Browse By

UUPA 60 Sebagai Solusi Penyelesaian Konflik Agraria di Desa Pakel, Banyuwangi

Wahyu Eka Setyawan (Koordinator Bidang Agitasi dan Propaganda FNKSDA)

Dokumentasi dari Solidaritas Petani Pakel Banyuwangi di Jakarta (17/06/21)

Pada hari kamis, tepatnya tanggal 17 Juni 2021, warga Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi yang tergabung dalam Rukun Tani Pakel menggelar aksi serentak di tiga wilayah, yakni Banyuwangi dengan menyasar Kantor BPN dan Polres Banyuwangi, lalu di Surabaya menyasar Kantor Wilayah BPN dan Polda Jawa Timur, terakhir Ibu Kota Jakarta menyasar Kementrian ATR/BPN dan Mabes Polri. Semua institusi yang dituju memiliki keterkaitan dengan persoalan yang membelit warga Pakel. Permasalah itu yakni adanya dua warga Pakel yang dikriminalisasi, mereka dianggap menyerobot dan merusak lahan perkebunan. Padahal kedua petani itu hanya berupaya mendapatkan haknya kembali, sebab Desa Pakel tidak masuk peta HGU perkebunan PT. Bumisari.

Desa Pakel adalah potret wilayah yang sedang mengalami konflik agraria, khususnya berhadapan dengan perkebunan swasta PT. Bumisari. Konflik tersebut bermuara pada klaim sepihak perkebunan terhadap lahan yang berada di Desa Pakel, melalui SK.35/HGU/DA/85  dengan HGU 1189,81 hektar. Sementara itu warga Pakel mengungkapkan jika lahan tersebut tidak berada di wilayah Desa Pakel, Kecamatan Licin, berdasarkan tapal batas desa mengacu pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi, nomor 188/402/KEP/429.011/2015 dan izin HGU, lahan yang diklaim oleh PT. Bumisari berada di wilayah Desa Bayu, Kecamatan Songgon dan Desa Kluncing, Kecamatan Licin, bukan di Desa Pakel.

Meski begitu perkebunan tetap menganggap jika lahan tersebut adalah wilayah mereka, sehingga selama belasan tahun lahan tersebut secara sepihak telah ditanami komoditas kebun seperti kelapa, cengkeh dan lain-lainnya oleh pihak perkebunan. Situasi tersebut mengakibatkan terusirnya warga Pakel dari lahan. Berdasarkan “Kronologi Satu Abad Konflik Agraria Pakel, Banyuwangi (1925-2021)” (http://walhijatim.or.id/2021/03/kronologi-satu-abad-konflik-agraria-pakel-banyuwangi-1925-2021/), warga Pakel memiliki bukti penguasaan lahan berdasarkan AKTA 29 yang telah terbit sejak era kolonial dari penguasa Banyuwangi kala itu.

Perjalanan panjang perjuangan warga Pakel dalam mendapatkan hak atas tanah telah melalui proses yang berliku, dari memohon ke Bupati Banyuwangi, Gubernur Jawa Timur sampai ke Presiden. Namun hingga saat ini mereka belum juga dapat mengakses dan menggarap lahan yang diklaim oleh perkebunan. Kondisi itu telah mendorong sebuah aksi yang lebih masif dan berani, salah satunya ialah munculnya wacana pendudukan lahan di kalangan warga Pakel. Tepat pada 24 September 2020 saat hari tani dan juga kelahiran Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, warga Pakel yang tergabung dalam Rukun Tani Pakel, akhirnya memilih menggelar aksi hari tani ke Kabupaten Banyuwangi, setelah itu mereka balik ke kampung untuk melakukan pendudukan lahan.

Total hampir 800 warga Pakel yang mayoritas adalah petani gurem dan buruh tani bergerak menembus portal penjagaan perkebunan PT. Bumisari, lalu mulai melakukan pendudukan dengan mendirikan pondok perjuangan yang sampai saat ini masih kokoh berdiri. Selain itu, mereka juga melakukan penanaman di lahan tersebut dengan komoditas pangan seperti kacang, jagung dan umbi-umbian sebagai penegasan bahwa warga Pakel-lah yang berhak.

Penyelesaian Konflik Setengah Hati

Sebagai janji politik pada pemilihan lalu, Presiden Jokowi meluncurkan program program “Refroma Agraria dan Perhutaan Sosial (RAPS)” (https://www.ksp.go.id/presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-pemerintah-selesaikan-perhutanan-sosial-dan-reforma-agraria.html) sebagai solusi penyelesaian konflik agraria dan pemberian hak kelola bagi mereka yang selama ini tak mendapatkan akses. Sementara itu untuk penjaminan hak pada kasus yang jelas asal-usulnya, apalagi mengalami konflik menahun, dalam program RAPS mencakup sebuah solusi penyelesaian konflik agraria dalam bingkai Tanah Objek Reforma Agraria atau populer dikenal sebagai TORA.

Program ini bermuara pada UUD NRI 1945 terutama pasal 33 ayat 3 dan secara garis besar merujuk pada UUPA 60. Sedianya program tersebut menyasar pada pemberian akses dan aset pada rakyat khususnya mereka yang tak bertanah dan dirundung konflik berkepanjangan. Tetapi program tersebut benar-benar tidak menyasar pada warga Pakel dan mereka cenderung diabaikan, meski telah bersuara selama belasan tahun.

Idealnya persoalan sengketa lahan di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.

Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.

UUPA 60 Seharusnya Menjadi Pedoman

Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa warga Pakel ini mengalami defisit lahan. Hal tersebut merujuk pada perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian yang tersedia dan dibandingakan dengan luas total desa. Luas Desa Pakel 1.309,7 hektar dengan penduduk kurang lebih 2.760 jiwa, sementara lahan yang dikelola terdapat 321,6 hektar. Dari total populasi yang beprofesi sebagai petani hampir separuhnya, jika diambil angka tengah sekitar 1000 orang, maka dapat ditarik sebuah asumsi hitung jika setiap orang per lahan pertanian hanya menguasai 0,3 hektar. Tentu lahan tersebut sangat jauh dari kriteria ideal, sebab seperempat hektar pun tak sampai.

Itu anggaplahlah untuk 1000 orang, lantas bagaimana seribu yang lainnya? Tentu ada yang merantau, menjadi migran di luar negeri, ada pula yang menjadi buruh tani dan perkebunan. Artinya mayoritas warga Pakel adalah petani gurem dan buruh tani/kebun. Kondisi tersebut telah menelanjangangi PT. Bumisari yang menguasai hampir seribu hektar sampai mencaplok wilayah desa Pakel. Sehingga tindakan dari PT. Bumisari adalah praktik monopoli yang menyebabkan golongan ekonomi lemah tersingkirkan dan mengalami kerentanan.

Secara aturan sesuai dengan UUPA 60, PT. Bumisari tidak berhak atas lahan tersebut. Hal ini didapatkan dari penjelasan pasal 11 ayat (1) dan (2) UUPA 60, yang secara garis besar mengungkapkan bahwa terkait penguasaan suatu lahan tidak diperbolehkan penguasaan yang melampaui batas, apalagi sampai menyebabkan ketimpangan. Di dalam pasal tersebut sangat menegaskan bahwa penguasaan tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, terutama dalam upaya menjamin mereka yang merupakan golongan ekonomi lemah.

Pemerintah seharusnya patuh dan taat pada konsensus bersama, apalagi merujuk pada aturan dasar dalam hal hukum agraria. Sudah sepatutnya warga Pakel tanpa harus bertele-tele mendapatkan kembali hak atas kelola lahan, melalui program Tanah Objek Reforma Agraria. Apalagi merujuk pada mengapa negara ini hadir, sudah terjawab pada pasal 28 UUD NRI yang di dalamnya merangkum secara keseluruhan apa itu yang dinamakan hak asasi manusia, khususnya untuk mendapatkan hak hidup yang baik dan layak serta terjamin hingga masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian di atas pemerintah sudah seharusnya berpihak pada mereka yang termarjinalkan, karena ada usaha monopoli lahan yang menyebakan semakin tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Maka sudah sepatutnya pemerintah memberikan hak utuh pada warga Pakel dalam mengelola lahan mereka, memberikan jaminan kelola, akses produksi dan pasar serta menjamin keberlanjutannya. Ini bukan hanya untuk di Pakel saja, tetapi untuk wilayah yang mengalami situasi serupa.

UUD NRI harus ditegakkan dan pemerintah harus menjalankannya. Jika kemudian kasus ini tetap berlarut-larut hingga mengakibatkan korban nyawa atau menyebabkan konflik sosial akut, maka pemerintah terpilih telah melakukan penyimpangan terhadap konstitusi dan itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Sehingga pemerintah yang berkuasa sudah seharusnya mundur dan mengibarkan bendera putih sebagai pertanda jika mereka abai terhadap rakyat dan kalah oleh sektor privat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *