Browse By

Ider Bumi: Sekian Upaya Merawat Asa serta Ingatan Kolektif Rakyat Pakel

Oleh: M. Nu’man Fauzi (Nuzy) (Kader FNKSDA Komda Jember)

 “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…”. Semua rakyat Pakel berdiri dengan khidmat di atas tanah yang menjadi penghidupannya tatkala mendengar azan maghrib dikumandangkan. Sinar jingga matahari mulai menghilang di ufuk timur. Mantra-mantra doa terdengar lirih dari balik gubuk milik rakyat Pakel. Ratusan obor bambu muda apinya dinyalakan.

Srek, srek…”, terdengar ratusan langkah kaki berbaris menyusuri gang sempit dan terjalnya jalan berbatu, berlumpur serta berkubang di bawah sinar rembulan menuju Posko Perjuangan, posko yang didirikan bersama-sama tiga tahun lalu untuk melanjutkan bara api perjuangan para pendahulu mereka.

Malam itu, Sabtu Pahing 8 Robiul Awal 1445 Hijriah, 8 Mulud 1957 dalam kalender Jawa, atau 23 September 2023 dalam kalender Masehi, masyarakat desa Soemberredja (kini Pakel) bertumpah ruah di sekitar Posko Perjuangan. Perjuangan mereka hampir genap seabad, bermula sejak tahun 1925 ketika leluhur mereka memulai upaya reclaiming, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda.

Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.[1] Namun, sampai kini, perjuangan atas tanah yang seharusnya menjadi hak rakyat Pakel belum juga menemui titik terang.

Pengajuan permohonan pembukaan hutan oleh rakyat Pakel didasari karena banyak penduduk (hutan) Pakel tidak memiliki kepastian hidup di tengah kondisi peperangan yang sedang berkecamuk di berbagai belahan dunia termasuk di Hindia-Belanda. Dampak krisis malaise dan depresi ekonomi menimpa bukan hanya negara penjajah, melainkan juga negeri jajahannya.

Sebagai upaya mengatasi dampak krisis tersebut di tingkat lokal, dikirimlah surat pengajuan permohonan pembukaan hutan itu kepada pemerintah kolonial Belanda agar lebih banyak penduduk Soemberredja mendapatkan lahan sebagai sumber penghidupan mereka. Namun, beberapa waktu setelah “akta 1929” terbit, para petani justru ditentang sekaligus mendapat tindakan kriminalisasi dari penguasa kolonial dan pengusaha perkebunan kolonial. Pertentangan ini menjadi titik awal konflik agraria berkepanjangan hingga kini.[2] Para penentang petani Pakel itu saat ini bertransformasi dari penguasa dan pengusaha kolonial menjadi penguasa dan pengusaha pribumi (Perhutani & PT. Bumi Sari). 

Khidmatnya Ritual Ider Bumi

“La Ilaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Min al Dholimin…” terdengar suara lantunan Surat Al-Anbiya’ ayat 87 secara serentak di sepanjang jalan menuju Posko Perjuangan. Di setiap persimpangan jalan, anak-anak kecil juga mengumandangkan azan. Sebagaimana diingatkan oleh Imam Abu Bakr al-Thurthusyi dalam kitabnya, “Sebagian dari adab doa adalah kau memulainya dengan mengesakan Allah seperti yang dilakukan Dzun Nun (Yunus)”.

Imam  Abu Bakr al-Thurthusyi melanjutkan di dalam kitabnya, “Dzun Nun (Yunus) menyeru Allah dengan tauhid (pengesaan), kemudian menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan kezaliman dengan tasbih, lalu mengakui dirinya sendiri penuh kezaliman, dengan kesungguhan pengakuan dan perasaan pantas dihukum (istihqâq).”

Surat Al-Anbiya’ 87 memang menjadi sumber spirit bagi rakyat Pakel dalam perjuangan mempertahankan lahannya. Arti dari lantunan penggalan surat itu sendiri adalah:“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (QS. Al-Anbiya’: 87)”. Lalu Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan (QS. Al-Anbiya’: 88).”[3] Pembacaan doa Nabi Yunus (QS. Al-Anbiya’: 87) tersebut sekaligus menjadi salah satu ciri khas yang membedakan antara Ider Bumi Pakel dengan Ider Bumi lainnya.

“Kalimat itu ‘kuat’ untuk melawan musuh, dengan izin Allah dapat menolak mara bahaya,” ungkap salah satu tokoh agama yang turut berjuang bersama para petani Pakel.

“Kalau tanpa itu serta Istighosah setiap malam di Posko Perjuangan, perjuangan kita mungkin sulit untuk bertahan,” imbuhnya.

Ritual Ider Bumi itu dilakukan rakyat Pakel dengan mengelilingi lahan pendudukan membawa obor kayu. Sejak tiga tahun yang lalu, rakyat Pakel yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) memperingati pendudukan kembali lahan leluhur yang diserobot Perhutani dan PT. Bumi Sari dengan berbagai rangkaian acara. Ider Bumi merupakan salah satu acara rutin yang selalu dilakukan.

Tahun ini, selain Ider Bumi, rakyat Pakel juga melakukan Pawai Bendera Perjuangan di area lahan pendudukan, Yatiman (santunan anak yatim), Slametan, Panggung bebas serta berbagi kabar dari jaringan solidaritas. Turut hadir pula beberapa kawan solidaritas yang datang dari berbagai tempat baik Jawa maupun luar Jawa.

Ider Bumi dan Upaya Rakyat Pakel Merawat Nyala Api Perjuangan

Ider Bumi merupakan praktek kebudayaan asli masyarakat Osing, masyarakat yang dianggap ‘suku asli’ Banyuwangi. Di Kemiren, dikenal dengan istilah ‘Barong Ider Bumi’. Beda lagi di Rejosari, disebut ‘Ider Bumi Oncor Sewu’. Menurut warga setempat, Ider Bumi di Pakel tidak hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu setelah hari raya Idul Fitri. Namun, Ider Bumi juga dilakukan pada saat-saat genting, seperti terjadinya wabah yang menyerang termasuk untuk memperingati pendudukan kembali lahan leluhur Pakel.

Ritual Ider Bumi sendiri bertujuan untuk mengharap kepada Tuhan agar tak ada mara bahaya, wujud rasa syukur, serta menjaga kekompakan dan memupuk rasa solidaritas perjuangan rakyat Pakel.

Sekitar 900-an rakyat Pakel bersama jaringan solidaritas mulai dari laki-laki, perempuan, tua muda, hingga anak-anak berjalan bersama membawa obor kayu sembari melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sekaligus menyebut keagungan asma-asma Allah Subhanahu wata’ala. Mereka merupakan generasi keempat perjuangan tanah Pakel. Mereka tidak punya rasa takut meski banyak dari mereka yang ditangkap karena (tetap) memperjuangkan lahan. Terakhir, tiga rakyat Pakel ditangkap dengan tuduhan penyebaran berita bohong.

“Gapapa apinya padam, Bu. Yang penting api perjuangan kita tak pernah padam!” teriak pemudi seumuran SLTA ketika melihat oncor seorang Ibu yang menggendong anak perempuannya berusia 16 bulan padam.

Mereka seakan tak pernah lelah, tak punya rasa takut meski banyak yang terenggut. Sampai kapan perjuangan mereka bakal menemui titik terang? Apakah negara akan berpihak kepadanya? Lalu, apakah kita hanya akan sebatas menjadi penonton di atas penderitaan yang mereka rasakan? Wallahu A’lam.


[1] https://www.walhi.or.id/konflik-ketimpangan-akut-dan-perjuangan-warga-pakel

[2] Atas Nama Tanah Pakel

[3] https://islam.nu.or.id/doa/belajar-dari-cara-nabi-yunus-berdoa-T2OdT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *