Browse By

Kajian Awal Situasi Regional: Pengantar Halaqah Lingkungan FNKSDA Komda Semarang

Ruang hidup di Jawa Tengah seringkali dipandang dan diperlakukan dengan kacamata kapitalistik oleh pemerintah. Dalam kajian awal situasi regional ini, FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) Komda (Komite Daerah) Semarang mencatat beberapa sebaran wilayah perampasan ruang hidup, diantaranya: Urutsewu, Kendeng, Tambakrejo, Rawa Pening, Banjarnegara, Wadas, dan Surokonto. Tentu ini bukan data secara keseluruhan, masih banyak wilayah lain yang belum tercatat dan terjangkau oleh kami.

Tercatat ada sebanyak 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang rencananya didirikan di Jawa Tengah. Enam diantaranya bendungan, salah satunya adalah Bendungan Bener di Purworejo, yang dalam beberapa waktu lampau proyek ini menghadapkan warga Wadas yang gigih memperjuangkan ruang hidupnya berhadapan langsung dengan negara. Luas lahan Desa Wadas akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai sekitar 145 hektare. Konsekuensinya, 28 titik sumber mata air warga terancam rusak dan penambangan juga akan berdampak pada tanah Desa Wadas dan sekitarnya menjadi rawan longsor. Di Kendeng, warga berkali-kali ditipu oleh mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dan oleh gimmick pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meski pada tanggal 5 Oktober 2016 Mahkamah Agung telah mengabulkan Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan gugatan petani Kendeng dan mencabut Izin Lingkungan Pembangunan dan Pertambangan Pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Ganjar Pranowo mengeluarkan izin lingkungan baru pada 23 Februari 2017. Sampai saat ini operasi pabrik semen masih terus berlangsung. Sebagai akibatnya, pada awal Januari 2023 silam, banjir besar melanda wilayah Kabupaten Pati dan Kudus. Banjir ini bukan semata disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, melainkan karena terjadinya alih fungsi lahan dan peruntukan lahan yang tidak sesuai yang semakin masif, salah satunya yang terjadi di pegunungan Karst Kendeng.

Di pesisir Selatan Jawa, warga Urut Sewu sampai saat ini juga masih menghadapi klaim sepihak yang dilakukan oleh TNI AD. Tidak sedikit warga yang menjadi korban peluru nyasar latihan TNI AD, tanaman warga di ladang pertanian juga rusak diinjak-injak sepatu lars TNI AD.  Tak hanya itu, tragedi mematikan akibat aktivitas latihan prajurit TNI AD juga pernah terjadi beberapa kali. Pada 1997, 5 anak tewas yang diduga akibat ledakan mortir milik tentara. Pada 16 April 2011, warga Urut Sewu mengalami kembali penganiayaan yang dilakukan oleh TNI AD. Warga menolak latihan uji coba senjata TNI AD. Warga melakukan aksi sekaligus ziarah ke makam korban yang meninggal karena ledakan bom mortir beberapa tahun silam. TNI AD membongkar blokade warga. Akibat dari peristiwa itu, enam petani dijerat pasal perusakan dan penganiayaan, 13 orang luka-luka, enam luka tembakan peluru karet. Peluru karet dan timah panas itu semuanya mengenai para petani. Sebanyak 12 sepeda motor warga dirusak dan berbagai barang seperti handphone, kamera dan bahkan data digital dirampas paksa tentara. Kebrutalan inilah yang kemudian dikenal dengan Tragedi Urut Sewu.

Proyek tak ramah lingkungan juga menghantui masyarakat Banjarnegara, yang berhadapan dengan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Lokasi PLTP sangat dekat dengan pemukiman warga sehingga bukan hanya mengancam hak atas ruang hidup yang layak bagi warga seperti udara yang bersih dan tenang tanpa polusi suara industri, melainkan juga hilangnya mata air yang selama ini menjadi sumber penghidupan bagi ladang para petani dan sumber air bersih bagi kehidupan warga. Sejumlah insiden pernah terjadi, pada 2006, 2017, dan 2019. Terakhir, pada Maret 2022, terjadi kebocoran gas beracun hidrogen sulfida (H2S) di wellpad (tapak sumur bor) 28. Seorang pekerja tewas dan delapan lainnya dirawat di rumah sakit. Mata air Sethulu—yang selama ini menjadi sumber air bersih dan kehidupan bagi warga Desa Bakal, sebagian warga Karangtengah dan mengairi ribuan hektar lahan pertanian sekaligus memasok air bersih untuk desa sekitarnya seperti Desa Condong Campur dan Gembol—dan mata air lainnya juga terancam oleh proyek PLTP tersebut.

Di Rawa Pening, awalnya masyarakat tidak tahu menahu tentang revitalisasi Danau Rawa Pening. Tanah dan sawah rakyat diserobot negara demi memperluas Danau atas alasan revitalisasi akibat pendangkalan. Atas nama, lagi dan lagi, Proyek Strategis Nasional pemerintahan Jokowi, militer dilibatkan memasang patok di atas tanah milik ribuan keluarga. Mereka kini terancam kehilangan haknya. Perlu diketahui, Danau Rawa Pening masuk ke dalam 15 danau prioritas di Indonesia dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, yang diteken Jokowi pada 22 Juni 2021. Total area pemukiman yang dipatok seluas sekitar 300 hektare yang akan berdampak terhadap 2.000 keluarga. Beberapa tahun lalu, tepatnya 2 Mei 2016, masih lekat dalam ingatan masyarakat Surokonto Wetan, 3 warga ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menyerobot, menyuruh atau menggerakkan serta pemufakatan pembalakan liar (menggunakan hutan tak sah). Kriminalisasi ketiganya berawal saat lahan garapan mereka ditetapkan sepihak sebagai kawasan melalui SK Menhut tertanggal 17 April 2014. Penetapan kawasan hutan itu sendiri muncul setelah sebelumnya lahan garapan warga dijadikan objek lahan pengganti (tukar guling) kawasan hutan yang dipakai PT Semen Indonesia di Rembang untuk pabrik semen. Tukar guling lahan PT SI di Rembang jelas cacat hukum karena lahan pengganti di Kendal tak sesuai ketentuan tentang tukar menukar kawasan hutan. Di atas kertas, aturan Menteri Kehutanan menyatakan tukar guling harus lahan pribadi. Kenyataannya, itu adalah lahan milik negara. Sementara itu, masyarakat Surokonto Wetan sudah menggarap lahan perkebunan tersebut sejak 1952.

Kondisi yang tak kalah memprihatinkan juga dialami oleh masyarakat pesisir utara pulau Jawa, warga Tambakrejo. Digusur pada 9 Mei 2019 oleh Pemkot Semarang, sebagian warga Tambakrejo memilih untuk menetap di bantaran sungai—yang menjadi bagian dari proyek normalisasi Banjir Kanal Timur—atas alasan bahwa laut merupakan tempat bagi mereka mencari nafkah sebagai nelayan. Meski pada 2020 mereka mendapatkan hak bangunan pemukiman sementara yang didirikan oleh Pemkot, masa pakainya akan habis pada 2025. Tak hanya itu, mereka saat ini sedang menghadapi abrasi air laut yang semakin meninggi, tanah ambles sekitar wilayah Semarang yang setiap tahun mencapai 8-10 cm, dan wilayah tangkap ikan yang semakin menyempit lantaran berbatasan dengan wilayah PT. Pelindo yang semakin meluas. Diperparah juga dengan rancangan RTRW kota Semarang yang hendak menambah wilayah kampung bahari tapi tidak memasukkan wilayah Tambakrejo ke dalamnya. Oleh karena itu warga Tambakrejo semakin mendapati ketidakpastian atas ruang hidup yang layak. Warga Tambakrejo yang notabene hidup di pesisir pantai utara juga terancam pembangunan industri yang kian masif, tambang pasir laut, dan juga kebijakan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) baru-baru ini yang merencanakan bahwa pesisir Jawa Tengah akan menjadi area bagi penambangan pasir laut.

Logika Akumulasi Kapital, Rusaknya Ruang Hidup yang Layak dan Kemiskinan

Kebutuhan kapital atas lahan seperti pendirian PT. Semen Indonesia di Kendeng, pembangunan PLTP 1 dan 2 di Banjarnegara, revitalisasi Danau Rawa Pening—yang salah duanya bertujuan untuk menyuplai kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), hingga tukar guling lahan sebagaimana yang terjadi antara PT. Semen Indonesia di Rembang dan lahan hutan di Surokonto Wetan, bukan semata kebutuhan untuk membabat dan merampas ribuan hektare lahan pertanian dan perkebunan warga menjadi sasaran proyek pemerintah, lebih dari itu, supaya bisa menjadi sumber kapital yang baru. Kapitalisme selalu dan akan terus membutuhkan ruang investasi yang baru—sekalipun harus merampas ruang hidup masyarakat—apabila akumulasi kapital ingin berjalan dengan baik.

Dalam kacamata kapitalistik, ruang pertanian dan perkebunan di Jawa Tengah dilihat sebagai hal yang tidak efisien, tidak vital dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan kerja kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal-hal yang dianggap tidak bisa menyesuaikan diri akan dibiarkan mati, dipaksa mati bahkan dihukum mati dalam logika kapitalistik. Di atas kehancuran pertanian di Jawa Tengah, lahan-lahan pertanian dan hutan yang hijau diobral demi sesuatu yang baru bernama ekspansi industri. PLTP, PLTA Pabrik Semen dan PDAM hanyalah tiga di antara sederet industri-industri lain yang mengorkestrasi lahan pertanian dan perkebunan yang subur yang semula digarap oleh warga. Ekspansi kapitalistik tersebut juga dimuluskan oleh RTRW Jawa Tengah yang memberi karpet merah baik bagi PSN maupun proyek kawasan industri yang sekarang tersebar di banyak daerah pesisir pantai utara seperti di Batang, Kendal dan Semarang.

Pemisahan petani dari lahan garapannya seringkali dilakukan dengan cara-cara seperti pengusiran, perampasan dan perampokan lahan yang disahkan secara resmi oleh peraturan yang ada. Apa yang dimaksud oleh Marx sebagai akumulasi primitif dan proletarisasi sampai hari ini masih terus berlanjut. Akumulasi primitif merupakan bagian integral bagi ekspansi kapitalistik, ia adalah suatu proses perampokan lahan bersamaan dengan penciptaan tenaga kerja murah. Yang tersisa dari mereka yang tak lagi memiliki lahan hanyalah tenaga yang melekat pada tubuhnya. Ini menempatkan para petani pada kondisi tidak ada pilihan lain selain harus menjual tenaga kerjanya kepada kapitalisme.[1]

Di Jawa Tengah, tidak otomatis para petani yang tak lagi memiliki lahan bisa langsung menjadi buruh bagi kapitalisme, mereka terlempar terlebih dahulu dalam bursa cadangan buruh murah. Mereka bersaing dengan banyak buruh murah lain dari berbagai daerah dengan pengalaman kerja di bidang industri dan riwayat pendidikan yang lebih baik dibandingkan para petani. Kondisi ini menguntungkan bagi kapitalisme, yakni surplus tenaga kerja murah yang mengantri masuk dunia industri dan sumber daya alam berupa lahan serta bahan tambang yang sangat berharga baginya.[2]

Di sepanjang pesisir pantai utara Jawa, warga juga terancam oleh abrasi dan rob. Dalam kajian yang kawan-kawan Koalisi Maleh Dadi Segoro lakukan, amblesan tanah terutama di wilayah utara Semarang, membuat daerah tersebut semakin rawan terhadap banjir rob. Tambaklorok dan Tambak Rejo menjadi salah dua yang terdampak selain pesisir Demak (Sayung, Bonang, Timbulsloko). Hampir tiap tahunnya amblesan tanah yang terjadi di Semarang mencapai 8-10 cm. Semakin ke arah laut/pantai, amblesan yang terjadi semakin besar. Kombinasi antara kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim dan penurunan permukaan tanah di daratan Semarang semakin menambah kerentanan terjadinya rob.[3]

Sementara itu, ada banyak kecenderungan di media yang menyebut bahwa ekstraksi air tanah oleh pabrik di 8 kawasan industri di Semarang dan PDAM Tirta Moedal (sebagai BUMD), menjadi penyebab utama terjadinya amblesan tanah di Semarang. Padahal ini bukan lah penyebab tunggal. Ada faktor lain seperti pembangunan gedung dan industri yang begitu masif, yang kesalahannya tidak bisa dilimpahkan kepada masyarakat biasa. Selain itu, pembangunan TTLSD (Tol Tanggul Laut Semarang-Demak) dikhawatirkan juga akan mengubah arus laut yang akan bergerak ke Demak yang mengakibatkan tanah di kawasan Demak makin terabrasi.

Dengan demikian, para petani tanpa sarana produksi (tanah), warga terdampak limbah udara dan suara di sekitar industri, hingga warga pesisir di Jawa Tengah yang terancam oleh rob dan abrasi,  dibiarkan dalam kondisinya yang semakin tak berdaya menghadapi kapitalisasi dan komersialisasi seluruh aspek kehidupan di era kini. Akhirnya, mereka tergencet dalam lingkaran kemiskinan struktural yang tak berujung. Kebutuhan hidup yang semakin tidak masuk akal seperti naiknya BBM, mahalnya biaya pendidikan, lapangan tenaga kerja yang hanya terkonsentrasi di kota-kota besar, hingga rusaknya mutu kualitas lingkungan hidup menjadi momok sehari-hari yang menghantui warga Jawa Tengah.

Politisasi saat Pemilu dan Kekerasan Negara dalam Mengawal Investasi di Jawa Tengah

Sebagai provinsi dengan penduduk tertinggi ketiga di Indonesia (37 jiwa), Jawa Tengah selalu menjadi tempat perebutan lumbung suara tiap Pemilu tiba. Kontradiktifnya, angka perampasan ruang hidup dan represi terhadap aksi-aksi demonstrasi dalam mempertahankan ruang hidup yang layak di provinsi ini masih tinggi sebagaimana telah kami singgung sebelumnya. Jauh sebelum Pemilihan Presiden 2024 digelar, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang juga merupakan salah satu Calon Presiden, jelas-jelas berdiri di barisan yang mem-backing-i oligarki dan rezim.

Tentu kawan-kawan masih ingat apa yang terjadi di Wadas pada bulan ramadhan beberapa tahun silam, tepatnya tanggal 23 April 2021, ratusan aparat keamanan baik TNI maupun Polri yang bersenjata diterjunkan saat itu. Kedatangan mereka bermaksud untuk mengawal pemasangan patok dan sosialisasi terkait penambangan batuan andesit yang masih satu kesatuan dengan Proyek Strategis Nasional pembangunan Bendungan Bener. Karena jalan sudah dihadang warga, pihak aparat tetap memaksa masuk dan merusakan blokade warga. Warga yang dalam kondisi duduk bersholawat atas Nabi SAW sambil menghadang rombongan aparat, dibubarkan paksa menggunakan cara-cara kekerasan seperti menarik, mendorong hingga memukul warga termasuk ibu-ibu. Beberapa warga, kuasa hukum dan jaringan solidaritas ditangkap oleh aparat dalam tragedi ini.

Warga Kendeng juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh negara. Medio 2016an, warga bahkan seolah dibiarkan dalam konflik horizontal. Rumah-rumah warga Kendeng saat itu dipasangi pamflet pro atau tolak semen hingga menghentikan interaksi antar warga. Di sisi yang lain, pemerintah menjalankan strategi yang lain berupa konsultasi atau dengar pendapat yang cenderung lebih banyak melibatkan warga pro semen.[4] Konflik bahkan terjadi sampai lingkup keluarga yang menyebabkan ketegangan bahkan perceraian akibat perbedaan keberpihakan antara pro dan tolak semen. Lapor melapor juga terjadi, antara warga yang pro dan tolak semen.

Dampak lain yang ditimbulkan dari adanya pabrik semen ini adalah tukar guling hutan Perhutani di Rembang dengan lahan pengganti di Surokonto Wetan. Lahan tersebut adalah lahan yang telah digarap warga Surokonto Wetan sejak 1952. Tiga petani ditangkap atas tuduhan menyerobot, menyuruh atau menggerakkan serta pemufakatan pembalakan liar.

Kekerasan yang dilakukan oleh negara ini saling berjemalin dan tidak dapat dipisahkan motifnya dengan pengawalan investasi. Namun pada Pilpres 2024 kemarin, salah satu Calon Presiden yang sebelumnya adalah mantan Gubernur Jawa Tengah, dalam berbagai forum kampanye mengatakan bahwa kekerasan aparat yang terjadi selama periodenya menjabat sebagai Gubernur adalah instruksi dari pusat dan bukan proyek wilayah Jawa Tengah. Ini seolah-olah hendak melempar tanggung jawab sekaligus cuci tangan dan muka, selain juga bahan kampanye untuk mendongkrak elektabilitasnya sebagai mantan Gubernur yang bersih dari noda pelanggaran HAM. Kekerasan yang terjadi di Wadas, Kendeng, Surokonto dan tempat-tempat lainnya seharusnya adalah juga tanggung jawab Ganjar selaku Gubernur Jawa Tengah. Pembalikan narasi yang ia lakukan dengan menyalahkan pemerintah pusat, adalah bentuk lain dari politisasi kesengsaraan yang dialami puluhan ribu masyarakat Jawa Tengah.

Derita Perempuan Korban dan Pejuang Konflik Agraria

Dalam tulisan yang juga pernah FNKSDA buat, kami semua menyaksikan sendiri bahwa perempuan korban dan pejuang konflik agraria berada dalam posisi yang paling tidak menguntungkan dalam kehidupan sehari-harinya. Di samping harus memastikan reproduksi sosial yang harus terus berjalan, mereka juga mesti berhadap-hadapan langsung dengan eskalasi konflik yang terjadi. Dalam konflik yang bereskalasi, mereka bahkan harus menggantikan peran produktif yang semula dipegang oleh laki-laki ketika laki-laki menghilang (ditangkap, meninggal atau sakit). Ini pula yang menjadi pemicu meningkatnya urbanisasi dan migrasi butuh perempuan ke luar negeri. Tidak hanya itu, para perempuan juga mendapatkan ancaman dan kekerasan fisik maupun seksual.

Di Wadas, ketika benar-benar jadi ditambang, perempuan lah yang pertama kali akan merasakan dampaknya. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi perempuan banyak membutuhkan air. Mulai dari urusan dapur, tanaman, hingga aktivitas beragama. Hilangnya air berarti juga terampasnya nafas kehidupan perempuan. Maka kalimat “Yen ditambang ora iso ngibadah”, benar-benar akan terjadi sebab selama ini aktivitas keagamaan telah menjadi bagian dari kehidupan sosial warga yang tidak dapat dipisahkan.[5]

Perempuan Kendeng, medio 2014-2015, juga terlibat berjuang mempertahankan lahan, salah satunya, dengan menggelar aksi mengecor kaki di depan Istana Merdeka. Itu terjadi pada 2017, yang mana sembilan orang perempuan Kendeng dengan berani mengecor kaki mereka, sebuah simbol dan pemaknaan bahwa keberadaan pabrik semen bakal mengikat kehidupan mereka. Sebelumnya, pada 2014 selama lebih dari 160 hari, ibu-ibu Kendeng menginap di tenda sebagai bentuk penolakan operasi PT. Semen Indonesia.[6]

Dalam konflik agraria, kami meyakini bahwa ekspansi kapital, kemiskinan struktural, dan negara oligarki yang menjadi penyebab utama lapis-lapis opresi yang dialami oleh perempuan. Patriarki bukanlah satu-satunya sumber utama penindasan perempuan dalam pusaran konflik agraria, ia justru membantu menopang sekaligus menjadi instrumen. Kesetaraan yang hendak dicapai dalam konflik agraria bukanlah kesetaraan semu seperti apakah perempuan boleh atau tidak menjadi pemimpin kolektif, berapa bagian waris perempuan hingga bisa dikatakan lebih adil, namun, melampaui itu; ialah kesetaraan kepemilikan antara golongan kaya-miskin maupun kapitalis-proletariat, menolak segala bentuk monopoli dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang tidak berprinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan serta tidak berpihak pada kepentingan rakyat.[7]

Perlunya Berkolektif

Berdasarkan kajian awal yang telah kami paparkan di atas, kami merasa perlu adanya upaya merekonsolidasikan gerakan kolektif yang lahir dan tumbuh dari kesadaran masyarakat akar rumput di Jawa Tengah. Kita mesti menyadari bahwa kita tentu tidak bisa menghadapi ekspansi kapitalistik serta ugal-ugalannya rezim hari ini sendirian. Kerusakan alam, remuknya ruang hidup yang sehat, tenggelamnya wilayah pesisir pantai utara, upah buruh yang murah hingga mahalnya bahan kehidupan pokok yang menjadi monster menakutkan bagi masyarakat miskin Jawa Tengah tidak boleh kita anggap sebagai hal yang lumrah apalagi menganggap: “Memang seperti itulah yang semestinya terjadi.”

Kita semua perlu menyadari bahwa metode penindasan paling mendasar yang dilakukan rezim hari ini adalah mematikan imajinasi kita akan kehidupan dunia yang lebih baik. Kita harus berhenti menganggap bahwa tembakan gas air mata, pentungan serta tendangan sepatu lars oleh aparatur negara adalah harga yang pantas diterima oleh warga yang menuntut haknya. Berbagai upaya politisasi dan upaya politik pecah belah juga perlu kita waspadai setiap saat. Ke depan, warga Jawa Tengah tidak tertipu lagi dengan omongan lamis penguasa adalah mungkin. Kehidupan warga Jawa Tengah yang lebih baik adalah mungkin, dan melalui Halaqah Lingkungan yang akan digelar pada tanggal 23-24 Mei 2024, kami akan membicarakan kemungkinan itu bersama-sama dengan masyarakat akar rumput.

Kami menganggap forum silaturahmi seperti ini penting sebagai tempat berbagi cerita, berbagi kabar di tapak, menumbuhkan rasa empati, saling menyemangati hingga pada muaranya kita mengimajinasikan satu wadah kolektif rakyat Jawa Tengah yang sadar akan nasib dan posisi kelasnya bersama-sama menuntut kehidupan yang lebih baik dan adil itu terwujud. Sekalipun sulit, berkali-kali harus gagal di tengah jalan, bayang-bayang jeruji besi membayangi, kami tetap meyakini bahwa forum-forum semacam ini merupakan forum awal untuk mewujudkan keinginan itu di masa depan. Keberanian, layaknya ketakutan, ia sama-sama menyebar. Dan pada Halaqah Lingkungan ini, kami akan menyebarkan keberanian!

Unduh format pdf di sini


[1] Mulyanto, Dede. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Ekonomi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book. 2012. Hal 47.

[2] Catatan Akhir Tahun LBH Semarang 2020. Orkestrasi Perampasan Ruang Hidup. Semarang: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Hal 21-22.

[3] Bosman, dkk. Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. DIY: CV. Lintas Nalar. 2020. Hal 26-29.

[4] https://www.mongabay.co.id/2017/01/06/kasus-semen-rembang-berikut-temuan-komnas-perempuan-dan-pandangan-ombudsman-ri/

[5] https://fnksda.or.id/kolonialisasi-perempuan-dalam-pembangunan-bendungan-bener-purworejo/

[6] https://www.mongabay.co.id/2017/03/06/kendeng-dan-gerakan-ekofeminisme/

[7] https://fnksda.or.id/perempuan-konflik-agraria-reposisi-agenda-feminis-muslim/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *