Browse By

Pernyataan Sikap FNKSDA Makassar: Solidaritas untuk Tiga Petani Soppeng yang Dikriminalisasi

Gambar solidaritas dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِي

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ

وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ

لظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا

Mengapa kamu tidak  mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang  semuanya berdoa : Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau

ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ٱللَّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ

Di tengah ancaman Covid 19 yang semakin membabi buta  negara semestinya menjamin serta memastikan seluruh hak-hak hidup masyarakat agar bisa terpenuhi, ternyata situasi darurat seperti ini tidak menghentikan perbuatan negara yang selalu mengkriminalisasi petani.

Pada hari Selasa, 9 Januari 2021, Pengadilan Negeri Kabupaten Soppeng  menjatuhkan vonis tiga bulan  kepada  tiga petani Soppeng yaitu Natu bin Takka (75), Ario Permadi bin Natu (31), dan Sabang bin beddu (47). Ketiga petani asal Soppeng tersebut dijerat dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H).

Namun faktanya para terdakwa menebang pohon jati di kebunnya sendiri yang dikelola secara tradisional dan turun temurun, pohon yang ditebang untuk keperluan membangun rumah demi memperthankan hidup, bukan untuk kepentingan komersil.  Bahkan Pak Natu sendiri aktif membayar pajak sejak tahun  1997 sampai dengan tahun 2020.

Klaim kawasan hutan lindung atas wilayah kelola rakyat menjadi pintu masuk bagi negara untuk mengkriminalisasi petani, klaim sepihak yang dilakukan oleh negara tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat yang hidup di sekitar hutan ialah bentuk ketidakseriusan negara dalam menjalankan agenda reforma agraria.

Kriminaliisasi petani hutan justru bertolak belakang dengan agenda reforma agraria jokowi melalui program  Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dimana  4,1 juta Ha kawasan hutan didistribusikan kepada rakyat namum sampai saat ini belum terealisasi.

Di Sulawesi Selatan sendiri terdapat 3030 desa/kelurahan dimana terdapat 1028 desa yang masuk dalam klaim kawasan hutan atau sekitar 2,6 juta pendudukuk yang ruang hidup dan wilayah kelolanya  masuk dalam klaim kawasan hutan dan 23 ribu jiwa penduduk Soppeng mempertaruhkan hidup di dalam klaim kawasan hutan. Dari fakta tersebut menunjukan bahwa kriminalisasi yang menimpa tiga petani Soppeng tidak menutup kemungkinan akan dialami oleh petani-petani lain yang sumber penghidupannya masuk dalam klaim kawasan hutan.

Jauh sebelum penunjukan kawasan hutan, tiga petani Soppeng ini sudah lama mengelola hutan tersebut secara turun temurun, berladang secara tradisional serta mempertahankan keseimbangan alam dengan kearifan lokal yang  mereka miliki.  Vonis yang dijatuhkan kepada Tiga petani Sopeng sangat mencederai rasa kemanusiaan. Padahal dalam pasal 1 angka 6 UU P3H terdapat pengecualian terhadap masyarakat yang tinggal sejak lama di kawasan hutan menggantungkan hidup pada sumber daya hutan dan berladang secara tradisional atau menebang kayu untuk keperluan mempertahankan hidup bukan untuk komersil.

Hal ini juga diperkuat oleh Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 yang pada dasarnya menyatakan bahwa ketentuan pidana kehutanan dikecualikan bagi masyarakat yang secara turun temurun hidup dan menggantungkan hidup didalam kawasan hutan. Secara garis besar, ketiga petani soppeng yaitu Natu bin Takka, Ario Permadi bin Natu dan Sabang bin Beddu memiliki Hak untuk mempertahankan kehidupan serta meningkatkan taraf hidup mereka karena kayu jati yang diambil dikebun mereka sendiri untuk  keperluan membangun rumah demi keberlangsungan hidup.

Hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28 A: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehiduupannya.” Di UUD 1945 pasal 33 ayat 3 secara implisit mengatakan rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola sumber daya alam.

Kemudian diperjelas juga dalam UU 39 Tahun 1999 pasal 11: “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.” Bahwa ketiga petani Soppeng mengambil kayu jati untuk membangunn rumah merupkan bagian dari pemenuhan kebutuhan dasarnya yaitu “kebutuhan papan.”

Dalam situasi seperti ini dan atas nama hak hidup, ketiga petani Soppeng termasuk kaum Mustadhafin yang rentan, dalam Islam sendiri menekankan agar kita mengutamakan maqashid syariah dimana salah satunya adalah hifdunnafs (memelihara hidup).

Sangat jelas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh  Negara terhadap ketiga petani soppeng. Maka dari itu kami mengecam serta menolak putusan majelis hakim PN Watansopppeng atas vonis yang dijatuhkan kepada Pak Natu bin Takka dkk, serta mendukung secara penuh perjuangan petani-petani tradisional dalam mempertahankan wilayah kelola mereka yang masuk dalam klaim kawasan hutan.

والله الموفق إلى أقوم الطريق

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Narahubung :

Altriara Pramana Putra Basri

082330827275

Koordinator FNKSDA Makassar  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *