Browse By

Assalamualaikum, PBNU!

Jauh sebelum menyambut hangat tawaran izin aturan pemberian konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan oleh Jokowi, NU (Nahdlatul Ulama) sebenarnya punya beberapa produk hukum yang cukup progresif atas problem kerusakan lingkungan hidup hasil bahtsul masail baik yang digelar di dalam Musyawaroh Nasional Alim Ulama (Munas), Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama), maupun Muktamar.

Jika langkah PBNU di bawah Gus Yahya hari ini tak mau disebut a historis dalam membela kaum mustadl’afin dan warga Nahdliyin yang telah lama dan berkali-kali menderita di banyak tempat akibat pertambangan, harusnya dalam menyikapi tawaran Jokowi tersebut PBNU berkaca ke beberapa produk hukum tentang lingkungan hidup yang pernah ia produksi. Berikut beberapa yang berhasil kami catat:

Munas dan Konbes NU Bandar Lampung, pada 21-25 Januari 1992

Pembahasan utama dalam forum ini adalah soal akuisisi tanah rakyat untuk kepentingan umum. Jawaban atas persoalan tersebut adalah diperbolehkan penggusuran lahan oleh pemerintah demi kepentingan umum (al-maslahah al ‘ammah), dengan syarat betul-betul pemanfaatannya bagi kepentingan umum yang dibenarkan syara’ dan ganti rugi yang memadai. Namun ini masih menyisakan pertanyaan di benak banyak peserta forum lantaran diktum kepentingan umum untuk pembangunan ternyata banyak menimbulkan ekses dan selubung saja demi menutupi kepentingan beberapa oknum.

Muktamar NU ke-29 Cipasung, Jawa Barat, pada 1-5 Desember 1994

Dua tahun setelahnya, Muktamar NU ke-29 digelar di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Muktamar yang digelar di pesantren asuhan KH. Ilyas Ruhiyat (Rais Aam PBNU, 1922-1999), menetapkan bahwa merusak lingkungan hidup hukumnya haram dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal (jinayah), alias masuk dalam hukum positif. Cikal bakal gagasan Fiqh al-biah dalam tradisi budaya NU dapat dikatakan lahir dalam muktamar ini.

Munas NU Ponpes Qomarul Huda Bagu, Pringgarata Lombok Tengah, NTB, pada 17-20 November 1997

Bahasan utama Munas ini adalah seputar pembebasan tanah, baik oleh pemerintah maupun swasta yang disokong pemerintah, baik untuk kepentingan umum maupun bisnis semata, namun tidak disertai dengan ganti rugi yang memadai. Hasilnya, bahwa pembebasan tanah dengan ganti rugi yang tidak memadai serta tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim. Apabila pembebasan tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut syara’, dengan ganti rugi yang memadai, maka hukumnya boleh sekalipun tanpa kesepakatan. Dan apabila pembebasan semacam itu diperuntukkan bisnis, maka keuntungan darinya adalah haram.

Muktamar NU ke-30 PP. Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 21-27 November 1999

Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah dalam Muktamar ini membahas salah satunya persoalan ihya’ul mawat (menghidupkan tanah). Yang menjadi deskripsi masalah kurang lebih, Si A telah bertahun-tahun, bahkan turun temurun menempati tanah negara. Belakangan datang si B kepada si A dan memintanya untuk mengkosongkan tanah tersebut, karena sebelumnya permohonan B pada pemerintah untuk memiliki tanah tersebut dikabulkan. Untuk meyakinkan si A, si B memperlihatkan bukti kepemilikan tanah yang sah. Pertanyaannya, manakah yang berhak atas tanah tersebut? Yang lebih berhak atas tanah tersebut adalah orang yang lebih dulu menguasai tanah tersebut dengan menunjukkan alat bukti yang sah.

Muktamar NU ke-33 Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015

Pada Muktamar Jombang, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan negara maupun swasta disikapi secara serius oleh PBNU lantaran sedikit sekali manfaat dari bisnis ini untuk kepentingan rakyat luas. Yang terjadi justru kerusakan alam yang dahsyat akibat aktiviatas ini, dan tentu tidak bisa dibenarkan secara syar’i. “Letak keharamannya itu bukan pada sisi legalitas atau izin pemerintah, tetapi pada dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkannya,” KH. Ishomuddin.

Muktamar NU ke-34 Lampung, pada 22-24 Desember 2021

Salah satu yang dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar ke-34 NU, adalah hukum pengambilan tanah rakyat oleh negara. Bagaimana hukumnya secara syariat perampasan tanah yang sudah ditempati rakyat selama bertahun-tahun yang belum mendapatkan rekognisi status kepemilikannya oleh negara? Komisi Waqi’iyyah Muktamar mengharamkan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh negara ini. Hukum perampasan tanah yang sudah ditempati rakyat oleh negara ditafshil (dirinci): Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha’ (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut.

Sikap PBNU yang Kontradiktif

Sikap PBNU yang menyambut hangat aturan yang mengizinkan organisasi keagamaan mengelola tambang tentu a historis dan patut dicurigai. Pernyataan Gus Yahya yang menyebut bahwa NU membutuhkan pertambangan sebagai salah satu sumber pemasukan (revenue) tak bisa kita percaya secara mentah-mentah.

Pernyataan Gus Yahya salah kaprah. Jika memang PBNU menghendaki kemandirian ekonomi organisasi melalui bisnis tambang—yang jelas-jelas hukumnya telah ia haramkan karena merusak lingkungan pada muktamar Jombang 2015 lalu, itu tidak akan berarti banyak tanpa diiringi dengan kemandirian jamaahnya, yakni warga Nahdliyin yang sebagian besar merupakan para petani kecil, petani tuna kisma, buruh upahan, yang secara umum bisa dikategorikan sebagai apa yang kerap disebut dengan kaum mustadl’afiin. Cita-cita kemandirian NU secara jam’iyah harus dibarengi dengan secara jamaah.

Sikap PBNU semakin kontradiktif ketika kita melihat ke tapak. Di banyak tempat, yang menanggung akibat kerusakan lingkungan akibat pertambangan bukan elit PBNU tentu saja, melainkan rakyat di wilayah pertambangan atau bisa jadi mayoritas warga Nahdliyin sendiri seperti yang terjadi di Tumpang Pitu, Kendeng, Wadas hingga Trenggalek dan masih banyak lagi di tempat lain. Mereka selama ini mesti menghadapi destruktifnya industri pertambangan sendirian, tanpa kehadiran PBNU, organisasi keagamaan yang selama ini mereka bangga-banggakan dan elu-elukan petuah serta keberpihakannya.

Padahal, faktanya, selama ini yang berperan secara dominan dalam membesarkan NU sebagai sebuah jam’iyyah adalah mereka para kiai dan ustadz kampung, ibu nyai pengurus majelis taklim, guru madrasah, imam musholla dan segenap warga Nahdliyin akar rumput yang bahkan jadi korban tambang. Sebagian besar dari mereka adalah petani dan kelas pekerja.

Jual-Beli Elit PBNU dan Rezim Saat Ini Demi Legitimasi Bisnis Kotor Pertambangan

Suka cita elit PBNU dalam menerima aturan izin konsesi pertambangan bagi ormas mesti kita tautkan hubungannya dengan kepentingan ekonomi-politik yang negara butuhkan pada ormas ini. Sepanjang rezim Jokowi, bisnis kotor pertambangan telah banyak ditolak kalangan aktivis, dilucuti boroknya oleh media hingga dikutuk oleh warga terdampak secara langsung. Bahkan bisnis ini sebenarnya telah banyak ditinggalkan para pihak. Bank dan institusi keuangan global mulai berpikir dampak kerusakan lingkungan dalam ongkos produksi pertambangan.

Berdasarkan itu, apa yang belum berhasil Jokowi lakukan dalam bisnis tambang sebenarnya adalah mendapatkan legitimasi, dan itu bisa ia dapatkan melalui PBNU yang selama ini direpresentasikan sebagai ormas setengah penduduk Indonesia. Dan dalam meneken aturan izin pertambangan untuk ormas keagamaan, ada tangat elit negara yang menjembatani semuanya.

Sudah jadi rahasia umum, kita pasti tahu bahwa tidak ada yang namanya makan siang gratis dalam dunia perpolitikan. Tidak perlu menunggu waktu yang lama gelagat timbal balik yang harus elit PBNU lakukan pada rezim Jokowi sudat mulai terlihat. Baru pada Kamis (6/6) kemarin, Gus Yahya mengatakan bahwa perusahaan tambang PBNU akan menjadi kegiatan tambang berkelanjutan.

Perlu diketahui, jumlah izin tambang di Indonesia saat ini tak kurang dari 8.000 izin, yang cakupan luas konsesinya lebih dari 10 juta hektar. Keterlibatan ormas semacam PBNU bakal semakin merperburuk kondisi lingkungan hidup sekaligus berpotensi menghadapkan pegiat lingkungan dalam posisi yang berhadapan dengan ormas keagamaan. Apabila ini terjadi, artinya negara memfasilitasi konflik horizontal. Narasi keagamaan akan turut serta dalam perusakan alam, alih-alih mendesak kehidupan yang lebih lestari.

Apa yang Idealnya Warga Nahdliyin Lakukan?

Warga Nahdliyin tak perlu latah ikut-ikutan merayakan suka cita PBNU dalam menerima aturan izin konsesi pertambangan. Bisnis ini adalah bisnis kotor yang ironisnya pernah PBNU haramkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang pada 2015. Letak keharamannya bukan pada legalitas atau izin pemerintah, tetapi ada pada dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Bahkan jauh sebelum itu, pada Muktamar ke-29 di Cipasung pada 1994, ditetapkan bahwa merusak lingkungan hidup hukumnya haram dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal (Jinayah).

Sikap elit PBNU sudah tidak patut lagi merepresentasikan kondisi warga Nahdliyin terutama korban tambang dan akar rumput yang selama ini ditindas oleh sistem yang sewenang-wenang, pun sama sekali mereka tidak layak merepresentasikan kalangan cendekiawan dan aktivis Nahdliyin yang selama ini menolak pertambangan demi kehidupan yang lebih bersih dan berkeadilan bagi rakyat akar rumput.

Dalam soal pertambangan, warga Nahdliyin mesti tetap menjadikan produk hukum hasil bahtsul masail pro kelestarian lingkungan sebagai kompas moral kita. Sikap elit PBNU dalam soal pertambangan sudah tidak perlu ditaati kembali apapun alasan di baliknya karena hanya menimbulkan kemaksiatan berupa keterlibatan mereka dalam industri tambang yang mempercepat kerusakan lingkungan.

Warga Nahdliyin dapat bersandar pada hadis Nabi yang mengatakan:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الله، إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْف

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari No. 7252 dan Muslim No. 1840, lafadz hadis ini milik Imam Muslim).

Adalah kebohongan besar jika ada yang masih berkilah mengatakan bahwa ada pertambangan yang ramah lingkungan dan tidak merugikan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *