Bukan Zamannya Indonesia Impor dan Sengsarakan Petambak Garam
Siaran Pers Bersama
Perkumpulan Petambak Garam Indonesia
Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Sumenep, 18 September 2014. Sebanyak 11 kelompok petambak garam dari 11 sentra produksi garam kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah bermusyawarah mengenai hajat hidupnya dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Garam Indonesia dan Kendala Kesejahteraan Petambaknya” di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, pada tanggal 15-18 September 2014. Mereka mendesak Presiden terpilih Jokowi untuk merevisi kebijakan pergaraman menjadi satu pintu, menghentikan praktek impor dan sungguh-sungguh menyejahterakan petambak garam di Indonesia.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, “Garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Membuka kran impor dengan mengabaikan partisipasi petambak garam nasional hanya akan berakibat pada bergantungnya bangsa Indonesia kepada bangsa-bangsa lain. Padahal, garam sebagai salah satu komoditas pangan merupakan hidup matinya sebuah bangsa”.
Data Badan Pusat Statistik (Agustus 2013) menyebut impor garam berasal dari Australia sebesar 128,7 ribu ton atau US$ 5,73 juta, Selandia Baru 143 ton atau US$ 60,3 juta, Jerman 35 ton atau US$ 26,8 ribu, Denmark 44 ton atau US$ 17 ribu dan negara lainnya dengan total 124 ton atau US$ 26 ribu.
Tingginya kuota impor mesti dikoreksi. Apakah kran impor tidak bisa ditutup? Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) menemukan fakta produksi garam nasional mengalami kenaikan. Dari tahun 2011 sebesar 1,621,594 ton menjadi 2,473,716 ton (2012). Kenaikan ini mestinya menutup kran impor. Di saat yang sama, pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tambak garam. Bukan semata urusan produksi, melainkan teknologi, pengolahan, dan pemasarannya.
Sarli, Sekjen Perkumpulan Petambak Garam Indonesia menambahkan, “Tak kalah penting kemudian adalah mengharuskan industri menyerap garam lokal. Apalagi terdapat 3 kementerian yang memiliki kewenangan pengelolaan dan perdagangan garam minus koordinasi, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Ini pula yang harus dikoreksi”.
Garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Selain sebagai bumbu penyedap masakan, ternyata garam memiliki banyak kegunaan, di antaranya kesehatan tubuh, kecantikan, dan kebersihan. “Mengingat betapa pentingnya garam bagi kehidupan bangsa Indonesia, maka praktek perbudakan yang terjadi di tambak garam harus ditindaktegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bentuk perbudakan yang terjadi antara lain: (1) upah di bawa UMR; (2) jam kerja yang melebihi batas tanpa insentif; dan (3) terjadinya tindak kekerasan fisik dan psikis kepada buruh tambak,” tegas Kyai Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Kepala Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep”.
Sebagai negeri yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia, tak pantas jika impor terus membanjiri pasar dalam negeri dan menyengsarakan petambak garam nasional.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Sarli, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petambak Garam Indonesia di +62 813 1317 7626
Waji Fatah Fadhillah, Dewan Presidium Perkumpulan Petambak Garam Indonesia di +62 812 2165 104
Kyai Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Kepala Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep di +62 811 315 132
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259