MPR dan Tumpang Pitu
Oleh: Rosdi Bahtiar Martadi
Hingga hari ini saya tidak pernah menjadi anggota partai. Sampai hari ini pun saya juga tak pernah melibatkan diri dalam tim sukses apapun, baik itu tim sukses caleg, capres, cabup, maupun cagub. Bukan karena tidak ada yang menawari, tapi karena saya belajar untuk setia kepada sikap yang telah saya pilih. Pilihan untuk bersikap nonpartisan. Dan pilihan untuk senantiasa setia di “tepian”.
Pun dalam pilpres yang berlangsung bJuli 2014 lalu, saya bukan relawan pro-Prabowo, serta bukan pula relawan pro-Jokowi. Apalagi dalam hal-ikhwal Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, saya bukan pendukung juga bukan bagian ekstra-parlementer dari dua koalisi tersebut.
Saya hanya warga sipil biasa yang kali ini resah. Sebagai anak Banyuwangi, saya gelisah karena Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019 akhirnya dinahkodai oleh Zulkifli Hasan yang nota bene merupakan mantan Menteri Kehutanan yang telah tega mengubah status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (Kec. Pesanggaran, Kab, Banyuwangi, Jawa Timur) menjadi hutan produksi.
Lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang bernomor SK 826/Menhut –II/2013 tertanggal 19 November 2013, Zulkifli Hasan telah mengubah Hutan Lindung Gunung Tumpang pitu menjadi hutan produksi dengan luasan 1.942 ha. Penurunan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ini lahir karena didorong oleh usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dalam surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012, Bupati Anas mengusulkan perubahan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu kepada Menteri Kehutanan. Usulan yang diajukan Bupati Banyuwangi tersebut luasnya 9.743,28 ha. Luasan penurunan status hutan lindung yang diusulkan Bupati Banyuwangi ini 5 kali lebih luas dari luasan yang disetujui Menteri Kehutanan waktu itu, Zulkifli Hasan.
Tentu tak ada asap jika tak ada api. Begitu juga dengan pengubahan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Pengubahan status ini muncul bukan tanpa sebab. Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu diturunkan statusnya menjadi “sekadar” hutan produksi karena adanya rencana eksploitasi emas. Selain itu, pengubahan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu menjadi hutan produksi ini ditujukan untuk memudahkan penerapan metode open pit mining (tambang terbuka), lantaran Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang praktek open pit mining di hutan lindung.
Menambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu—terutama dengan cara open pit mining—adalah tindakan bahaya, karena kawasan Tumpang Pitu dan sekitarnya masuk dalam kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Tercatat pada 3 Juni 1994 kawasan Tumpang Pitu—terutama Dusun Pancer, Desa Sumber Agung, Pesanggaran, Banyuwangi—telah luluh lantak diterjang tsunami. Logikanya, jika menambang di dalam KRB adalah tindakan bahaya, maka semua tindakan negara yang memudahkan terjadinya penambangan di dalam KRB juga termasuk tindakan bahaya, tak terkecuali penandatanganan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK 826/Menhut –II/2013 oleh Zulkifli Hasan di atas.
Pengubahan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu demi eksploitasi emas adalah tindakan yang teramat beresiko mengingat Tumpang Pitu sebagai hutan lindung juga merupakan kawasan resapan air. Tindakan ini tentulah akan berpengaruh terhadap ekologi Tumpang Pitu dan warga Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi yang lebih dari 80 persen penduduknya bekerja sebagai petani.
SK 826/Menhut –II/2013 yang ditandatangai Zulkifli Hasan akan merusak fungsi hidrologi Tumpang Pitu sebagai kawasan resapan air, karena SK 826/Menhut –II/2013 akan memberi restu bagi PT Bumi Sukses Indo (PT BSI) untuk mengupas tanah Gunung Tumpang Pitu sebanyak 41.095,89 ton setiap hari. Jika tanah sebanyak itu diangkut oleh truk tangki BBM berkapasitas 5.000 liter, maka itu berarti tanah Gunung Tumpang Pitu akan diangkut sebanyak 8.219 truk per hari. Jika sampai hal tersebut terjadi, tentu hal ini merupakan ancaman serius bagi pertanian di sekitar Gunung Tumpang Pitu.
Ancaman serius bagi dunia pertanian ini juga akan diperparah dengan jumlah air yang akan dihisap oleh perusahaan tambang. Dalam proses pemurnian emas, perusahaan tambang emas akan membutuhkan air dalam jumlah sangat besar, begitu pula halnya dengan perusahaan tambang emas seperti PT BSI. Pada tahun 2008 Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pernah melakukan kajian kebutuhan air untuk pemurnian emas Tumpang Pitu. Dalam kajian tersebut diperoleh informasi, jika negara mengijinkan perusahaan tambang mengeksploitasi emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu, maka perusahaan tersebut akan menghisap air sebanyak 2,038 juta liter setiap harinya.
Hisapan air sebanyak 2,038 juta liter per hari ditambah dengan jumlah kerukan tanah sebanyak 8.219 truk per hari, tentulah akan menjadi horor bagi dunia pertanian Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Dan tak pelak, hal ini juga akan jadi problem serius bagi kebutuhan air warga sekitar Tumpang Pitu.
Tak hanya manusia saja yang mengemban tugas yang diamanatkan undang-undang, Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu sebenarnya juga memikul “tugas”. Jika merujuk kepada Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka kita akan tahu bahwa “tugas” Tumpang Pitu sebagai hutan lindung adalah sebagai kawasan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Saya yakin, sebagai Menteri Kehutanan (pada saat itu), Zulkifli Hasan juga mengetahui apa “tugas” ekologis Tumpang Pitu sebagai hutan lindung. Saya juga yakin, jika Zulkifli Hasan mahfum pula jika “tugas” ekologis Tumpang Pitu tersebut dilindungi oleh Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tetapi sayangnya, bukan malah memperkuat “tugas” ekologis Tumpang Pitu sebagai hutan lindung, Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan justru menghabisi fungsi ekologis Tumpang Pitu. Demi kemilau emas—yang bukan sumber daya berkelanjutan—Zulkifli Hasan telah sampai hati mengubah Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu menjadi hutan produksi, dan episode berikutnya dengan mudah bisa ditebak, yakni menyulap Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu menjadi kubangan limbah tambang.
Memang jabatan Ketua MPR (yang sekarang dipegang Zulkifli Hasan) bukanlah jabatan eksekutif yang secara eksekusional bisa langsung mengubah hutan lindung menjadi kawasan tambang. Pun, jabatan Ketua MPR bukan jabatan eksekutif yang secara langsung dan eksekusional bisa mendegradasi ekologi Banyuwangi, ataupun ekologi Indonesia secara keseluruhan. Namun, menyerahkan lembaga negara seperti MPR untuk dipimpin oleh seorang pemberangus fungsi ekologi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu sungguh merupakan tindakan yang meminggirkan aspek lingkungan. Menitipkan MPR untuk dipimpin oleh pengobral ijin alihfungsi hutan lindung adalah tindakan yang berbenturan dengan kenyataan ekologis bahwa Indonesia adalah salah satu pemilik hutan tropis terbesar serta merupakan salah satu negara mega-biodiversitas terbesar di dunia.
Memilih pemimpin lembaga negara seperti MPR tentu teramat riskan jika hanya melandaskannya kepada aspek kecakapan organisatoris, kekuatan jaringan, kekuatan lobi, dan kalkulasi politik praktis belaka. Sebagai negara yang tengah berkutat dalam krisis keteladanan, tentulah Indonesia butuh pemimpin yang berintegritas, berrekam-jejak baik, dan memiliki keteladanan.
Kini, saya tak hanya gelisah karena MPR dipimpin oleh seorang mantan Menteri Kehutanan yang gemar mengalihfungsi hutan lindung, tetapi saya gagal memahami apa isi kepala “wakil-wakil” saya yang ada di MPR sana. Apa isi kepala para anggota MPR itu hingga mereka mempercayakan jabatan Ketua MPR kepada mantan Menteri Kehutanan yang telah merestui Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu menjadi kawasan tambang?
Entahlah apa isi kepala mereka. Yang saya tahu, semua anggota MPR itu adalah manusia-manusia Indonesia yang memakan makanan dari hasil pertanian yang pengairannya ditopang oleh keberadaan hutan lindung sebagai kawasan resapan air. Karena itu wajar jika anggota MPR seharusnya memiliki kepekaan ekologis, khususnya kepekaan terhadap hutan lindung. Kepekaan ekologis seorang anggota MPR secara implementatif sebenarnya bisa diwujudkan dengan cara tidak memilih Ketua MPR yang rekam-jejaknya justru menodai kelestarian hutan Indonesia. Namun fakta di gedung kura-kura itu berkata sebaliknya.
Terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai Ketua MPR membuat saya bertanya: apakah kita sebagai bangsa telah kehabisan stok pemimpin yang berintegritas, berrekam-jejak bersih, dan memiliki keteladanan? Ataukah soal keselamatan warga dan problem ekologi memang harus kalah dengan syahwat politik praktis?
Sebagai warga negara biasa, akhirnya saya hanya bisa berharap, semoga saja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tak berubah menjadi Majelis Pengalihfungsian Rimba (MPR). Dan semoga pula tidak semakin banyak hutan lindung yang “diamandemen” jadi kawasan tambang.
Sebagai anak Banyuwangi, dengan setengah skeptis saya berharap semoga terpilihnya Zulkifli Hasan tidak menjadi mimpi buruk bagi kelestarian Hutan Lindung yang memang sedang terancam oleh rencana eksploitasi emas.
Semoga.
Banyuwangi, 8 Oktober 2014
Penulis aktif di Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL).