FNKSDA Bojonegoro: Hari Sumpah Pemuda dan Militansi yang Tak Bertepi
Oleh Yogi Abdul Gofur (Pegiat Fnksda Bojonegoro)
Hari Sumpah Pemuda tak boleh berhenti sekadar perayaan. Tapi harus jadi momentum perjuangan dan militansi yang tak bertepi.
Sehari sebelum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Komite Bojonegoro gelar diskusi dan dialektika di Taman Rajekwesi.
Diskusi tertanggal 27 Oktober 2020 yang digelar FNKSDA Bojonegoro berlangsung dengan santuy dan bahagia. Jumlah peserta yang hadir, tidak mempengaruhi intensitas diskusi.
FNKSDA Bojonegoro yakin dan percaya bahwa yang menggerakkan kuantitas adalah kualitas, bukan sebaliknya. Jadi, berapapun yang hadir tak berpengaruh pada militansi diskusi. Tiap peserta pemantik dan bebas menyuarakan unek-uneknya.
Kegiatan refleksi menjelang Hari Sumpah Pemuda tersebut disaksikan oleh unsur biotik dan abiotik plus mampu menarik perhatian beberapa orang tak beridentitas sebagai pengawas diskusi, wqwqwq.
Selain itu, lampu taman, bunga-bunga, kupu-kupu yang terbang bebas menjadi saksi diskusi yang digelar pada waktu senja. Saking antusiasnya, diskusi berjalan dengan lancar hingga lampu taman menyela dan azan maghrib berkumandang.
Sumpah Pemuda yang diperingati pada tanggal 28 Oktober, bukan hanya seremonial belaka. Seyogianya sebagai pelajar , memiliki kewajiban untuk melakukan pengabdian pada masyarakat yang bukan hanya sekadar dimaknai sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Lebih kepada bagaimana aksi nyata menanamkan kesadaran akan penindasan plus penghisapan, mengorganisir masyarakat, dan membangun gerakan dengan nafas yang panjang.
Kepulan asap rokok, air mineral, dan dua cangkir kopi (yang lain teh) mengiringi diskusi. Sumpah pemuda sebagai refleksi merekatkan perjuangan pemuda, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Dulu perjuangan founding parents Indonesia melawan kolonialisme. Sekarang, melawan oligarki bengis yang senantiasa mengatasnamakan pembangunanisme, namun meruntuhkan ruang demokrasi.
Dalam diskusi sore tadi, kawan-kawan juga membahas perbedaan pergerakan era kolonialisme dengan pasca reformasi, dampak kapitalisme (salah satunya sistem komersialisasi pendidikan), sepak terjang pemuda Bojonegoro yang mewarnai khazanah pergerakan nasional dan internasional seperti Tirto Adi Soerjo (TAS) dan Tio Oen Bik.
Dan tak lupa menyuarakan unek-unek agenda organisasi kedepan ihwal membangun gerakan populis nan memberdayakan masyarakat wabilkhusus petani dan buruh.
Kegiatan semacam ini akan terus kami lakukan. Bahkan akan jadi kegiatan mingguan. Iya, mingguan. Jadi, buat para pengawas diskusi, bersiaplah menghadapi militansi tak bertepi dari kami. Panjang umur perjuangan! Daulat Hijau! Daulat Rakyat!