Program PTSL di Urut Sewu Bukan Penyelesaian Konflik Agraria
Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz serahkan 200 sertifikat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kepada warga Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren (21/10).
Pelaksana Harian Kepala BPN Kebumen, Sumpeno mengatakan target awal PTSL tahun anggaran 2020 sebanyak 60.000 petak bidang dan 56.730 sertipikat hak atas tanah. Angka itu berubah akibat pendemi covid-19 menjadi 48.503 peta bidang dan 34.460 sertipikat hak atas tanah kepada 12 kecamatan yang terdiri dari 20 desa.
“Untuk desa Brencong target 3.778 peta bidang tanah dan 2.310 sertipikat hak atas tanah” tutur Sumpeno.
Seluruh jumlah bidang tanah dan sertipikat yang ditargetkan telah diproses oleh BPN. Sementara jumlah sertipikat yang telah dibagikan hanya 1.065 sertipikat. Sisanya akan dibagikan secara bertahap selama tahun 2020.
“Tahun 2021 alokasi PTSL di Kebumen sangat besar yakni 121.700 peta bidang tanah dan 80.000 sertipikat hak atas tanah” jelasnya.
Sementara itu, menurut Yazid Mahfudz sertifikasi adalah jalan penyelesaian konflik tanah di urut sewu yang telah terjadi selama bertahun-tahun.
“Harapannya, pensertipikatan di Urut Sewu dapat segera terselesaikan. Sertipikat yang diperoleh silahkan dimanfaatkan dengan baik seperti usaha pertanian semangka” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FKPPS), Seniman mengatakan bahwa sertifikasi adalah bagian dari perampasan tanah rakyat. PTSL menjadi modus klaim tanah negara karena tidak mengakui hak turun-temurun.
“PTSL adalah menjadi modus klaim tanah negara karena tidak mengakui hak turuntemurun, jadi batas selatan bukan laut, jadi modus perampasan tanah makam atau modus melegitimasi peta GG 1 dan GG 2, masyarakat brecong udah lemah,ingat tragedi 2019, ini bentuk perampasan tanah rakyat.” Tutur seniman
Sejalan dengan Seniman, Sunu Nugroho Ketua Urut Sewu Bersatu yang juga petani Urut Sewu, menambahkan bahwa PTSL justru menyisakan tanah yang akan disertifikatkkan oleh TNI. Seolah hal ini memberikan hak milik kepada rakyat tapi malah sebaliknya.
“Jadi, PTSL seolah olah menguatkan hak kepemilikan rakyat, tapi sebenarnya strategi utk mengelabuhi rakyat” jelas sunu.
Ia menambahkan, PTSL tidak berdasar pada sejarah kepemilikan tanah dan tatanan asli. Beberapa warga memiliki sertifikat yang berbatasan dengan laut, sehingga menggugurkan klaim peta minute milik TNI-AD.
“PTSL menafikan sejarah tanah dan tatanan asli galur larak. Satu hal yang juga penting dicatat adalah adanya beberapa sertifikat hak milik atas nama warga yang berbatassan dengan laut secara otomatis menggugurkan klaim peta minute TNI-AD.” Imbuhnya
Sementara itu menurut Haidar Adam yang merupakan dosen FH Unair dan juga bagian dari HRLS Unair, bahwa tujuan dari PTSL adalah untuk mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat. Dalam pelaksanaannya, PTSL harus dijalankan dengan memperhatikan asas-asas diantaranya aman, adil, merata dan terbuka.
“Hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan PTSL adalah peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan ekonomi negara, mengurangi dan mencegah sengketa dan konflik lahan. Hal tersebut termaktub dalam pasal 2 ayat (2) PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP.”
Adam juga menjelaskan, secara normatif pelaksanaan PTSL juga mengisyaratkan adanya partisipasi masyarakat. Dari ketentuan ini bisa dilihat bahwa pelaksanaan PTSL haruslah dilaksanakan secara berkeadilan dan partisipatif. Jika pelaksanaan PTSL dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat tentu hasilnya dipertanyakan dan justru akan membuka ruang konflik baru terhadap sengketa lahan yang sudah lama terjadi.
Berdasarkan kajian hukum yang disusun oleh Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Metajuridika, Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM), Social Movement Institute (SMI) Yogyakarta, Dr. Rikardo Simarmata, SH., Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) berjudul, ‘KONFLIK AGRARIA DI 15 DESA WARGA PETANI V. TNI AD/KONFLIK AGRARIA DI 15 DESA WARGA PETANI V. TNI AD/ KODAM IV/DIPONEGORO DI KECAMATAN BULUSPESANTREN, KECAMATAN AMBAL DAN KECAMATAN MIRIT KABUPATEN KEBUMEN’, permasalahan sengketa lahan yang terjadi lebih dikarenakan adanya kekuasaan yang dijalankan secara sewenang-wenang, intimidatif dengan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat dan rasa keadilan.” Jelas Adam
Jika kegiatan PTSL tetap dilakukan tanpa mengacu pada asas keadilan, keterbukaan dan partisipasi masyarakat maka sejatinya negara sedang mengingkari kewajiban hukumnya sendiri. Sehingga kegiatan bagi-bagi sertifikat lahan dalam bentuk PTSL patut dipertanyakan, apakah itu menyelesaikan konflik yang sudah ada?
Atau bagian dari strategi penguasaan lahan petani dengan cara legal atau cara lebih halus? Sebab PTSL belum menjawab masalah pentelesaian konflik agraria di Urut Sewu, sebab jawaban utamanya adalah Reforma Agraria dengan menegaskan penguasaan aset dan akses untuk petani, serta menggugurkan klaim TNI AD.