Browse By

Fracking dan Gempa Bumi Dalam Sistem Energi Geothermal

Oleh Bosman Batubara

[tulisan di sini dialamatkan kepada petani 32 desa di Lereng Gunung Ciremai yang sedang bertarung melawan raksasa geothermal bernama Chevron!

***

Energi geothermal (panas bumi) adalah salah satu energi alternatif yang sangat banyak dikampanyekan belakangan ini, terutama karena sifatnya yang dapat diperbaharui dan emisi karbonnya yang rendah. Potensi energi geothermal yang berlimpah di Indonesia menjadikan energi ini sebagai primadona baru. Alih-alih mangamini betapa pentingnya energi geothermal, tulisan ini akan mencoba menelaah sisi lain energi geothermal berupa dampak negatif yang ditimbulkannya dalam bentuk aktivitas seismik atau gempabumi.

Diskusi dapat kita awali dengan melihat apa yang terjadi di Basel, Swiss, dimana penduduknya memiliki trauma kolektif yang buruk terhadap gempabumi karena pada tahun 1356 kota ini hampir seluruhnya hancur digoyang oleh gempabumi dengan kekuatan 6,5 skala Richter. Pada tahun 2006 yang lalu, tampaknya pengalaman akan gempabumi dahsyat di masa lalu ini terproyeksikan kembali ke dalam kesadaran masyarakat Basel. Warga kota merasa sangat khawatir dengan adanya beberapa aktivitas seismik yang menyebabkan bangunan-bangunan mereka rerak-retak. Polisi dan pemadam kebakaran menerima ratusan telfon dari penduduk yang mengkhawatirkan keadaan.

Adalah Markus O. Häring, seorang juragan minyak yang, sebelum kejadian itu menjadi pahlawan di Basel karena proyek geothermal-nya yang mengekstraksi panas dari suatu kedalaman tertentu di perut bumi dan kemudian menyalurkannya menjadi energi yang dibutuhkan oleh warga kota, yang kemudian yang menjadi sasaran warga kota. Orang Basel percaya bahwa proyek energi geothermal Tuan Häring ini telah menyebabkan terjadinya gempabumi di kota mereka. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Untuk mengetahui bagaimana terjadinya gempabumi karena adanya sistem energi panasbumi maka langkah pertama tentu saja adalah memahami bagaimana sistem kerja ekstraksi panas dari dalam Bumi pada sistem geothermal. Bagi yang sudah memahami ini, dapat meloncat ke bagian selanjutnya, melangkahi alinea berikut. Pada prinsipnya ada dua jenis sumur, sumur injeksi dan sumur produksi.

Sumur produksi berfungsi mengalirkan gas/fluida panas dari dalam Bumi ke permukaan. Di permukaan, panas tersebut berfungsi menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik yang dialirkan ke pemakai. Di sisi lain, karena diambil terus-menerus, tentu saja fluida dalam batuan suatu ketika akan habis. Untuk mengantisipasinya maka dibuatlah sumur injeksi. Melalui sumur injeksi, fluida dialirkan ke dalam perut Bumi, bersentuhan dengan batuan panas, mengalami kenaikan suhu, dan kemudian dialirkan kembali ke permukaan melalui sumur produksi. Adapun fluida yang menggerakkan turbin dan sudah mendingin, kembali disuntikkan ke dalam perut Bumi melalui sumur injeksi. Begitu seterusnya berputar. Itu sebabnya mengapa energi panas bumi disebut energi yang renewable (terbarukan).

Tidak sulit bagi para engineer ketika berhadapan dengan sistem panas bumi alami dan mengeksraksinya dari perut Bumi. Masalah bermula ketika cadangan sistem panas bumi yang ada tidak mencukupi untuk diproduksi dengan skala komersial. Untuk memproduksi energi geothermal dalam skala komersial, tentu saja kuantitas menjadi penting. Kuantitas pada energi geothermal ini tergantung pada setidaknya dua hal. Pertama, fluida yang cukup dalam siklus injeksi-produksi. Dan kedua, tentu saja kemampuan batuan yang panas di dalam Bumi untuk melalukan fluida (permeability).

Dalam beberapa kasus proyek energi panas bumi ini ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas alami sebuah sistem geothermal (Enhanced Geothermal System/EGS). Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas batuan dan volume fluida yang berada dalam siklus. Teknologi EGS pada dasarnya dikembangkan untuk menjawab kekurangan kapasitas sebuah sistem geothermal alami. Atau dengan kata lain, membuat sebuah sistem geothermal yang tidak ekonomis menjadi ekonomis dengan meningkatkan kapasitas sistem bawah tanah sebuah sistem energi panas bumi dan merekayasa sebuah kondisi bawah permukaan menjadi sistem energi geothermal.

Dalam konteks EGS inilah kasus di Basel menjadi krusial. Peningkatan kapasitas sistem geothermal alami secara teknis dapat dilakukan dengan pusparagam cara. Kalau berhadapan dengan reservoir (batuan sarang tempat fluida di bawah tanah) yang panas tetapi memiliki permeabilitas yang rendah, maka para engineer merekayasa teknik yang disebut hydraulic fracturing. Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir meningkatkan permeabilitas batuan sarang. Ini hanyalah salah satu teknik yang sering dipakai untuk meningkatkan permeabilitas. Kajian kritis menyebut hydraulic fracturing dengan sebutan “fracking”. Fracking bukan hanya digunakan dalam proses injeksi pada sistem geothermal, tetapi juga dalam proses ekstraksi gas dari batuan sarangnya.

Permasalahannya, fracking berarti penurunan kohesivitas (daya ikat) pada batuan. Bayangkan saja sebuah batuan yang keras dan kompak kemudian didesak agar timbul rekahan. Tentu saja kekuatan si batu akan berkurang. Dalam kasus sistem geothermal, pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan tekanan yang lebih jauh akan membuat reservoir terfasilitasi untuk mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction) nya terlampaui. Nah, terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi.

Pada pirinsipnya gempabumi hampir selalu berasosiasi dengan patahan yang aktif bergerak (slip) dan melepaskan energi pada kulit bumi. Faktual, bagi orang yang melakukan studi tentang patahan, maka rasanya tidak ada satu titik pun di permukaan Bumi kita ini yang tidak ada patahan di bawahnya. Hanya saja yang menjadi pembeda adalah dimensi dan aktivitas patahan terkait: seberapa panjang dan seberapa lebar dimensi patahannya, serta seberapa aktif (sering, jauh, dan dekat) pergerakannya.

Dalam konteks EGS, apabila terjadi slip, maka ia juga akan menyebabkan gempabumi meskipun dalam skala yang kecil (microearthquake), di bawah 4 atau 5 skala Richter. Angka 4 dan 5 pada skala Richter diambil sebagai palka karena berdasarkan studi yang dilakukan para pakar terhadap kejadian-kejadian gempabumi di seluruh dunia, angka 4 sampai 5 pada skala Richter adalah titik kritis sebuah gempabumi destruktif atau tidak. Artinya, gempabumi yang lebih kecil dari 4 skala Richter (umumnya) tidak desktruktif, sementara gempabumi yang lebih besar dari 5 skala Richter (pada umumnya) bersifat destruktif.

Ada 4 mekanisme pembentukan gempabumi mikro yang terjadi karena adanya slip dalam EGS, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori; 2)penurunan suhu; 3)perubahan volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4)alterasi kimia pada permukaan rekahan.

Kenaikan tekanan pori batuan terjadi karena adanya injeksi fluida ke dalam reservoir. Penurunan suhu dapat memicu aktivitas seismik karena interaksi fluida yang diinjekasikan dengan reservoir batuan panas. Hal ini dapat dipahami karena terjadinya kontraksi pada permukaan rekahan di reservoir. Dalam sistem injeksi, yang disuntikkan adalah fluida yang lebih dingin karena semua sistem dalam energi panas bumi tujuan utamanya adalah mengekstraksi panas dari perut Bumi, maka tidak mungkin disuntikkan fluida yang lebih panas dari resevoir. Perubahan volume dalam kasus ini menyebabkan gempabumi karena adanya ekstraksi fluida dari—atau diinjeksikan ke dalam—reservoir. Hal ini dapat menyebabkan reservoir mengalami regangan atau kompaksi. Atau dalam kalimat lain, proses ini mengubah kondisi tegangan lokal yang ada. Dan terakhir, alterasi kimia akibat injeksi fluida dari luar ke dalam reservoir dapat menyababkan terjadinya reaksi geokimia pada permukaan rekahan, dan lebih jaun menyebabkan terjadinya slip seismik. Kondisi-kondisi mikro ini dapat berkembang cepat menjadi makro apabila proyek EGS ini berada di daerah yang memiliki patahan dengan intensitas tinggi. Sebagai catatan, proyek geothermal banyak berada pada region Bumi yang memiliki intensitas patahan yang tinggi.

Ada beberapa kasus gempabumi mikro yang dipicu proyek energi geothermal. Selain kasus Basel pada tahun 2006 itu, setidaknya ada tiga kasus lain yang sudah terkenal di dalam jagad pergeologian untuk kasus gempabumi mikro yang dipicu oleh EGS ini. Yaitu di lapangan Geyser Amerika Serikat, Cooper Basin di Asutralia, dan di Soultz-sous-Foréts, Perancis. Magintude gempa bumi mikro yang terjadi secara berurutan berada pada kisaran angka 3.4, 4.6, 3.7, dan 2.9 pada skala Richter.

Keberadaan fracking sebagai salah satu pemicu terjadinya gempa bumi minor dalam sebuah EGS, sangat pantas untuk dipertimbangkan. Apalagi, dalam konteks Indonesia, gempa bumi mikro sangat mungkin dengan cepat berubah menjadi gempa bumi makro karena pada dasarnya sebagian besar wilayah Indonesia berada pada region yang sangat aktif secara tektonik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *