Sebuah Perkenalan: Bacaan Rujukan Sosialisme Islam
Oleh: Ayu Rikza (Koordinator FNKSDA)
Pada minggu lalu, saya berkontak dengan salah seorang kenalan jauh, Mustafa Ashaari, aktivis sekaligus seorang pengarsip dari Somalia, yang menekuni wacana dan aktivisme sosialisme Arab. Mustafa memberi saya beberapa daftar bacaan yang begitu banyak. Saya tertarik untuk membagikan buku-buku rekomendasinya—dan ia dengan senang hati memberi izin—yang terbit pada era sosialisme Arab dimulai dari “Isytirakiyah Islam” (sosialisme Islam) yang dipublikasikan oleh Mustafa As-Siba’i pada 1959.
Buku ini tentu bukan buku pertama yang membahas sosialisme Islam. Pada tahun 1897, Jamaluddin Al-Afghani telah lebih dahulu menerbitkan karyanya berjudul “Islamic Socialism”. Disusul kemudian pada 1921 Mushir Hosein Kidwai menulis “Islam and Socialism”, buku yang menurut Fogg (2019) diplagiasi oleh Omar Said Tjokroaminoto. Namun, latar belakang As-Siba’i sebagai seorang ulama dengan kepakaran fikih yang kuat membuat buku ini sangat spesial bagi seorang santri seperti saya.
Mustafa Husni As-Siba’i berasal dari Suriah dan tumbuh dalam keluarga ulama. Semasa remaja, As-Siba’i aktif dalam gerakan perlawanan imperialisme Prancis. Pada 1931, As-Siba’i diseret ke penjara oleh pemerintah kolonial setelah berkhutbah untuk kedua kalinya di Masjid Agung Homs mengkritik kebijakan dan menyeru jihad muslim Homs melawan pemerintah kolonial. Peristiwa itu terjadi ketika As-Siba’i masih berusia 16 tahun. Setelah keluar dari penjara, As-Siba’i memutuskan melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar. Selain mengabdikan diri dalam kerja akademik sebagai dekan pertama Fakultas Syariah di Universitas Damaskus sejak tahun 1945 hingga 1961, As-Siba’i juga beraktivitas politik di Ikhwanul Suriah, cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir.
“Isytirakiyah Islam” yang diterbitkan As-Siba’i begitu kontroversial kala itu. Bukunya memantik perdebatan yang cukup panas dalam dunia politik maupun intelektual Islam. As-Siba’i memublikasikan “Isytirakiyah Islam” satu tahun setelah membubarkan Ikhwanul Suriah pada 1958–yang mana pembubaran itu dilakukannya untuk mendukung pendirian Republik Arab Bersatu (The United Arab Republic)–dan dua tahu tahun setelah kekalahannya dalam pemilihan umum melawan Riyadh Maliki dari Partai Ba’ats pada 1957.
Argumen utama dari “Isytirakiyah Islam” adalah bahwa Islam, menurut As-Siba’i, memiliki prinsip dan karakter sosialis. As-Siba’i mendeskripsikan bagaimana Islam tidak antagonistik dengan nilai-nilai sosialisme. Berangkat dari kepakarannya di bidang hukum Islam, ia menjelaskan bagaimana dan apa saja syariat serta ajaran Islam yang mengandung prinsip maupun karakter sosialis yang mendasarkan pada lima hak-hak kodrati yang mencakup kehidupan, hurriyah (kemerdekaan/kebebasan), keilmuan, dan kepemilikan. As-Siba’i menekankan takaful ijtima’i (social security) sebagai bentuk dari sosialisme Islam yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga ubudiyah dan insaniyah.
Seperti kebanyakan buku-buku sosialisme Islam/Arab lainnya, “Isytirakiyah Islam” milik As-Siba’i tidak membicarakan materialisme dialektis maupun perjuangan kelas, tetapi menumpukan sosialisme Islam dalam kerangka kesadaran kolektif untuk membentuk masyarakat dan negara yang sejahtera yang memerangi kemiskinan serta kesengsaraan dengan berlandaskan sumber hukum Islam. Inilah fokus As-Siba’i yang ia tujukan untuk menarik kelompok muslim agar tak berpaling dari agama Islam sehingga lebih memilih sosialisme sekuler—hal ini juga didasarkan pada kondisi gerakan masyarakat Arab kala itu yang lekat dengan gerakan sosialisme-komunisme dan sedikitnya yang berbicara soal perjuangan kesejahteraan rakyat dari persepektif Islam terlebih pengalaman kekalahan As-Siba’i menghadapi dukungan masyarakat kepada sosialisme yang diusung oleh Partai Ba’ats. Namun, kepakaran fikih As-Siba’i yang menonjol dalam buku inilah justru menjadikan “Isytirakiyah Islam” diakui oleh banyak otoritas religius maupun politik dan menjadi salah satu rujukan utama ketika berbicara soal sosialisme Islam.
Sejak itu, sejumlah karya dengan tema umum sosialisme Islam pun mulai dipublikasikan oleh penerbit di bawah pemerintah Mesir. Karya-karya tersebut di antaranya “Al-Islam Din Al-Isytirakiyya” (Islam, Agama Sosialisme) karya Ahmad Farraj dan rangkaian hagiografi (tulisan kehidupan orang-orang suci) tokoh-tokoh Islam awal karya Mahmud Salabi yang mengulas kehidupan mereka dan dukungan Islam terhadap prinsip-prinsip sosialis. Hagiografi tersebut mencakup “Isytirakiyyah Muhammad” (Sosialisme Muhammad, 1962), “Isytirakiyyah Abi Bakr” (Sosialisme Abu Bakar, 1963), dan “Isytirakiyyah ‘Umar” (Sosialisme ‘Umar, 1964).
Ismat Sayf al-Dawla, seorang Nasseris, juga turut meramaikan wacana ini. Ia menulis dengan menegaskan kembali persetujuan Islam kepada sosialisme dalam bukunya Usus Isytirakiyyat al-Islam (Fondasi Sosialisme Islam) yang terbit pada tahun 1965. Setahun kemudian, Kamal al-Din Rif’at, Sekretaris Propaganda dan Pemikiran Uni Sosialis Arab, menulis di harian resmi Al-Jumhuriyya bahwa: “Tidak ada kontradiksi sama sekali antara Islam dan sosialisme. Sosialisme adalah salah satu prinsip Islam.” Dinamika kemunculan publikasi-publikasi sosialisme Islam ini bisa dibaca cukup apik dalam buku Sami Ayad Hanna dan George H. Gardner dalam “Arab Socialism (Al-Isytirakiyah Al-Arabiyah): A Documentary Survey”.
Di sisi lain, banyak kritik pun diterima oleh As-Siba’i. Selain dari Ikhwanul Muslimin dan Liga Muslim Dunia, koleganya dari Jami’ah Al-Azhar juga memberi kritik serupa. Muhammad Hamid, misalnya, menulis bantahannya terhadap “Isytirakiyah Islam” dalam kitab “Nazarat fi Isytirakiyah Islam”. Dalam kritik ilmiahnya, Hamid meluruskan beberapa argumentasi As-Siba’i yang ia nilai tidak tepat dengan begitu rinci. Hamid secara tegas ingin menunjukkan bahwa Islam adalah Islam dan cukup dengan akidah serta hukumnya yang adil dan penuh rahmat kehidupan yang ideal diwujudkan. Di sisi lain, Hamid juga menggambarkan bagaimana Islam tidaklah monolitik dan memiliki kekayaan perbedaan pendapat. As-Siba’i sendiri menanggapi kritik-kritik tersebut dalam bukunya “Hakaza Allamatni Al-Hayat”. Namun As-Siba’i tidak mengkritik balik kritik atas pemikirannya. Ia justru menguraikan hikmah-hikmah yang As-Siba’i peroleh selama perjalanan hidupnya.
Melacak karya-karya ulama seperti As-Siba’i hingga Hamid memberi kita sebuah potret sejarah bagaimana ulama berijtihad melawan krisis kapital dan gejolak ekonomi politik pada masa mereka hidup. Tentu kritik terhadap karya-karya tersebut hingga sikap atau pilihan politik mereka sangatlah terbuka. Namun, agaknya kita tidak perlu menghabiskan waktu berdebat apakah Islam merupakan agama yang sosialis atau bukan. Jawaban dari pertanyaan tersebut hanya akan berputar di tempat yang sama seperti perdebatan As-Siba’i dan Hamid–sedangkan tugas kita adalah melampauinya. Usaha pelampauan itu membutuhkan kerja epistemologis yang panjang nan tekun. Kerja ini adalah fardu kifayah bagi masyarakat muslim dan fardu ain bagi mereka yang memantapkan diri mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan umat.