme adalah Harga Mati!
*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept Politic and Strategy, Universiti Malaya Dept International Stategic and Depence, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
*sebelumnya dimuat oleh tribunnews.com