Browse By

Dari Pakel Hingga Budi Pego: Krisis Sosio-Ekologis, Kriminalisasi, dan Remuknya Keadilan Agraria di Tangan Korporasi dan Negara

Pernyataan Sikap Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)

Rakyat direpresi lagi dan lagi. Kriminalisasi para mujahid di akar rumput yang tengah memperjuangkan tanah dan keadilan sosio-ekologis semakin menambah deretan daftar panjang permasalahan rakyat dalam kepungan krisis kapitalisme global. Bulan suci yang seharusnya menjadi bulan penuh ibadah, kajian keilmuan, dan kebersamaan keluarga, bagi umat Islam di wilayah-wilayah konflik, bulan Ramadhan menjadi bulan penempaan spiritual, fisik, dan mental yang berlapis. Selain melaksanakan ibadah puasa kepada Allah Ta’ala, mereka harus menanggung beban berpisah dengan anggota keluarga dan kawan seperjuangan ketika para penjahat lingkungan dan agraria semakin ugal-ugalan menggunaan kekuasaan kapitalistiknya.

Mungkin inilah sejatinya contoh kontemporer dari puasa khawasul khawas yang populer dibincangkan umat Islam dalam kitab Zurrah An-Nashihin dan Hujjatul Islam Al-Ghazali, yaitu puasa yang dijalankan oleh mustad’afin dan mujahidin di wilayah konflik agraria. Puasa mereka bukanlah hasil dari usaha menjauh dari problem material, melainkan puasa yang dilangsungkan tanpa memandang keduniawian dengan memusatkan keteguhan iman untuk berhadapan langsung dengan ekspansi kapitalisme. Di depan mata, mereka menyaksikan ketimpangan dan kerusakan alam dalam bentuk paling telanjang. Mereka percaya bahwa, perjuangan menghapus ketimpangan dan menghentikan kerusakan alam adalah ibadah menegakkan yang ma’ruf dan memerangi yang mungkar. Inilah puasa yang tak sembarang orang bisa lakukan; puasa orang-orang pilihan yang didera berbagai cobaan.

Dikriminalisasi Karena Mempertahankan Tanahnya Sendiri

Sejak 2019, terhitung para petani Pakel telah dikriminalisasi dua kali akibat konflik agraria yang telah berlangsung seabad di sana. Terbaru, pada 2023 ini, mereka kembali diseret ke penjara sebagai buntut dari perjuangan warga mendapatkan kembali tanahnya. Ba’da isya Jumat 3 Februari, Mulyadi, Suwarno, dan Untung yang hendak menghadiri rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi tiba-tiba ditangkap oleh Polda Jawa Timur di Rogojampi. 

Penangkapan tersebut terjadi dua minggu setelah tiga petani Pakel menerima surat Polda Jatim melalui salah satu jasa pengiriman–bukan menerima langsung–pada tanggal 20 Januari 2023. Surat tersebut berisikan penetapan tersangka dengan Nomor S.Pgl/174/RES.1.24/2023/Diteskrum kepada Mulyadi, Untung dan Suwarno untuk datang ke Polda Jatim pada tanggal 19 Januari 2023. Ketiganya dikenakan pasal 14 dan 15 KUHP Nomor 1/1946, dengan tuduhan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

Merespon hal tersebut, pada 30 Januari 2023, ketiga petani dan Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) menempuh proses pra-peradilan di Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan Nomor Perkara: 02/Pid.Pra/2023/PN BYW dengan termohon meliputi Kepolisian Resort Banyuwangi, Kepolisian Daerah Jawa Timur, dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Proses ini ditempuh karena kecacatan dalam penetapan tersangka trio petani Pakel. Pertama, petani Pakel menerima surat panggilan lewat satu hari dari waktu yang ditentukan oleh Polda Jatim. Oleh karenanya, Petani Pakel tidak menghadiri panggilan tersebut. Terlebih, surat tersebut tidak dikirimkan secara langsung oleh pihak kepolisian, tetapi melalui perantara jasa pengiriman.

Selain itu, substansi kasus dalam penetapan tersangka tiga petani Pakel tidaklah jelas. Polres Banyuwangi beralasan tiga petani Pakel ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyebarkan berita bohong soal klaim tanah di Pakel yang diakui melalui Akta Penunjukan atas nama Sri Baginda Ratu (11 Januari 1929) yang dikeluarkan atas nama Achmad Noto Hadi Soerjo. Namun, tidak ada bukti yang tercantum mengenai detail peristiwa penyiaran kebohongan itu terjadi. 

Poin substansi dan teknis ini menyalahi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 112 dan 127 Juncto Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang mensyaratkan harus berdasarkan dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP dan disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Artinya, penetapan sepihak ini harus dipra-peradilankan untuk menggugurkan penetapan status tersangka tersebut. Pra-peradilan trio petani Pakel pun dijadwalkan akan dilangsungkan pada 17 Februari 2023.

Namun, tiga belas hari sebelum pra-peradilan dilangsungkan, trio petani Pakel ditangkap oleh sekelompok orang dan membawa mereka masuk ke dalam mobil. Warga yang mendengar kabar langsung lemas, cemas, dan khawatir atas hilangnya tiga kawan seperjuangan mereka yang diringkus orang tak dikenal. Esok hari selepas kabar penculikan tersebut, seorang warga akhirnya menanyakan kejadian tersebut kepada Polres Banyuwangi. Namun, pihak kepolisian berkilah tidak mengakui penangkapan tersebut. Empat hari setelahnya, pada 8 Februari 2023, Polres Banyuwangi bersama Kabid Humas Polda Jatim melaksanakan press conference memberi tahu awak wartawan dan publik bahwa ketiga warga pakel tersebut telah ditetapkan sebagai tahanan.

Proses pra-peradilan pun ditempuh sebagai salah satu upaya hukum untuk membebaskan warga. Malangnya, proses tersebut justru dipersulit dan ditunda-tunda oleh pihak termohon dan pengadilan. Sidang pra-peradilan yang seharusnya dilaksanakan pada 17 Februari 2023 harus mundur hingga 10 Maret 2023. Penundaan tersebut dikarenakan termohon tidak menghadiri persidangan–padahal telah diberitahu 15 hari sebelumnya. Hingga pada sidang keputusan tanggal xx Maret 2023 Majelis Hakim justru membuat pertimbangan yang tak adil dengan menolak ajuan pra-peradilan tiga petani Pakel tersebut. Majelis menilai hakim menyatakan bahwa Pasal 112 dan 227 KUHAP merupakan ketentuan yang diberlakukan pada lingkup persidangan dan dianggap tidak relevan dengan pengujian penetapan sah atau tidaknya tersangka. Padahal aturan tersebut juga menyoroti soal prosedur pemanggilan dalam pemeriksaan sebelum penetapan tersangka yang termasuk domain objek praperadilan agar tak tiba-tiba jadi tersangka.

Kriminalisasi dan penangkapan sewenang-wenang itu mengundang solidaritas dari berbagai pihak. Pada 16 Februari 2023 sebanyak lebih 1000 warga Pakel dan berbagai jaringan nasional, termasuk FNKSDA, mengajukan surat jaminan penangguhan penahanan terhadap tiga warga Pakel yang ditahan oleh Polda Jatim. Selain itu tercatat dukungan publik melalui penandatanganan 23.000 petisi di change.org. Namun meskipun petisi telah dilayangkan dan ribuan orang telah memberi dukungan, baik Polda Jatim maupun Polres Banyuwangi tak bergeming. Trio Pakel masih mendekam di penjara hingga kini.

Budi Pego dan Jalan Liku Perjuangan Kaum Petani Melawan Kapitalisme Ekstraktif

Belum selesai kasus kriminalisasi tiga petani Pakel, kita dikejutkan dengan berita penangkapan Heri Budiawan, alias Budi Pego. Budi Pego adalah seorang aktivis penolak pertambangan emas gunung Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI). Padahal kriminalisasi lima tahun yang lalu itu sudah dipeti-es-kan karena mengandung muatan politis yang kuat untuk membungkam perjuangan rakyat, kriminalisasi ini dipeti-es-kan.

Dikutip dari majalahsedane.org, demi mewujudkan cita-citanya sebagai petani, jalan yang ditempuh Budi Pego penuh onak dan duri. Budi Pego rela mengorbankan masa mudanya selama sepuluh tahun menjadi buruh migran di Arab Saudi. Sebab menjadi kuli di negara sendiri dengan berbagai macam politik upah murahnya, mustahil mampu menabung, apalagi membeli sejumlah petakan tanah. 

Tahun 2012 menjadi tahun kepulangan Budi Pego ke kampung halaman. Beberapa petak tanah berhasil dibeli dan buah naga ditanam dengan penuh suka cita. Baru dua tahun hidup tenang, Budi Pego dan warga lainnya diusik. Sebabnya, per 2014, segelintir manusia rakus dalam PT. DSI dan PT. BSI mulai membongkar Gunung Tumpang Pitu demi emas. Akibatnya, Tumpang Pitu sebagai salah satu sumber air yang mengaliri lahan pertanian ribuan warga menjadi petaka. Di 2016, terjadi banjir lumpur di desa Sumberagung yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian warga. Kondisi di pantai Pulau Merah juga disebut sangat mengenaskan tercemar limbah akibat adanya aktivitas pertambangan. 

Apabila kondisi itu dibiarkan, bukan tidak mungkin Budi Pego bersama para warga akan menjadi buruh tani, petani tak bertanah. Bahkan yang lebih memprihatinkan, kembali menjadi buruh migran. Sebab, janji investasi PT. DSI dan PT. BSI yang katanya akan membuka banyak lapangan pekerjaan, omong kosong belaka–sebagaimana terjadi di banyak tempat untuk melegitimasi pengrusakan dan perampasan ruang hidup. Ini sebenarnya menjadi bukti konkrit, bahwa investasi apalagi pertambangan, hanya merusak sendi-sendi kehidupan manusia terutama alam sementara para buruhnya hidup dalam keadaan miskin dan dimiskinkan.

Karena konsistensinya dalam menolak tambang, Budi Pego pun kembali dikriminalisasi dan ditangkap di rumahnya. Penangkapan itu bermula ketika tim PT BSI dengan kawalan Polresta, Kodim Banyuwangi, dan Satpol PP melakukan survey pemetaan geologis di Gunung Salakan–tidak jauh dari Gunung Tumpang pada Pitu 16 Maret 2023.

Pada 21 Maret 2023 pukul 10 malam, Budi Pego mendapat teror dari sembilan orang tak dikenal dengan merusak banner penolakan tambang emas yang terpampang di rumahnya. Sembilan orang ini mengendarai tiga sepeda motor, dan melarikan diri ketika tindakannya diketahui oleh Budi Pego.

Tiga hari setelah teror itu, keluarga Budi Pego melakukan penjagaan setiap malam di rumah Budi Pego. Lalu pada Jumat 24 Maret 2023, sepulang berkebun dan mencari rumput, Budi Pego ditangkap tanpa penjelasan oleh belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi dengan mengendarai empat mobil mendatangi rumah Budi Pego. Dalam penangkapan itu Budi Pego mempertanyakan dasar penangkapan dirinya, dan meminta surat penangkapan tersebut. Pihak Polresta hanya membuka dan menunjukkan surat tersebut sekilas, tanpa diberikan dan dibaca oleh pihak Budi Pego. 

Saat ini Budi Pego berada di Lapas Banyuwangi dengan penahanan dari Kejaksaan Negeri Banyuwangi, penahanan ini berdasar pada putusan kasasi MA yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap dirinya. Padahal penahanan ini sendiri sudah dipeti-es-kan selama 5 tahun, katena sangat kuat unsur politisnya demi membungkam suara pejuang lingkungan. 

Kilas Balik Kronologi Kriminalisasi Budi Pego dan Masyarakat Tolak  Tambang Tumpang Pitu 

Pada 22 Maret 2017 Budi Pego bersama 50an warga Sumberagung mendatangi pertambangan di wilayah Gunung Gamping, Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi karena mendapati informasi bahwa pertambangan telah beroperasi selama 3 bulan sementara warga baru mengetahuinya. Dan rencananya ada 3 desa yang akan dijadikan wilayah operasi pertambangan, yakni: Sumberagung, Kandangan dan Sarongan. 

4 April 2017, warga memasang spanduk penolakan penambangan emas di sepanjang Pantai Pulau Merah hingga kantor kecamatan Pesanggrahan. 

5 April 2017, spanduk penolakan tambang yang dipasang dituduh oleh pihak aparat keamanan menggunakan logo mirip palu arit.

13 Mei 2017, pukul 18.30 WIB, 4 orang warga (Heri Budiawan [Budi Pego], Andreas, Tri, Ratna) menerima surat panggilan sebagai tersangka. Mereka dituduh menyebarkan ajaran komunisme, marxisme-leninisme di muka umum melalui spanduk. Mereka dijerat dengan pasal 170a UU No. 27 Tahun 1999. 

4 September 2017, Heri Budiawan ditahan oleh Kejari Banyuwangi. 

23 januari 2018, dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak pernah menghadirkan bukti fisik spanduk yang dituduhkan, tapi Heri Budiawan tetap divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan pidana penjara 10 bulan. 

14 Maret 2018, Majelis hakim PT Jawa Timur yang diketuai oleh Edi Widodo memutuskan menerima permohonan banding JPU Kajari Banyuwangi. Dan memutus pidana penjara selama 10 bulan terhadap Heri Budiawan. 

16 Oktober 2018, MA menolak permohonan kasasi Heri Budiawan dan MA menambah pidana penjara Heri Budiawan menjadi 4 (empat) tahun. Hakim MA yang memutus perkara tersebut adalah: H. Margono, SH., MH., MM, Maruap Dohmatiga Pasaribu, SH., M.Hum, dan Prof. DR Surya Jaya, SH. M.Hum. 

7 Desember 2018, Heri Budiawan mendapat surat dari Kajari Banyuwangi (Surat Panggilan Terpidana), berupa pelaksanaan putusan MA tersebut (eksekusi tahap I). Namun anehnya, pasca terbitnya surat eksekusi I tersebut, tim kuasa hukum dan Heri Budiawan belum menerima salinan putusan Kasasi. 

21 Desember 2018, Heri Budiawan kembali mendapatkan surat panggilan eksekusi tahap II, yang akan jatuh pada Kamis, 27 Desember 2018. Tapi tim kuasa hukum dan Heri Budiawan tetap belum menerima salinan putusan Kasasi.

Maraknya solidaritas dari berbagai komunitas akar rumput, akademisi, dan CSO untuk keadilan Budi Pego, eksekusi atas putusan MA yang dinilai tidak adil tersebut tidak terlaksana. 

Selain kasus kriminalisasi Budi Pego, hadirnya industri pertambanga di Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi–yang dioperasikan oleh anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk, yakni PT. BSI dan DSI dari sejak tahun 2012, juga telah menyebabkan kriminalisasi pada tahun 2015 (8 orang warga menjadi korban). Lokasi IUP PT. BSI dan PT. DSI ini terletak di beberapa desa di Kecamatan Pesanggaran, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha, dan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha.

Pandangan FNKSDA dan Seruan Solidaritas Umat Islam

Berpijak pada tujuan penegakan keadilan dari hadirnya Islam dan Rasulullah sebagai pembebas, dalam dua  kasus tersebut, FNKSDA tegas berposisi:

Pertama, FNKSDA melihat perampasan lahan yang dilakukan oleh PT. Bumi Sari sejak awal haram mengingat ketiadaan bukti HGU perusahaan tersebut di wilayah Desa Pakel dan telah dikuasainya wilayah Desa Pakel sejak zaman kolonial hingga mengantongi Akta 1929. Selain itu, status HGU perusahaan cengkeh dan klaim areal Perum Perhutani juga belum jelas dikarenakan beberapa tanah dengan luas sekitar 300-an hektar telah dikuasai dan dikelola oleh warga untuk membangun kehidupan agraris dengan bertanam jagung, pisang, dan cabai serta beternak sapi. Sedangkan secara historis warga Pakel telah menggarap lahan dan memiliki bukti hak atas tanah tersebut, sehingga pada dasarnya mereka hanya berusaha mempertahankan hak mereka.

FNKSDA juga melihat perjuangan yang dilakukan oleh warga petani Pakel sebagai perjuangan yang konstitusional. Perjuangan reclaiming oleh petani Pakel adalah bagian dari perjuangan reforma agraria, yang oleh salah seorang guru agraria Indonesia, Gunawan Wiradi, disebut dengan land reform by leverage (reforma agraria dari bawah), yakni penataan ulang struktur agraria berdasarkan prakarsa organisasi petani yang kuat. Gerakan ini adalah protes nyata terhadap pemerintah yang dari rezim ke rezim selalu menginjak-injak cita-cita keadilan agraria. 

Hal ini pula yang kami nilai bahwa aksi reclaiming warga Pakel adalah haq dan perjuangannya adalah masyru’. Terlebih pada hakikatnya, tanah reclaiming ini akan difungsikan sebagai lahan produktif yang pemanfaatannya untuk keberlangsungan kehidupan rakyat, bukan motif akumulasi kapital semata. Maka, mengakui tanah warga Pakel dan menghentikan aktivitas PT Bumi Sari serta Perhutani KPH Banyuwangi Barat adalah kebijakan paling tepat untuk mewujudkan reforma agraria di Pakel di mana pada prinsipnya mendorong kedaulatan hak atas tanah. Hal ini sebagaimana  semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960, bahwa reforma agraria harus beranjak dari prinsip land to the tillers (tanah untuk petani/buruh tani).

Selain itu, tanah dalam Islam dipandang sebagai alat dan sarana untuk memperoleh manfaat, mencapai kesejahteraan (falah), serta melangsungkan ibadah. Oleh sebab itu, Islam mengharamkan penyerobotan dan perampasan lahan. Hal ini sebagaimana hadis riwayat Muslim:

“Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ‘Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari Kiamat kelak.’”–Hadits Shahih Muslim No. 3024, Kitab Pengairan.

Islam pun menunjukkan komitmennya pada kedaulatan dan keadilan agraria dengan memberikan ganjaran syahid bagi seseorang yang meninggal dikarenakan mempertahankan hak miliknya.

Kedua, FNKSDA teguh pada posisi menolak tambang emas PT BSI dan PT DSI. Penambangan ini telah jelas menyebabkan krisis sosial-ekologis yang akut di wilayah Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya. Krisis sosio-ekologis ini mencakup bencana lumpur sebagaimana yang pernah terjadi pada Agustus 2016 di desa Sumberagung dan sekitarnya, kawasan pesisir pantai Pulau Merah kondisinya jadi mengenaskan yang mengakibatkan beberapa jenis kerang, ikan dan banyak biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Beberapa sumur milik warga juga diduga telah tercemar dan terasa kecut karena penurunan kualitas lingkungan. 

Kami juga menyepakati dan mendukung penuh fatwa haram tambang putusan bahsul masail PCNU Banyuwangi pada 2009 silam. Pembangunan suatu industri harus merealisasikan tujuan syariat, yakni berpihak pada maslahah ammah (kepentingan umum) yang ukurannya adalah bukan kepentingan segelintir orang, tetapi rakyat kecil yang mayoritas berasal dari kelas pekerja dan kelangsungan ekologi untuk menjamin berlanjutnya kehidupan agama, manusia, dan alam. Merujuk pada salah satu keputusan Muktamar ke-29 pada tanggal 4 Desember 1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung Tasikmalaya, pencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dharar (kerusakan) adalah haram dan termasuk perbuatan jinayat (kriminal). Hal ini sangat erat kaitannya dengan maslahah ammah, sebagai bentuk takdzim kepada Allah SWT, sebagai sang pencipta sekalian alam. Oleh karenanya, pengrusakan lingkungan, baik melalui penebangan hutan, penghancuran gunung, privatisasi air, pencemaran lingkungan, dan industri ekstraktif merupakan perbuatan munkar dan bertolak belakang dengan maslahah ammah. Dengan kata lain, pertambangan di Tumpang Pitu yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat dikategorikan sebagai perbuatan munkar atau maksiat yang dapat diancam dengan hukuman jinayat. 

Argumentasi di atas juga diperkuat dengan keputusan Halaqah (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) Pada Tanggal 20–23 Juli 2007 di Jakarta. Tertulis di poin ketiga dan empat deklarasinya, sebagai warga Nahdlatul Ulama—dan umat Islam secara umum—harusnya memahami hal ini. Warga NU dan seluruh elemen masyarakat wajib menolak dan melawan para perusak hutan, lingkungan hidup, kawasan pemukiman, para pengembang teknologi, pengembangan bahan kimia dan uranium yang membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, para penyebar penyakit sosial, pihak-pihak yang melakukan monopoli ekonomi dan menyebabkan kemiskinan yang merugikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Islam juga memerintahkan pemeluknya untuk bertindak sebagai khalifah fil ard, yaitu orang yang senantiasa mengabdikan hidupnya untuk memastikan dunia yang ia tinggali menjadi lebih baik saat ia mati, daripada dunia saat ia dilahirkan. Orang-orang seperti Budi Pego dan tiga petani Pakel adalah figur teladan khalifatu fil ard tersebut yang layak untuk dibela dan perjuangannya adalah uswah hasanah bagi umat manusia.

Ketiga, FNKSDA melihat bahwa penyerahan tanah dan sumber daya alam kepada PT Bumi Sari di Pakel dan tambang emas PT BSI dan PT DSI di Tumpang Pitu–alih-alih kepada rakyat–telah mengingkari UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA 1960 yang merupakan konstitusi tertinggi dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam. Dalam kedua Undang-undang tersebut tercatat bahwa tanah dan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak diperuntukkan bagi rakyat, dan tidak boleh diperlakukan sebagai barang dagangan atau komoditas. Sementara mengubah wilayah Tumpang Pitu menjadi wilayah operasi pertambangan hanyalah praktik akumulasi kapital yang menguntungkan kapitalis semata. 

Keempat, FNKSDA melihat bahwa perkebunan PT Bumi Sari di Pakel dan tambang emas PT BSI dan PT DSI di Tumpang Pitu merupakan bentuk akumulasi primitif yang dilakukan oleh kapitalisme untuk menceraikan produsen–para petani Pakel dan Tumpang Pitu–dari alat-alat produksi mereka–tanah. Di manapun tempatnya, proses historis ini, kata Marx, “ditulis dalam huruf-huruf darah dan api.” Artinya, akumulasi primitif mustahil terjadi secara damai dan tentram. Pada akhirnya, proses ini menjadikan orang-orang yang dirampas alat-alat produksinya tidak punya pilihan lain selain menjual tenaga mereka sendiri lewat sistem kerja upahan di bawah kapitalisme. Ini menunjukkan bahwa konflik agraria dan ekologi melahirkan eksploitasi yang beragam dan memperparah ketimpangan serta kemiskinan struktural.

Kelima, proses akumulasi primitif a.k.a perampasan lahan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari di Pakel dan tambang emas PT BSI dan PT DSI di Tumpang Pitu menempatkan perempuan pada posisi yang jauh lebih rentan ketimbang laki-laki. Hilangnya alat-alat produksi berdampak langsung pada hilangnya sumber ekonomi, air bersih, dan sumber pangan yang berfungsi memastikan reproduksi sosial rumah tangga mereka. Selain itu, perampasan lahan juga mengakibatkan hilangnya pengetahuan lokal dan marjinalisasi perempuan, termasuk terkait kearifan lokal dan spiritualitas seperti membuat obat-obatan herbal, kerajinan tangan, hingga ritual pertanian. Ini menegaskan dilanggarnya kedaulatan agraria oleh korporasi juga terkait erat dengan penindasan berbasis gender. 

Perampasan lahan sebagaimana yang terjadi di Pakel dan Tumpang Pitu ini membuat perempuan berada dalam posisi rentan untuk dikriminalisasi, mengalami pemiskinan dan kehilangan rasa aman terlebih ketika perampasan lahan menyebabkan segregasi sosial akibat pro kontra dalam masyarakat. Para perempuan akhirnya memikul tanggung jawab ganda sebab mereka tak hanya berjuang langsung menghadapi konflik baik dalam upaya formal dan informal, tetapi mereka juga harus memastikan reproduksi sosial terus berjalan. Dalam kondisi konflik yang bereskalasi hingga mencapai kulminasinya, hilangnya peran produktif para laki-laki sebab kriminalisasi, penculikan, maupun pembunuhan serta hilangnya alat produksi mengakibatkan para perempuan menghadapi krisis produksi dan reproduksi sosial di saat yang sama. Oleh karenanya, konflik agraria dalam derajat tertentu berpengaruh terhadap terciptanya kelas buruh perempuan yang pada akhirnya menggiring mereka pada eksploitasi kapitalisme baru di ruang yang berbeda.

Keenam, FNKSDA mengecam keras segala bentuk narasi yang menormalisasi (melegitimasi) kekerasan fisik terhadap pejuang keadilan sosio-ekologis dan agraria. Kekerasan fisik tersebut mustahil dapat dibenarkan tanpa mendapat legitimasi dari kekerasan cara berpikir, atau, dalam istilah Johan Galtung disebut sebagai kekerasan budaya. Penggunaan kata “legitimasi” dalam hubungannya dengan praktik kekerasan yang terus diproduksi negara beserta aparatusnya artinya bahwa kekerasan sesungguhnya dapat “dibenarkan”, salah satunya melalui berbagai selubung narasi yang membentuk kekerasan cara berpikir. 

Narasi-narasi tersebut dapat kita temui misalnya dalam kalimat: “Mereka pantas ditangkap karena membangkang”, “mereka adalah perusuh ketertiban umum dengan menyebarkan berita bohong dan provokatif oleh karena itu harus diamankan (dipenjara)”, “mereka pantas dibekuk sebab melawan para aparat–yang hendak menggusur ruang hidupnya”–dan masih banyak lagi anggapan ataupun kalimat yang serupa, baik yang bersemayam dalam benak masyarakat secara umum maupun yang diimani oleh para aparatur negara dan korporasi. 

Narasi-narasi tersebut sejatinya hanya menutupi akar persoalan yang lebih brutal yang dilakukan oleh negara bersama korporasi pertambangan, yaitu penghancuran ruang hidup dan kriminalisasi terhadap warga dan kaum petani. Kekerasan cara berpikir a.k.a kekerasan budaya ini sengaja diproduksi dan bekerja di alam bawah sadar yang digunakan untuk memanipulasi cara berpikir masyarakat secara umum agar bentuk-bentuk kekerasan secara fisik yang dilakukan korporasi dan aparatur negara untuk membungkam suara perlawanan dari warga maupun petani yang mempertahankan ruang hidupnya dapat dilegitimasi. Kekerasan jenis ini, menurut Johan Galtung, secara esensi akan bersifat sama untuk jangka waktu yang sangat lama, menciptakan sebuah transformasi lambat terhadap sebuah kebudayaan yang menceramahi, mengajarkan, mengarahkan dan mengaburkan pandangan untuk melihat eksploitasi dan represi menjadi hal yang lumrah dan alamiah atau untuk tidak melihatnya sama sekali.

Ketujuh, FNKSDA melihat bahwa penggunaan narasi hantu komunisme dan pasal penyebaran paham Komunisme untuk mengkriminalisasi Budi Pego pada 2018 lalu–meski tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan di dalam persidangan, digunakan untuk memanipulasi emosi publik. Akibatnya kekerasan terhadap warga yang menolak pertambangan dan Budi Pego menjadi kabur dan mendapatkan legitimasi. 

Komunisme, sampai saat ini, masih dipahami sebagai musuh sekaligus ancaman bagi keamanan negara maupun agama. Hal ini dilembagkan dengan adanya TAP MPRS No. 25 tahun 1966 tentang larangan komunisme yang telah direplikasi dalam berbagai peraturan perundangan lainnya. Narasi hantu komunisme, dengan demikian, masih menjadi senjata ampuh untuk membungkam perlawanan serta musuh politik. FNKSDA mengecam dengan keras apabila pasal penyebaran paham komunisme pada akhirnya digunakan kembali pada penangkapan Budi Pego yang terakhir ini. Sebab penggunaan pasal penyebaran paham komunisme bakal mengaburkan persoalan yang lebih fundamental, yaitu perampasan lahan dan perusakan alam melalui pertambangan. 

Budi Pego waktu itu dijerat dengan Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999 yang berbunyi:

Barangsiapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk, dipidana penjara paling lama 12 tahun.

Ancaman kriminalisasi dengan dalih serupa juga sangat mungkin terjadi di kemudian hari mengingat KUHP terbaru (pasal 188) pun mereproduksi narasi serupa atas nama “ideologi negara”. Pasal tersebut adalah wujud nyata bagaimana propaganda ketakutan terhadap komunisme dilembagakan dan dikodifikasi negara, sebuah pengejawantahan hukum sebagai alat penindasan kelas yang dikomandoi para kelas borjuasi/oligarki.

Oleh karena itu, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) melihat bahwa kriminalisasi dan penangkapan Petani Pakel dan Budi Pego selain mengingkari konstitusi negara Indonesia, juga sekaligus mengingkari prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang menjunjung tinggi keadilan. Selain itu, kriminalisasi dan penangkapan atas mereka, jelas bukanlah ditujukan untuk menegakkan keamanan, melainkan digunakan untuk menghancurkan  titik-titik perlawanan rakyat dan mempertahankan akumulasi primitif  di bawah panji-panji kapitalisme. 

Alhasil, kriminalisasi atau penangkapan sewenang-wenang itu jelas merupakan upaya untuk melemahkan gerakan reclaiming oleh petani Pakel, dan seperti juga dilakukan terhadap gerakan rakyat di mana-mana. Begitu juga kriminalisasi yang dialami oleh Budi Pego adalah untuk melemahkan gerakan rakyat terhadap kapitalisme ekstraktif yang menyebabkan krisis sosial ekologis di wilayah Gunung Tumpang Pitu dan berbagai wilayah di Inonesia. Inilah alasan mengapa aparat keamanan dan penegak hukum tidak peduli pada kejanggalan prosedur hukum yang dilakukan selama proses kriminalisasi tersebut berlangsung sebab sejak awal tujuan mereka bukan menegakkan  hukum, melainkan melayani kapitalisme. 

Oleh karena itu, kami FNKSDA mengambil serangkaian sikap:

  1. Menuntut Polda Jatim untuk segera membebaskan  tiga petani Pakel yang dikriminalisasi dan ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polsek Banyuwangi;
  2. Menuntut pemerintah baik pusat maupun daerah agar mencabut HGU PT Bumi Sari dari tanah garapan petani Pakel;
  3. Menuntut pemerintah Indonesia memberikan amnesti kepada Budi Pego;
  4. Menuntut mencabut HGU tambang di kawasan Tumpang Pitu;
  5. Menuntut semua pihak berhenti menormalisasi kekerasan cara berpikir yang melegitimasi kekerasan secara fisik terhadap perjuangan warga maupun petani dalam mempertahankan ruang hidupnya;
  6. Menuntut semua pihak berhenti menggunakan pasal marxisme-leninisme dan penyebaran hoax atau ujaran kebencian untuk mengkriminalisasi petani;
  7. Menuntut penghapusan pasal larangan marxisme-leninisme yang telah menjadi alat untuk mematikan perlawanan rakyat;
  8. Menuntut negara mengembalikan hak rakyat atas lingkungan hidup yang lestari dan tanah yang berdaulat;
  9. Menuntut kepolisian Republik Indonesia untuk berhenti menghentikan seluruh tindakan represif dan intimidasi terhadap rakyat.
  10. Menyerukan umat Islam seluruh Indonesia bersolidaritas kepada Budi Pego, petani Pakel, dan para mujahid lingkungan dan agraria lainnya;
  11. Mendesak organisasi Islam untuk bersikap dan bersatu berjuang melawan krisis sosio-ekologis dan kapitalisme bersama rakyat tertindas (mustad’afin).

Daulat rakyat,

Daulat hijau!

Jakarta, 10 April 2023/19 Ramadan 144H

Komite Nasional

Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *