Analisis DPSIR terhadap Sumber Daya Air di Kota Yogyakarta dan Sekitarnya
Ringkasan Eksekutif:
Dokumen ini menganalisis kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan kerangka Driving force-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR). Hasil analisis menunjukkan driver berasal dari sektor populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan individu, serta manajemen data.
Faktor-faktor driver yang disebutkan di atas memberikan tekanan (pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air. Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari pemerintah daerah justru kontraproduktif karena memicu mobilisasi permohonan izin pendirian hotel yang baru. Hal ini berarti penambahan pressure terhadap sumber daya air. Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan individu di sektor ini yang lemah.
Tekanan-tekanan di atas pada gilirannya menghasilkan kondisi (state) berupa penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Di bidang institusi, terlihat bahwa tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer Merapi sebagai sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di ketiga daerah ini juga sangat lemah.
Tekanan-tekanan di atas pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh. Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi.
Tanggapan (response) kreatif terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan sekitarnya. Sementara, dalam skop lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas, tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani lahan pasir di sekitar Yogyakarta.
Ke depan, dokumen ini merekomendasikan berbagai hal untuk para pihak terkait, yaitu pembatalan pembangunan mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta; pendirian badan otoritatif untuk mengurus akuifer Merapi; pengusutan (indikasi) korupsi di sektor sumber daya air; pemenuhan hak asasi manusia atas air; menggalakkan riset di sektor air; serta melakukan pendidikan ideologis untuk membangun kesadaran warga tentang posisi warga sebagai subyek dan kemelekan terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan institusional di sektor ini.
Dokumen lengkap dapat diunduh di: Analisis DPSIR terhadap Sumber Daya Air di Yogyakarta dan sekitarnya