Catatan Perjuangan Rukun Tani Pakel Banyuwangi
Usman (FNKSDA & ForBanyuwangi)
Hormat pada Warga Rukun Tani Sumberejo Pakel (Pakel) yang secara penuh mengorbankan segalanya untuk perjuangan hak atas tanah yang juga telah di perjuangkan oleh leluhur pendahulu. Keinginan besar untuk terbebas dari penindasan bukanlah usaha yang mudah.
Kami bersyukur dapat belajar dan menyaksikan perjuangan Warga. Tulisan berikut ini hanyalah catatan kecil 100 hari perjuangan merebut kembali hak atas tanah bersama Warga Pakel.
***
Tercatat semenjak tahun 1925, dengan dimotori oleh Sadriman Supatro/Pak Doelgani, Pak Senen, dan Pak Karso, warga berusaha mengajukan pengelolaan lahan di hutan Sengkan Kandan dan Keseran (masuk Desa Pakel, Macan Putih, Bangun Sari, Bayu, dan Songgon). Upaya keras para tokoh dan masyarakat Sumberejo Pakel serta sekitarnya membuahkan hasil. Pada 1929 saat pemerintahan Hindia Belanda warga telah memperoleh Acta Van Verwizing atau surat ijin pembukaan tanah.
Walaupun mendapatkan izin membuka lahan, upaya warga mengelola lahan terus dihalang-halangi oleh Jawatan Kehutanan Belanda. Pemukulan dan penangkapan sepihak warga oleh pemerintah setempat seperti oleh Tuan Wedono Kabat, Asisten Residen, dan Petinggi Desa kerap terjadi. Namun warga tetap tak menyerah untuk bertani mengelola lahan.
Kawasan hutan Sengkan Kandang Keseran saat pemerintah Hindia Belanda di kuasai Jawatan Kehutanan dan Perusahaan Perkebunan (Onderneming) Pakoeda milik Belanda. Walau telah memperoleh ijin membuka lahan sampai Indonesia merdeka warga juga tidak dapat mengelola lahan tersebut.
Justru saat rezim otoriter Orde Baru, pengelolaan sepihak kawasan hutan dan kebun, yang awalnya dikuasai Belanda, semakin dilanggengkan dengan adanya Perhutani dan Perkebunan Swasta yang diduga tidak mengantongi izin.
Pakel adalah salah Satu contoh potret ketidakadilan di Kab. Banyuwangi, sebut saja beberapa masalah laten seperti Tambang Emas di Gunung Tumpang Pitu, perampasan lahan Kampung Bongkoran, dll.
Mulanya kami bersinggungan dengan warga Pakel karena dugaan praktek Land Grabbing (perampasan lahan) di Desa Pakel Kec. Licin-Banyuwangi. Saat itu, ketika Hari Tani Nasional (HTN) pada 2019 yang tiap tahun di peringati setiap 24 September.
Setelah HTN 2019 kami beberapa kali berkunjung ke Desa Pakel, hingga puncaknya saat Warga dirundung kasus hukum lantaran di laporkan oleh Djohan Sugondo salah satu pemilik perkebunan PT. Bumi Sari dengan tuduhan memasuki lahan dan menanam tanpa izin.
Laporan terhadap warga dilayangkan pada 2018 dan sempat terhenti tanpa kepastian. Baru di tahun 2019 laporan Djohan kembali ditindaklanjuti hingga keluar penetapan 1 orang warga sebagai tersangka.
Walau telah diputus tidak bersalah/bebas (Inkracht Van Gewijsde). Perlu di ketahui sampai sekarang izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. Bumi Sari di wilayah Desa Pakel diduga tidak ada.
Kami mulai intens dalam keseharian aktivitas warga. Mulai terlibat dalam relasi yang cukup komplek, yang paling kentara adalah ketimpangan penguasaan sumber agraria.
Kelas yang paling dominan adalah buruh tani tanpa lahan garapan, sehingga pekerjaannya serabutan. Ada yang menyewa lahan, bekerja di perkebunan, memanfaatkan pembukaan lahan di wilayah Perhutani, menebas tanaman (membeli hasil buah dengan kontrak), pencari kayu di hutan, mencari madu dll.
Jarak Desa Pakel dengan laut sekitar 20km, berada di ketinggian kurang lebih 590 Mdpl. Secara geografis letak Desa Pakel berada di bawah kaki Gunung Kukusan. Hasil pertanian merupakan sumber kehidupan warga Pakel.
Ada sekitar 2.760 jiwa penduduk Desa Pakel. Dari total luas lahan desa 1.309,7 ha hanya bisa mengelola lahan seluas 321,6 ha. Sedangkan, PT. Bumi Sari menduduki lahan seluas 271,6 ha dan Perhutani KPH Banyuwangi Barat memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH) desa seluas 716,5 ha. Ini yang disebut masyarakat agraris tak punya kuasa atas sumber-sumber agrarianya.
Intensitas kami mulai dekat dengan kehidupan warga dan sedikit demi sedikit menyatu dengan sosial-budaya warga. Pada 19 Juni 2020 dalam musyawwarah warga terbentuklah organisasi perjuangan Rukun Tani Sumberejo Pakel.
Pada HTN 2020 menjadi tanda kebangkitan kaum tani Desa Pakel dengan melakukan pendudukan lahan sebagai upaya melindungi wilayah dari dugaan praktek kesewenangan perkebunan tanpa izin.
Terhitung saat tulisan ini diterbitkan (01/01/21) sudah 100 hari perjuangan Warga Pakel menduduki lahan dengan mendirikan pondok. 100 hari bukan waktu yang pendek, sama dengan usia tanam-panen padi atau jagung.
Berbagai macam tekanan sering dialami warga, mulai dari ancaman intimidasi, intervensi, upaya kriminalisasi, dll. Teruji, sampai sekarang warga masih kuat melewati semuanya. Namun, ini merupakan kemenangan kecil.
Selama perjuangan warga itu pula, nyaris tak ada satu-pun politisi yang secara ikhlas dan serius melakukan upaya menyelesaikan persoalan warga. Alih-alih bisa menyelesaikan masalah, saat kampanye pada warga di Pilbub 2020 tak ada satu-pun calon yang berani memasukkan permasalahan warga secara terang ke dalam Visi-Misi mereka.
Warga menjadi saksi bagaimana politisi-hipokrat budak partai semakin memperkecil peluang untuk memperjuangkan reforma agraria sejati. Akhirnya pada hari pemilihan bupati dan wakil bupati saat perhitungan suara dari total 6 TPS di Desa Pakel, sekitar 57,5% suara warga tidak sah dan tidak memilih.
Situasi ini sebagai sebuah lanskap birokrasi korup sehingga cukup mudah mencari-cari kesalahan warga dan menjebloskannya ke penjara, konflik kepentingan partai politik borjuasi hingga dapat mempermulus perampasan lahan dan mempermudah perijinan. Glorifikasi-oligarki yang cukup ciamik mendikte negara.
***
Setelah banyak mencurahkan energi demi perjuangan, penting kiranya untuk berkontemplasi tentang perjuangan. Sebagai evaluasi dan koreksi sebagai upaya menyucikan diri.
Menjadi tujuan mulia ketika ikut belajar dan terlibat dalam perjuangan warga secara ikhlas. Melepas belenggu jerat kapitalisme, menghapus praktek penghisapan dan represi oleh korporasi.
Sebagai niat yang mulia, belajar bersama untuk membentuk kesadaran kolektif adalah baik. Bukankah kebaikan ibarat dua sisi mata uang, jika terjebak dan terlena pada niat baik itu sendiri kurang baik. Kita tak boleh terperangkap dalam niat baik kita sendiri.
Ingin melepas relasi penindasan oleh korporasi Perkebunan, malah kita membentuk relasi ketertindasan baru. Upaya membebaskan warga dari ketergantungan jangan sampai kita membentuk ketergantungan baru. Cita-cita masyarakat komunal tanpa kelas jika demikian akan cukup sulit tercapai.
Kita dan warga memiliki batasan, bagunan nilai-nilainya adalah perjuangan. Harus berani tegas bahwa relasinya sejajar. Warga bukan tuhan dan kita datang bukan malaikat yang membawa kabar baik.
Warga harus mulai belajar tentang lingkungannya, mulai mandiri memikirkan masalahnya sendiri dan merumuskan tentang kehidupan dan ruang hidupnya. Warga harus tetap ikhtiar serta istiqomah hingga keluar, terbebas dari penindasan.
Warga tidak bisa selalu menggantungkan kehidupannya pada orang lain. Bahwa bukankah setiap advokasi itu ada masanya. Jika kemandirian dan kesadaran-ketahanan ruang hidup tak terbentuk, mungkin 1 generasi mampu bertahan. Namun, tak ada jaminan bagi generasi berikutnya.
Catatan penulis:
Sungguh luar biasa melihat kawan-kawan solidaritas dengan ikhlas mendedikasikan diri untuk terlibat bersama dalam mewujudkan cita-cita perjuangan warga. Semoga kawan-kawan Walhi Jatim, LBH Surabaya, LPBH NU Banyuwangi, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), LBH Disabilitas, TekAD GARUDA, ForBanyuwangi, FNKSDA Banyuwangi, Kawan-Kawan Solidaritas, dan teman se-perjuangan yang tidak bisa saya sebut satu persatu tetap gigih berjuang menegakkan keadilan agraria.