Browse By

Bojonegoro Menggugat UU Cipta Kerja yang Tidak Pro Rakyat

Aliansi Bojonegoro Menggugat

Dokumentasi ABM

Nasib Rakyat Indonesia hari ini adalah: sudah jatuh masih tertimpa tangga pula, sudah dilanda Covid 19 masih saja Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. Di saat masyarakat dilarang berkerumun, berdiskusi, apalagi melakukan demonstrasi. Justru sebaliknya bagi DPR, pandemi menjadi peluang untuk menggolkan Omnibus Law yang keparat itu, nasib rakyat makin ambyar. 

Sejak diwacanakan Jokowi dalam pidato pelantikan periode keduanya pada Oktober tahun lalu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sudah jadi dalam waktu singkat. Setelah itu Jokowi mengajukannya ke DPR pada Februari 2020, pembahasannya langsung dikebut. Bahkan Jokowi menarget Omnibus Law rampung sebelum 100 hari kerjanya. Nah, dalam hal ini DPR seperti tukang sablon yang menurut saja apa kata pemesannya. Tanpa mengindahkan masukan, kritikan, dan suara-suara penolakan dari segenap masyarakat sejak awal pembahasan.

Sehingga DPR sampai bekerja sembunyi-sembunyi, tak lagi di Gedung Senayan tapi safari dari hotel ke hotel berbintang sepanjang 26 September hingga 02 Oktober. Saking buru-burunya seperti dikejar maling, pengesahan UU Cipta Kerja-pun dipercepat dari jadwal semula, pada rapat paripurna 08 Oktober menjadi 05 Oktober. Karena DPR sebetulnya sedang kucing-kucingan dengan para buruh, dan segenap elemen rakyat lainnya yang akan menggelar demonstrasi besar-besaran pada 08 Oktober.

Lantas lahirlah UU Cipta Kerja yang mengandung cacat bawaan. Cacat secara formil ini terlihat sedari perumusan Pemerintah hingga pembahasan DPR yang mengabaikan asas transparansi dan partisipasi publik. Keterbukaan hanya dimaknai dengan menayangkan siaran langsung pada kanal TV DPR. Partisipasi publik hanya sebatas mengundang dialog akademisi, serikat buruh, pakar, dll. Sedang aspirasi publik ditampung lalu dikesampingkan, dan segenap gerakan penolakan dari para buruh, petani, mahasiswa, pelajar, pemuda tak dianggap sama sekali.

Tak hanya itu, pada sidang pengesahan Omnibus Law 05 Oktober kemaren, para dewan termasuk pimpinannya, Puan Maharani, tak ada yang megang naskah final UU Cipta Kerja, dengan alasan masih dirapikan. Padahal draf final harus diberikan ketika anggota dewan tanda tangan kehadiran sebelum masuk ruang sidang. Ternyata pasca pengesahan-pun masih ada pengeditan oleh Badan Legislasi DPR yang terpantau oleh Tempo pada Rabu 07 Oktober. Menurut Ketua YLBHI Asnifinawati, penyuntingan sekecil apapun akan mengubah makna peraturan. Inilah skandal terparah dan terbesar dalam pembentukan Undang-Undang, tegasnya.

Akumulasi kegelisahan rakyat tak mampu lagi dipendam, maka meletuslah demonstrasi pada Kamis 08 Oktober di 60 Kota dan Kabupaten yang tersebar di lebih dari 20 Provinsi. Namun negara malah merepresi massa-aksi dengan pengerahan pasukan aparatnya, hingga 5000 lebih massa-aksi ditangkapi dan ratusan diantaranya dikriminalisasi. 

Di mana sebelumnya, Polri telah habiskan Rp 408,8 miliar untuk membeli lima paket pengadaan barang mendesak menjelang aksi penolakan Omnibus Law (Indonesian Corruption Watch), seperti rompi dan helm anti peluru, tongkat, pelontar granat, serta perkakas penggedalian massa lainnya. Meminjam bahasanya Geger Riyanto, jadi sedari awal penyusunan UU Cipta Kerja ini bukanlah mau menggayung aspirasi rakyat tapi menyodokkan aspirasi oligarki bisnis-politik ke tenggorokan kita.

Penolakan Omnibus Law dan Mosi Tidak Percaya yang digaungkan gerakan rakyat hari ini, sebetulnya telah berhasil menggoyang pemerintahan. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk meredam perlawanan, mulai jurus hoaks yang dilontarkan Jokowi sendiri, jika banyak disinformasi soal substansi UU Cipta Kerja dan hoaks di medsos. Bahkan Menteri Kominfo Johnny Plate ngegas, kalau pemerintah bilang hoaks, ya itu hoaks. Padahal sudah banyak kajian akademik dan hasil penelitian yang telah mengupas pokok-pokok problematis dari setiap klaster topik Omnibus Law.

Lalu ada himbauan Kemendikbud yang melarang mahasiswa ikut turun jalan, Dinas Pendidikan Jawa Timur pun ikut memperketat jam pembelajaran bagi pelajar SLTA agar tidak ikut demonstrasi. Seperti halnya beberapa kampus di Bojonegoro sendiri. Hingga satu di antara kawan kami tiba-tiba dipanggil pihak kampus saat konsolidasi aksi, ternyata ia langsung mendapat Surat Peringatan. Ini merupakan bentuk pembungkaman oleh instansi pendidikan yang harusnya memberi kebebasan mahasiswanya berpendapat di muka umum.

Padahal nasib kaum terpelajar dipertaruhkan dalam UU Cipta Kerja, mereka akan menjadi cadangan buruh murah, karena Omnibus Law merupakan sistem perbudakan modern. Tapi perjuangan kaum terpelajar malah digembosi, harusnya Pendidikan mengabdi kepada kepentingan rakyat, bukan kepada elit politik dan bisnis.

Sektor Pendidikan

Mirisnya, dalam UU Cipta Kerja, Pendidikan justru masuk dalam perizinan berusaha (Pasal 65). Sehingga nanti pendidikan yang terbaik semakin mahal, dan hanya bisa dinikmati oleh anak-anak konglomerat. Padahal mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara, sebagaimana amanat dalam pembukaan UUD.

Sektor Ketenagakerjaan 

Jelas sekali buruh makin terhisap. Angkatan kerja baru akan sulit menjadi pekerja tetap, bahkan bisa menjadi pekerja kontrak seumur hidup (Pasal 59). Ada pemangkasan pesangon, dari 32 kali upah menjadi 25 kali. Lalu upah didasarkan pada satuan waktu atau satuan (Pasal 88B, ayat 1), ini akan memberi peluang pengusaha mengupah perjam. Hingga mudahnya PHK sepihak oleh perusahaan (Pasal 154), sehingga posisi buruh semakin rentan.

Sebegitunya Omnibus Law melucuti hak-hak buruh satu persatu. Terlebih buruh perempuan, di mana tidak ada lagi hak khusus bagi reproduksi perempuan. seperti hak cuti haid, keguguran dan melahirkan. Jadi posisi perempuan lebih rentan lagi. Apalagi di Bojonegoro sendiri ada sekitar 6000 pekerja yang 90% nya adalah buruh perempuan, di perusahaan padat karya seperti pabrik rokok dan sepatu.

Sektor Lingkungan Hidup

Kelestarian Lingkungan Hidup kian terancam, Omnibus Law mau memfasilitasi korporasi perusak lingkungan, karena fungsi pencegahan dalam PPLH dilenyapkan sama sekali. Di mana Amdal ditetapkan oleh Pusat dan pembahasanya tak melibatkan masyarakat (Pasal 24-27), melainkan hanya berisi masukan dari masyarakat yang terdampak secara langsung (Pasal 25, c). Padahal rusaknya ekosistem bisa berdampak luas, menyangkut nasib orang banyak.

Justru ada insentif kepada pelaku usaha tambang, seperti tarif royalti 0% (Pasal 39). Alih-alih mengubah isi UU Minerba yang mengokohkan dominasi oligarki, Omnibus Law memperlebar karpet merah bagi korporasi dengan mengabaikan lingkungan hidup dan ketahanan energi, sampai menjamin tanpa batas bagi perusahaan hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengeruk cadangan mineral dan batu bara hingga habis.

Sektor Kehutananan

Kawasan Hutan merupakan jantung dunia untuk menyerap karbon dan memproduksi oksigen, akan dijarah habis menjadi perkebunan sawit, food estate, tambang, dan proyek strategis lainnya. Ketentuan tentang mempertahankan minimal 30% kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai atau pulau (Pasal 18 UU no 41/1999) dihapus. Sebagai gantinya, pemerintah melalui PP yang menentukan luas tutupan hutan tapi tanpa ada batasan minimal. Tentu saja sangat memprihatinkan sebab memberi kelonggaran bagi pelaku ekstraksi hutan. 

Sektor Agraria

Perampasan tanah dan konflik agraria akan lebih parah. Omnibus Law sangat bertentangan dengan UUD Pasal 33 Ayat 3 dan UUPA. Negara yang semula hanya menguasai bumi, air, dan kekayaan alam untuk kepentingan rakyat banyak. Ternyata muncul hak-hak baru seperti Hak Pengelolaan (HPL), yang berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan HP Investasi, lalu bisa diberikan kepada Instansi Pemerintahan, BUMN, korporasi dan perkebunan swasta (Pasal 129). HGU diberikan sampai jangka 90 tahun, dan menghapus kewajiban dan sanksi bagi perkebunan (Merubah 16 UU Perkebunan). Seperti hilangnya status tanah terlantar. Padahal tanah terlantar perkebunan merupakan objek prioritas Reforma Agraria, sehingga jelas menghambat agenda-agenda Reforma Agraria. 

Kemudian adanya Bank Tanah (BT) persis seperti sistem domein veklaring Kolonial Belanda dulu, tanah-tanah yang tak bertuan akan mudah diklaim sebagai  tanah negara. HGU-HGU yang habis akan dikelola BT, tanah terlantar juga masuk BT, karena BT berada diatas HPL. Kepentingannya adalah penggadaan lahan untuk pembangunan insfratuktur dan kawasan industri.

Hari ini saja penguasaan tanah oleh BUMN mencapai 84% dari total luasan tanah di Indonesia, lalu perkebunan swasta dengan komoditas sawit, karet, kayu, dsb, seluas 6,3% dari seluruh luasan Indonesia. Sehingga totalnya mencapai 90% lebih luas lahan yang dimonopoli di seluruh Indonesia. Sedang 14 juta petani hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Sehingga Reforma Agraria sejati sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan, adanya Omnibus Law makin memperlebar jurang ketimpangan kepemilikan tanah, dengan masifnya perampasan tanah-tanah rakyat.

Parahnya, Omnibus Law juga menghapus UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Betapa mengancam penyusutan lahan besar-besaran, untuk kepentingan jalan tol, industri, serta tambang minyak dan gas. Padahal sebelumnya saja, banyak terjadi penyusutan lahan pertanian, sekitar 0,25 hertar per-menit lahan hilang dan 1 rumah tangga petani terlempar (2003-2013). Luas lahan baku sawah juga mengalami penyusutan rata-rata 650 hektar per-tahun. (Kementerian Pertanian).

Apalagi dengan adanya wacana pembangunan Jalan Tol di Bojonegoro, meski mau melewati kanal Solo Valley yang diklaim sebagai tanah negara, tapi  berpotensi besar ada pembebasan lahan di sekitarnya sepanjang jalur Solo Valley dari Kecamatan Ngraho sampai Baureno. Dan ini sejalan dengan wacana baru adanya Kawasan Industri di setiap Kecamatan di Bojonegoro yang regulasinya lagi dibahas oleh Pemkab bersama DPRD (Radar Bojonegoro, 17/10), belum lagi adanya titik-titik baru tambang migas, seperti JTB, Pad C Pertamina dan Blok Nona.

Semuanya seakan sudah terintegrasi dengan sistematis, dan semangat pembangunannya sudah berbau Omnibus Law. Dalihnya tentu dengan lagu lama, menggaet investor masuk untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Sementara di sisi lain petani-petani yang lahannya terampas akan terlempar ke sektor industri, sekaligus diciptakan sebagai buruh murah dengan jam kerja tinggi, perempuan akan semakin rentan posisinya di pabrik karena regulasi yang bias gender. Lalu para mahasiswa, pelajar dan pemuda juga disiapkan menjadi angkatan kerja tanpa ada jaminan menjadi pekerja tetap seumur hidup. Sehingga pada akhirnya, tidak ada lagi alasan bagi kita semua untuk tidak menolak UU Cipta Kerja seluruhnya. 

Selain itu, semakin maraknya pelecehan seksual di Indonesia, kami juga mendesak segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut mengalami kenaikan 6 persen dari tahun 2018. Data tersebut belum mewakili kasus kekerasan seksual secara keseluruhan. Tak terhitung berapa banyaknya korban tak mendapatkan keadilan, tak terhitung berapa banyak pelaku kekerasan yang berkeliaran bebas dan menambah korban. Sayangnya dengan kondisi Indonesia “Darurat Seksual” seperti ini, DPR justru mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas dan malah mengebut mengesahkan Omnibus Law yang akan menyengsarakan nasib rakyat. 

Oleh sebab kewenangan penguasa, yang menghamba investor dengan mengorban jutaan nasib warganya, kami dari segenap elemen gerakan rakyat yang tergabung dalam Aliansi Bojonegoro Menggugat (ABM), menuntut :

MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA PEMERINTAH DAN DPR! 

BATALKAN OMNIBUS LAW SELURUHNYA!

SAHKAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL SEGERA!

HENTIKAN REPRESIFITAS TERHADAP MASSA-AKSI!

HENTIKAN PEMBUNGKAMAN OLEH INSTANSI PENDIDIKAN!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *